KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Sulawesi Utara

Mencegah Si Burung Cerdik Punah

Oleh Aris Prasetyo
·sekitar 4 menit baca

Maleo dibilang burung cerdik lantaran selalu membuat sarang palsu untuk mengelabui pemangsanya. Beberapa lokasi tempat bertelur burung ini juga mengindikasikan ada sumber mata air panas. Benjolan di bagian atas kepala burung ini diduga berfungsi untuk mendeteksi suhu tanah.

Burung dengan nama latin Macrocephalon maleo ini masih satu kerabat dengan burung gosong (Eulipoa wallacei). Hanya, selain warna bulu berbeda, maleo punya ciri khas unik, yaitu benjolan di kepala bagian atas. Keunikan maleo menjadikannya sebagai logo Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW).

Dalam buku The Malay Archipelago, perjumpaan Alfred Russel Wallace dengan burung maleo terjadi saat ia berkunjung ke Manado, Sulawesi Utara, pada Juni-September 1859. Dari beberapa hasil buruan para pembantunya, Wallace sangat tertarik dengan jenis yang menurut dia spesial dan memesona, yaitu seekor burung maleo dari sebuah hutan di kawasan Gunung Klabat. Pada hari-hari berikutnya, Wallace beserta rombongan tak lagi dapat menemukan maleo.

KOMPAS/ARIS PRASETYO

Burung maleo (Macrocephalon maleo) di kandang pusat penangkaran maleo milik PT Donggi Senoro LNG, Rabu (26/6/2019), di Maleo Center, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Burung hasil penangkaran akan dilepasliarkan ke habitat aslinya di Suaka Margasatwa Bakiriang.

Sampai akhirnya Wallace bertemu dengan Goldmann, anak sulung Gubernur Maluku, di Manado. Setelah mengutarakan maksudnya untuk mencari maleo, ia diajak Goldmann ke suatu tempat yang berjarak sekitar 32 kilometer dari Likupang di Kabupaten Minahasa Utara. Ia menyebut di situ banyak sekali dijumpai maleo yang menyimpan telurnya di dalam pasir berwarna hitam.

”Saya berhasil mengawetkan 26 spesimen maleo yang keadaannya bagus. Daging dan telurnya menjadi persediaan makanan yang memadai untuk kami,” tulis Wallace dalam bukunya. Ia menulis cukup detail mengenai perilaku burung maleo ketika bertelur. Selain maleo, Wallace juga terkagum-kagum dengan anoa dan babirusa.

Terancam

Berdasarkan daftar merah badan konservasi dunia (IUCN red list), status konservasi maleo adalah terancam (endangered). Status ini diberikan untuk spesies yang berisiko sangat tinggi mengalami kepunahan dan dikhawatirkan punah pada masa mendatang. Adapun populasinya di alam liar, berdasarkan data IUCN, diperkirakan 8.000 ekor sampai 14.000 ekor saja.

Ancaman tertingginya adalah predator alami, seperti biawak dan ular. Tetapi, ancaman dari perburuan liar juga masih tinggi, kata Mobius Tanari, peneliti maleo dari Universitas Tadulako, Palu, saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas pada akhir Juni lalu.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pekerja memeriksa suhu inkubator penetasan telur maleo di pusat penangkaran Maleo Center yang dikelola PT Donggi Senoro LNG di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (26/6/2019). Telur-telur yang ditetaskan merupakan hasil sitaan dari masyarakat yang dilakukan oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng. Anak maleo yang menetas akan dilepasliarkan kembali ke Suaka Margasatwa Bangkiriang. Keberhasilan mesin inkubator ini mencapai 90 persen.

Untuk mengurangi ancaman predator, maleo selalu membuat sarang rata-rata dua sampai tiga lubang. Salah satu dari sekian sarang yang maleo buat adalah sarang asli berisi telur. Telur ditimbun dalam pasir atau tanah berpasir dengan kedalaman rata-rata 60 sentimeter. Maleo jantan dan betina akan bergantian menggali lubang ataupun menimbun telur dengan pasir.

Mereka butuh suhu tanah 32 derajat sampai 37 derajat celsius agar telur bisa menetas. Nah, benjolan pada kepala maleo diduga berfungsi untuk mengukur suhu tanah yang digali, kata Mobius.

 

 

Berbagai pihak berusaha melestarikan si burung cerdik ini dari ancaman kepunahan. Pihak TN BNW, misalnya, menggandeng sejumlah mitra mereka mendirikan Suaka Maleo Tambun di Kabupaten Boolang Mongondow, Sulawesi Utara. Mitra mereka adalah Wildlife Conservation Society (WCS) dan Enhancing The Protected Area System in Sulawesi (EPASS), organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi.

Sejak 2001, sekitar 4.000 telur maleo telah menetas di Suaka Maleo Tambun. Anak-anak maleo dilepasliarkan setelah perawatan selama dua sampai tiga bulan, ujar Kepala Resor Dumoga Timur-Lolayan TN BNW Max Welly Lela yang juga bertugas di Suaka Maleo Tambun.

Oleh swasta, pelestarian burung maleo di Sulawesi Tengah dilakukan PT Donggi Senoro LNG, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan gas alam menjadi gas alam cair (LNG) di Kabupaten Banggai. Pusat pelestarian maleo tersebut didirikan pada 2013. Hinga kini sebanyak 85 ekor burung maleo yang berhasil dilepasliarkan ke Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai.

Salah satu tujuan didirikannya pusat pelestarian maleo oleh perusahaan adalah untuk menaikkan populasi maleo di alam liar. Selain itu, pusat pelestarian ini juga bisa menjadi pusat penelitian burung maleo, kata Corporate Social Responsibility Program Officer Donggi Senoro LNG Amal Fatullah Randy.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Burung maleo (Macrocephalon maleo) menggali pasir untuk menaruh telur dan kemudian ditimbun kembali di salah satu wilayah konservasi maleo di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Kamis (27/6/2019).

Maleo dan berbagai jenis burung pada umumnya punya peran vital dalam sebuah ekosistem. Pada artikel berjudul Why we need birds (far more than they need us) di laman BirdLife International (4/1/2019), disebutkan beberapa peran penting burung di alam. Peran tersebut, antara lain sebagai pengontrol hama, membantu penyerbukan, membantu penyebaran biji-bijian, dan sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan.

Teori seleksi alam hasil pemikiran Wallace bermula saat ia menyeberang dari Bali ke Lombok pada periode Juni-Juli 1856. Kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris, ia menulis surat bahwa meski tanah Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Kelak, keunikan itu menginspirasi Wallace tentang teori seleksi alam. (OKA/ENG)

Artikel Lainnya