DAYAK PUNAN HULU BARITO: ANTARA ADA DAN MENGADA
Oleh: Marko Mahin
Punan adalah orang gaib, manusia perkasa di hutan rimba. Mereka bisa menghilangkan diri hanya dengan berlindung di balik sehelai daun. Jejaknya sulit diikuti. Mereka berjalan miring dan sangat cepat. Tubuh mereka ringan karena tidak makan garam.
Matahari baru saja terbenam. Remang petang mulai menjamah Desa Tumbang Karamu. Di sana sini tampak tiang-tiang Toras sisa upacara Mandung dan DaLo menjulang gagah menantang langit.
“Ikei oloh Punan,” demikian pengakuan Marlin (45), salah satu warga Desa Tumbang Karamu, ketika ditanya siapakah mereka. Keremangan senja tidak mampu menyembunyikan guratan bangga pada wajahnya ketika mengucapkan kata Punan.
Di hulu Barito ada tiga desa yang dianggap sebagai perkampungan orang Dayak Punan, yaitu Tumbang Karamu, Tumbang Tunjang, dan Tumbang Topus. Sabran Amai Sirun (65) menyatakan bahwa penduduk tiga desa itu adalah keturunan orang Punan.
Ketika ditanya tentang Ot Siau atau Punan Berkaki Merah, ia sendiri mengatakan tidak pernah melihat maupun bertemu. Namun ia yakin bahwa mereka memang ada, dengan ciri unik, yaitu tangan dan kaki berwarna merah seperti kaki burung Siau.
Penduduk tiga desa itu membuat dua kategori Punan. Pertama, “Punan Pemerintah”, yaitu orang-orang Punan yang bersedia tinggal-menetap di kampung. Kedua, Punan Siau yang tinggal di goa dan mengembara di rimba belantara. Orang-orang Karamu, Tunjang, dan Topus mengaku diri sebagai “Punan Menetap”, serta bersaudara dengan Punan Siau yang dipercayai tinggal di hulu Sungai Borak.
Saudara dan leluhur
Siapakah orang Punan menurut orang Karamu, Tunjang, dan Topus? “Mereka adalah leluhur kami,” demikian kata Uton (40), salah seorang penduduk Desa Tumbang Topus.
“Kami adalah keturunan Punan,” kata Deden (30), warga Desa Tumbang Karamu. “Nenek moyang kami orang Punan,” ujar Irus (30) dari Desa Tunjang. Dari pengakuan itu tampak bahwa hampir semuanya mempunyai hubungan genealogi dengan Punan.
Ketika dilakukan pemetaan partisipatif di Desa Tumbang Topus, didapat informasi bahwa dari 45 kepala keluarga hanya terdapat lima kepala keluarga yang tidak ada hubungan genealogis dengan Punan. Mereka adalah murni orang Siang-Murung atau Ot Danum.
Namun ketika ditanya apakah mereka betul-betul Punan, hampir semua mereka menggelengkan kepala. “Kami ini Punan cangkokan,” kata Nata (30). “Kami sudah bercampur dengan orang Siang-Murung, Ot Danum, dan Kahayan,” kata laki-laki yang piawai mengemudikan kelotok di riam yang ganas itu.
Punan yang “asli”, menurut orang-orang ini, adalah mereka yang tinggal di rimba belantara dan dalam goa-goa yang gelap. Kaki dan tangan mereka diwarnai merah dengan daun saronang atau jarenang. Seluruh tubuh mereka dilapis dengan sejenis jamur yang mengandung fosfor sehingga tampak menyala di kegelapan.
Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah. Jika bertemu dengan rusa yang sibuk memakan dedaunan, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberitahukan kehadirannya.
Ketika rusa itu terkejut dan lari, barulah ia memburunya. Mereka itulah pemburu sejati bersenjatakan sumpit, serta pantang menaklukan buruan dengan cara pengecut, yaitu mengintai diam-diam.
Sekalipun bisa bertutur banyak, tidak ada seorang pun dari penduduk tiga kampung itu pernah bertemu langsung dengan Punan Siau. Sabran dan beberapa orangtua lainnya hanya mengatakan pernah melihat jejak kaki, tetapi tidak pernah melihat orangnya. Menurut mereka, hal itu terjadi karena orang Punan Siau memiliki kata lamunan, yaitu mantra sakti untuk menghilangkan diri di balik sehelai daun.
Punan adalah kumpulan cerita menakjubkan. Dalam khazanah lokal Kalimantan, Punan selalu digambarkan sebagai manusia perkasa dan ahli berburu. Mereka dilihat sebagai orang yang berkekuatan supranatural tinggi. Mereka dapat menghilang dan mempunyai penciuman yang tajam. Alkisah, seekor kera akan jatuh dari pohon kalau memandang sinar mata orang Punan.
Mereka juga dilihat sebagai manusia istimewa penghuni hutan. Orang Punan juga memiliki pengetahuan akan obat-obat manjur, dari akar dan daun-daun kayu hutan. Konon, jika para perempuan Punan melahirkan, mereka akan sembuh dalam satu hari.
Kuburan Punan
Di Desa Tumbang Topus sudah tidak ada lagi yang murni Punan. Yang ada hanyalah campuran antara Punan dan orang Siang-Murung, Bahau, Benuaq, dan Ot Danum atau Kahayan. Toras, Potogor, dan Batang Pantar yang jumlahnya ada beberapa di kampung itu menunjukkan bahwa dalam ritual kematian mereka cenderung sebagai orang Ot Danum atau Siang Murung. Bagaimanakah mereka bisa mengidentifikasi diri sebagai keturunan Punan?
Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat pada seonggok batu besar yang oleh orang setempat disebut dengan Batu Awu-BaLang. Melintasi Sungai Ponut, di antara rerimbunan pohon, terdapat bukit-bukit batu yang tersebar di sana-sini. Pada ceruk dinding salah satu bukit batu itu tampak tergolek dua tengkorak dan tulang-belulang manusia.
Menurut Ibuk (38) dan Oton (40), tengkorak dan tulang-belulang itu adalah milik dua tokoh Punan yang bernama Awu dan BaLang. Menjelang wafat, mereka mengamanatkan agar tulang-belulangnya jangan dikubur dalam tanah, tetapi diletakkan di ceruk batu, seperti layaknya orang Punan yang orang gunungatau bukit yang berdiam di goa batu.
Bagi orang Tumbang Topus, Batu Awu-BaLang bukanlah sekadar kuburan, tetapi merupakan monumen asal-usul diri karena di sana terdapat petunjuk bahwa leluhur mereka memanglah orang Punan. Seperti yang dilafazkan oleh Ibuk, “Ika tuh onak-usun oum” (kami adalah anak cucumu) sambil memberikan persembahan kecil beberapa pucuk batangan rokok.
Identitas Punan
Masyarakat Dayak di kaki Pegunungan Muller secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai “Punan Pemerintah” dan “Punan Menetap”. Pengakuan ini hendak menegaskan bahwa mereka adalah “orang kampung” yang berbeda dari Punan liar yang hidup di hutan, bebas- lepas dari kontrol pemerintah.
Namun, identitas diri sebagai Punan, bekas Punan, atau keturunan Punan pun diracik sedemikian rupa sehingga menjadi wacana jalur leluhur yang memungkinkan mereka untuk mengklaim gunung, sungai, dan hutan sebagai tempat hidup. Memang tanpa ada kaitan dengan masa lampau dan leluhur, merekabukanlah apa-apa.
Pengetahuan tentang Punan bukan hanya monopoli pakar antropologi. Orang Dayak sendiri sangat aktif dalam membangun identitas dirinya. Sebagai internal agen, mereka aktif mengonstruksi diri. Di Tumbang Karamu, Tumbang Tujang, dan Tumbang Topus, dengan tegas mereka mengatakan “Kami bukan Punan Habongkot, bukan Punan Kareho, dan juga bukan Punan Siau. Kami adalah Punan Murung.”
Hampir seabad yang lalu, Carl Lumholtz, seorang penjelajah asal Norwegia, telah melakukan ekspedisi Barito-Muller-Mahakam (1915- 1916). Di hulu Sungai Busang ia bertemu dengan Punan Panyawung.
Namun kini, di awal abad ke-21, Tim Ekspedisi Barito-Muller- Mahakam Kompas di hulu Sungai Murung bertemu dengan Punan baru, yaitu Punan Murung. Jadi, Punan itu ada dan mengada.
Marko Mahin Dosen Agama dan Budaya Dayak di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Banjarmasin dan Peneliti di Lembaga Studi Dayak- 21
“Dalam hal berburu, orang Punan Siau pantang membunuh binatang yang lengah.”