Kompas/Amir Sodikin

PENUH MAKNA dan sarat simbol, inilah patung khas Dayak yang dijumpai di bekas perkampungan Pelabuhan Lama Sendawar, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Buaya yang dipegang merupakan sahabat spiritual pemberi keamanan, sedangkan naga di bawahnya adalah simbol keperkasaan. Patung-patung seperti ini terancam dijarah para pemburu artefak khas Dayak.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Makin Marak, Pencurian Artefak Khas Dayak

·sekitar 2 menit baca

MAKIN MARAK, PENCURIAN ARTEFAK KHAS DAYAK

Vandalisme Akibatkan Hilangnya Keaslian Artefak

Oleh: Amir Sodikin

Sendawar, Kompas

Pencurian dan vandalisme terhadap artefak-artefak khas etnik Dayak yang bernilai budaya dan sejarah semakin marak di pedalaman Kalimantan. Hingga kini para pengincar benda-benda antik seperti patung, toras, pantar, dan sapundu masih bergentayangan untuk mengumpulkannya.

Tim Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam menemukan fakta-fakta pencurian ini. Pengakuan warga Tering, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, Jumat (8/7), menyebutkan, banyak pencuri patung- patung Dayak dan barang lainnya yang bermotif ukir maupun ornamen khas Dayak. Nilai satu patung setinggi satu meter, misalnya, bisa mencapai Rp 20 juta.

Pembuat patung dan ukir-ukiran khas Dayak Bahau dari Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat, Antonius Kueng Hang (63), mengatakan, banyak karya-karya patung dia yang menjadi sasaranpara pencuri. “Patung tangga buatan saya sudah ada beberapa yang dicuri orang,” katanya. Padahal, patung tangga bagi Dayak Bahau sarat dengan nilai spiritual.

Dayak Bahau memiliki budaya tangga rumah panggung yang diberi patung. Patung ukiran tersebut melambangkan leluhur atau sangiang yang selalu menyertai dan melindungi keluarga ketika keluar dan masuk rumah.

Di daerah aliran sungai (DAS) Mahakam, yang dikenal sebagai kantong-kantong permukiman warga Dayak, menjadi lokasi perburuan kolektor barang antik. Beberapa di antaranya bertransaksiatas dasar kerelaan dari pemilik patung, namun yang lainnya hanya membeli patung- patung yang asal-usulnya tidak jelas. Biasanya patung-patung itu telah dipenggal dari asalnya.

Antropolog dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis, Marko Mahin, yang menyertai tim ekspedisi, mengatakan, para pemburu patung dan ukiran juga mengincar bekas perkampungan Dayak yang sudah ditinggalkan. “Biasanya di bekas kampung itu masih banyak patung, rumah persembahan, dan ukir-ukiran lainnya,” katanya.

Vandalisme

Kampung Tumbang Tujang, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalteng, juga menjadi incaran. Seorang warga yang terlibat pencarian barang antik mengakui sering menjual patung-patung khas Dayak dari kampung sekitarnya.

Bahkan, dia mengatakan, hingga kini masih bisa menunjukkan patung- patung yang bernilai jika ada yang membelinya. Patung yang biasa dijual, yaitu toras atautiang penanda anggota keluarga yang sudah meninggal; pantar yaitu toras yang di ujungnya terdapat tempayan; dan sapundu yaitu patung pengikat binatang korban.

“Semua yang dijarah bernilai spiritual, sebagian merupakan lambang pelindung dan jata atau sahabat spiritual suku Dayak,” kata Marko.

Vandalisme budaya yang mengakibatkan hilangnya keaslian artefak bernilai sejarah juga marak. Antropolog Universitas Lambung Mangkurat Setia Budhi mencatat, di Saripoi, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, ada batu bertulis bernilai sejarah yang tulisannya dikacaukan oleh tangan jahil.

“Padahal, batu bersejarah itu mencatat kehadiran tokoh besar Dayak Bakumpai Ngabe Lada yang bermigrasi ke komunitas Dayak Siang,” kata Budhi. Jika tidak dihentikan, pencurian dan vandalisme budaya bisa menghilangkan jejak sejarah yang bernilai di pedalaman Kalimantan. (RAY/THY)

Artikel Lainnya