Kompas/Prasetyo Eko Prihananto

Deretan rumah lanting di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Rumah yang mengapung di sungai ini unggul karena mampu mengikuti tinggi permukaan air sehingga tidak akan terkena banjir atau luapan air.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Ekspedisi: Lanting Rumah Antibanjir

·sekitar 4 menit baca

Ekspedisi

LANTING, RUMAH ANTIBANJIR

Oleh: TRY HARIJONO/PRASETYO EKO P

Jangan menganggap enteng rumah lanting. Inilah contoh keunggulan nenek moyang kita dalam merancang bentuk rumah yang sesuai dengan kondisi alam setempat.

Ketika April lalu terjadi banjir besar yang merendam puluhan ribu rumah di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, maupun hulu Sungai Barito di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, justru rumah lanting aman-aman saja.

Ketika rumah-rumah penduduk lainnya terendam banjir setinggi tiga meter bahkan lebih, rumah lanting tak terendam sedikit pun. Tidak ada air yang masuk ke dalam rumah.

Hal ini dimungkinkan karena rumah lanting mengambang di permukaan sungai, mirip perahu besar yang ditambatkan di tepi sungai. Ketika permukaan sungai turun, rumah lanting ikut turun. Sebaliknya, ketika permukaan sungai sedang naik, rumah lanting ikut naik.

Konstruksi rumah lanting sangat sederhana. Fondasinya harus terbuat dari kayu kuat seperti meranti atau bangkirai yang masih gelondongan (log) dengan diameter 50-100 sentimeter. Panjangnya minimal sekitar delapan meter.

Kayu gelondongan tersebut kemudian dijejerkan begitu saja di tepi sungai, mirip rakit raksasa. Selanjutnya barulah dibangun rumah, toko, penginapan, warung, kantor, bahkan sekarang ada karaoke terapung di tepi sungai. Arsitekturnya sangat beragam, sesuai dengan selera pembuatnya. Tidak mesti satu lantai, lanting bisa juga terdiri dari dua lantai seperti rumah-rumah di darat.

Lantai dan dinding lanting biasanya terbuat dari kayu ulin, bangkirai, atau meranti. Adapun atapnya, selain dari sirap bisa pula menggunakan rumbia atau seng. Atap genteng tidak dikenal di pedalaman Kalimantan.

Rumah lanting inilah yang banyak memenuhi sungai-sungai di pedalaman Kalimantan, seperti di bagian hulu Sungai Barito maupun hulu Sungai Mahakam yang lebarnya bervariasi, 400-900 meter. Selain sebagai tempat tinggal, lanting juga berfungsi sebagai penggerak ekonomi penduduk di pedalaman karena sebagian dijadikan rumah makan, tempat penjualan bahan bakar minyak, toko, hingga penginapan.

Penduduk di sekitar Sungai Barito yang panjangnya 620 kilometer maupun di Sungai Mahakam yang panjangnya sekitar 980 kilometer lebih suka tinggal di lanting karena beragam alasan, antara lain tinggal di rumah lanting lebih sejuk karena bagian bawahnya air.

“Untuk mandi, mencuci, dan keperluan sehari-hari, air tinggal mengambil di pekarangan rumah,” tutur Panori (45) yang tinggal di rumah lanting hulu Sungai Barito, Desa Muara Sumpui, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. “Selain itu, tinggal di rumah lanting sangat praktis karena saat buang air besar tidak perlu menyiram,” ujarnya sambil ketawa.

Menguntungkan

Bukan semata-mata karena alasan praktis penduduk tinggal di rumah lanting. Secara ekonomis, tinggal di rumah lanting juga lebih menguntungkan.

Karena sebagian besar jalan darat di Kalimantan kondisinya masih sangat buruk dan belum bisa menjangkau semua wilayah, maka transportasi sungai menjadi andalan. Penduduk setempat mengandalkan angkutan sungai untuk menjangkau desa, kecamatan, bahkan kabupaten karena jalan darat belum tersedia. Itulah sebabnya lalu lintas sungai menjadi hidup.

Kondisi ini sekaligus membuka peluang usaha di sepanjang aliran sungai. Tidak heran jika kemudian di sepanjang aliran Sungai Barito, Sungai Mahakam, dan sungai-sungai lainnya di Kalimantan muncul berbagai jenis usaha warga di atas lanting, mulai dari rumah makan, penjualan bahan bakar minyak, toko atau warung makanan, hingga toko yang menjual suku cadang perahu atau speed boat.

“Kalau dihitung-hitung, justru lebih menguntungkan membuka usaha di tepi sungai karena lebih banyak perahu yang lewat. Membuka warung di darat sepi pembeli karena sangat jarang kendaraan yang lewat,” ujar Ny Eni (45) yang tinggal di Purukcahu bagian hulu Sungai Barito dan mengaku omzet warung makanannya mencapai Rp 700.000-Rp 1 juta per hari.

Begitupun Amro (45), warga suku Dayak Bakumpai yang berjualan di atas lanting tepi Sungai Mahakam, Kecamatan Long Bagun, Kalimantan Timur, ia mengaku lebih suka berjualan bahan bakar minyak di tepi sungai karena lebih laris dan menguntungkan. “Sekitar 300 liter bensin dan solar bisa terjual setiap hari,” ungkapnya.

Menurut Marko Mahin, antropolog dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Avengelis, rumah lanting pada mulanya dibangun para pedagang di muara sungai. Langkah ini dilakukan untuk menyiasati alam berupa pasang surut air di bagian muara yang tingginya bisa mencapai tiga meter.

Meski peluang usaha di atas lanting sangat terbuka lebar, kini tidak gampang membangun lanting di tepi sungai. Akibat pembabatan hutan yang tidak terkendali, kini sangat sulit mendapatkan kayu gelondongan berukuran besar. Padahal, kayu gelondongan merupakan syarat mutlak untuk membangun fondasi rumah lanting.

Akibat sulitnya mendapatkan kayu gelondongan, rumah- rumah lanting yang ada harganya menjadi sangat mahal. Harga rumah lanting ukuran 5 x 8 meter mencapai Rp 40 juta-Rp 60 juta tergantung kondisi bangunannya. Rumah lanting yang sudah dirancang sebagai toko harganya sedikit lebih mahal.

Karena tingginya minat membangun lanting, sedangkan bahan baku log sangat terbatas, kini sebagian penduduk membangun fondasi lanting dari bambu-bambu ukuran besar atau drum-drum kosong. Drum ini dipasang di berbagai sudut sehingga rumah lanting menjadi terapung. Meski demikian, harga jual rumah lanting yang fondasinya dari drum jauh lebih murah dibandingkan dengan lanting “asli” yang fondasinya dari kayu meranti atau bangkirai.

Artikel Lainnya