Kompas/Amir Sodikin

Menuruni Dinding Muller merupakan salah satu rute terberat dalam ekspedisi Barito-Muller-Mahakam. Anjing pun tidak berani menyeberangi dinding Muller dan terpaksa digendong.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Dinding Muller, Pembatas Ekologi Barito-Mahakam

·sekitar 6 menit baca

DINDING MULLER, PEMBATAS EKOLOGI BARITO-MAHAKAM

Oleh: Chandradewana Boer/Rustam Fahmy/Emi Purwanti

Dinding Muller sebagai pembatas ekologi sekaligus sebagai sebagian pembatas administrasi antara Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Dinding berupa tumpukan batu kapur yang menggunung di Pulau Kalimantan yang terangkat ke atas sebagai akibat kegiatan geologi yang sangat kuat di zaman prasejarah.

Seiring dengan perjalanan waktu, sebaliknya, dengan curah hujan setinggi 2.000-3.000 milimeter per tahun, sejumlah kecil karbon dioksida yang larut dalam air hujan jatuh dan membentuk larutan asam karbonat lemah, secara berangsur-angsur melarutkan batu-batu kapur tersebut.

Secara bertahap aliran permukaan (surface runoff) memahat alur- alur pegunungan kapur tersebut dan akhirnya menghilang di bawah garis- garis patahan dan lubang-lubang patahan untuk mengalir di bawah tanah, melalui rongga-rongga besar yang tersembunyi dalam batuan induk yang terkikis.

Semua gumpalan batu kapur yang tersingkap dari berbagai ukuran akhirnya mengalami pelapukan menjadi formasi-formasi berpuncak yang runcing, membentuk punggung-punggung setajam pisau cukur yang sukar dilintasi.

Seperti halnya dinding Muller yang memiliki permukaan curam sampai sangat curam di sisi sebelah timur, yang telah memberikan formasi habitat yang berubah drastis dari habitat pegunungan berkapur ke habitat hutan tropis dataran rendah.

Dari sisi sebelah barat di Kalteng dapat ditemui beberapa tipe hutan yang dapat diklasifikasikan sebagai hutan tropis dataran rendah dengan ketinggian sekitar 600 meter, juga hutan subpegunungan antara 600-1.500 meter. Pangkal pohon dan banyak tanaman lainnya, bahkan lantai hutan pun, terlihat mulai banyak ditumbuhi oleh lumut.

Namun, pada ketinggian 1.500-an meter di Batu Ayau, karena faktor edafis batu tanah pasir berkapur, ditemukan satu habitat tersendiri yang disebut daerah kerangas (heat forest). Di sana ditemukan tanaman kantong semar (nephentes sp), juga beberapa jenis anggrek.

Secara keseluruhan Pegunungan Muller dengan Liangapran (2.240 meter) sebagai puncak tertingginya adalah daerah berkapur (karst atau limestone), dan menyimpan potensi melimpah untuk habitat bersarang banyak jenis burung walet yang sarangnya dimakan (edible nest swiflet). Juga memiliki tingkat endemisitas tinggi, baik untuk tumbuhan maupun hewan penghuninya.

Tidak bisa berenang

Daerah berbatu kapur adalah penting untuk pelestarian tumbuhan karena kekayaan jenisnya secara keseluruhan dan tingkat endemisitasnya yang tinggi. Di dinding batu kapur dapat ditemukan jenis-jenis flora yang cukup kaya, misalnya berbagai jenis anggrek (orcidae) dan sebaliknya flora pohon hutan batu kapur agak miskin jenis, khususnya untuk famili dipterocarpaceae.

Hal ini dapat diterangkan dengan tanah yang tipis, tingkat kalsium yang rendah, pengaliran yang cepat dan kandungan humus yang rendah yang menentukan kandungan kelembaban tanah dan keadaan lapangan yang sering kali tidak rata.

Setelah turun dari Batu Ayau dengan kemiringan hampir 100 persen (90 derajat) ditemukan daerah berhutan di tepian Sungai Sebunut sehingga di bagian Kaltim tidak ditemukan daerah hutan subpegunungan. Hal itu menjadi suatu kenyataan di mana Pegunungan Muller berdiri seperti halnya tembok atau dinding alami raksasa, pemisah Kalteng dan Kaltim.

Pembatas ekologi ini diperkirakan cukup berarti untuk memisahkan populasi beberapa jenis mamalia besar, seperti banteng (bos javanicus), badak (dicerorhinus sumatrensis), payau (cervus unicolor), orangutan (pongo pygmaeus) atau babi hutan (sus barbatus). Populasi yang terpisah secara alami ini berkembang pula secara terpisah dan hampir tidak terjadi interaksi antaranggota populasinya dalam kurun waktu panjang.

Eksistensi jenis mamalia besar, misalnya banteng dan badak di Pulau Kalimantan, adalah berdasarkan informasi masyarakat sekitar yang pernah melihatnya di sekitar Sungai Boh di Kaltim, ataupun petunjuk lainnya seperti daerah mengasin atau sumber air garam, serta jejak kaki. Namun, perburuan yang keras terhadap jenis badak di masa lalu telah berdampak signifikan terhadap kelangkaan dan kepunahannya sekarang ini.

Sedangkan untuk orangutan di Kaltim, penyebarannya banyak dibatasi keganasan Sungai Mahakam. Sebaliknya migrasi babi hutan di daerah Kaltim dari sebelah utara ke selatan lebih banyak dibatasi oleh Pegunungan Muller di sebelah barat dan Sungai Mahakam di arah selatan.

Sungai Mahakam menjadi pembatas ekologi bagi banyak mamalia yang tidak dapat berenang, kecuali bekantan di daerah hilir sungai, ataupun jenis arboreal yang bergelantungan pada cabang dan ranting pohon yang menjulur ke seberang sungai, misalnya, jenis owa.

Berbeda

Kondisi Sungai Barito berbeda dengan kondisi di Mahakam, di mana air Sungai Barito terlihat lebih berwarna gelap dibanding Sungai Mahakam. Hal ini diduga karena daerah hulu Barito adalah daerah yang kaya dengan hamparan rawa dan rawa gambut.

Air tanah yang meresap melalui media yang masam seperti gambut akan mengakibatkan airnya menjadi sangat masam dan berwarna hitam.

Sungai Barito dan Mahakam dicirikan oleh zona riam yang ganas, memiliki karakteristik sangat berbeda dengan zona arus lambat, di mana kecepatan arus bertambah dan tidak adanya endapan-endapan pasir, juga berbagai material yang mengendap pada dasar sungai.

Salah satu pemandangan yang agak asing adalah teridentifikasinya sejumlah besar serangga air (famili ephemeroptera, mayflies) di atas perairan Sungai Barito pada sore hari yang memberikan nuansa warna putih di sekitar permukaan air.

Tumbang Keramu dan Tumbang Topus adalah dua desa terujung di hulu Barito sehingga lebar Sungai Barito sudah terasa menyempit. Sedangkan daerah Penyungkat adalah daerah anak Sungai Mahakam, yaitu di Sungai Sebunut dan daerah Long Bagun, tempat tim ekspedisi turun dari Penyungkat. Daerah ini belumlah daerah yang terakhir di hulu Mahakam.

Daerah Penyungkat di kaki Muller adalah daerah cagar alam, atau paling tidak semestinya berupa hutan lindung. Meski demikian, di daerah ini masyarakat sudah mulai membuka hutan untuk berladang dan mengambil kayu secara ilegal. Diperlukan suatu keseriusan untuk menyelamatkan hutan di kawasan ini yang merupakan hulu dari anak-anak sungai yang menuju ke Mahakam dan Barito.

Menyelamatkan daerah Muller sepertinya suatu keharusan karena di sana berawal banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Barito dan Mahakam. Ancaman kerusakan dari daerah Kaltim diperkirakan lebih besar mengingat tipe hutan di bawah dinding Muller masih memiliki keragaman jenis yang tinggi dan menyimpan potensi besar untuk kayu- kayu komersial.

Tipe hutan tropis dataran rendah adalah hutan yang terdapat di kaki Pegunungan Muller, baik di sebelah Kalteng maupun Kaltim. Di sini terdapat jenis-jenis komersial, seperti jenis dari meranti- merantian (famili dipterocarpaceae) ataupun jenis ulin (famili lauraceae). Keragaman jenis dari famili dipterocarpaceae ini terus menurun dengan naiknya ketinggian tempat, terbanyak adalah sekitar 134 jenis pada ketinggian di bawah 100 meter.

Keberadaan jenis kayu itu merupakan potensi dan sekaligus ancaman. Harus ada pengamanan hutan dari incaran para penebang liar. Idealnya kawasan itu dijadikan areal konservasi, mengingat di lantai hutan masih banyak ditemui sumber bibit spesies komersial.

Pembukaan hutan pegunungan dapat menyebabkan erosi yang mengkhawatirkan dan kerusakan lingkungan, tanah longsor, peningkatan arus permukaan dan peningkatan laju pengendapan di sungai.

Penebangan hutan akan meningkatkan aliran permukaan, menurunkan penutupan dan menaikkan kapasitas sungai untuk menyerap panas. Sumber air di sungai sebagian besar adalah air resapan, selain langsung dari air hujan.

Panas yang tinggi dan level oksigen yang rendah dapat menghilangkan jenis-jenis tertentu dari tumbuhan dan hewan perairan. Kekayaan jenis ikan perairan tropis cukup tinggi, di mana sejumlah 394 jenis di antaranya terdapat di Borneo dan sekitar 149 jenis di antaranya adalah endemik.

Oleh karena itu, pendatang ke daerah Pegunungan Muller harus berhati-hati agar tidak merusak kawasan tersebut. Misalnya, iseng mengumpulkan anggrek, kantong semar, atau jenis lainnya. Juga tidak menyalakan api, tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak mencorat- coret sembarangan.

Chandradewana Boer/Rustam Fahmy/Emi Purwanti Peneliti dari Universitas Mulawarman, Samarinda, dan Pakar Tim Ekspedisi

“Pendatang ke daerah Pegunungan Muller harus berhati-hati agar tidak merusak kawasan tersebut.”

Artikel Lainnya