Kompas/Amir Sodikin

Elang bondol sedang terbang melintasi Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Burung ini bisa ditemui di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, Kalimantan Selatan, hingga Kalimantan Tengah, dan juga di DAS Mahakam Kaltim.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Melacak Jejak Badak Ketemu “Blanda Mabok”

·sekitar 6 menit baca

MELACAK JEJAK BADAK, KETEMU “BLANDA MABOK”

Oleh: Try Harijono/Prasetyo Eko

Sejak awal, para peneliti dari Universitas Mulawarman, Samarinda, sudah penasaran. Benarkah ada badak kalimantan? Bukan untuk membuktikan mitos, tetapi beberapa saksi mata memang pernah menyaksikannya.

Di Desa Bermai, Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat, Kalimatan Timur, misalnya, sejumlah penduduk pernah menyaksikan seekor badak (dicerorhinus sumatrensis) tertabrak truk logging hingga mati tahun 2002 lalu. Badak tersebut sempat dikubur, tetapi sehari kemudian kuburan badak digali dan bangkai badak sudah hilang tanpa bekas.

Penduduk percaya, cula badak dan bagian-bagian tubuh lainnya punya khasiat untuk kesehatan sehingga bangkai badak pun diambil untuk mengejar khasiatnya.

Penduduk di Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, juga pernah menyaksikan seekor badak sedang memakan umbut atau pucuk rotan di tengah hutan sekitar tahun 1980-an. Bahkan sejumlah penduduk ada yang memiliki gigi badak dan menyimpannya baik-baik karena percaya khasiatnya bisa menyembuhkan sakit gigi.

Penduduk di Desa Keramu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, juga pernah melihat jejak kaki badak. Padahal, lokasi antara Desa Keramu dan Kecamatan Long Bagun di Kabupaten Kutai Barat berjauhan dan jarak di antara keduanya lebih dari 1.000 kilometer, dipisahkan gunung dan sungai.

“Karena itu kami yakin badak memang ada di Kalimantan walaupun populasinya pasti sangat sedikit,” kata Chandradewana Boer, Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman.

Dilandasi keyakinan inilah, dalam Ekspedisi Sungai Barito- Pegunungan Muller-Sungai Mahakam, tim peneliti dari Universitas Mulawarman sangat serius melacak keberadaan badak. Bukan sekadar bertanya kepada penduduk kampung-kampung yang dilewati, tetapi juga membawa contoh gambar badak. Gambar berwarna pada selembar kertas ini kemudian ditunjukkan kepada sejumlah responden.

Hasilnya sangat mencengangkan karena sejumlah penduduk desa mengetahui gambar tersebut badak. Tidak sekadar mengetahui, tetapi juga pernah melihat jejak kaki badak. “Jejak kakinya sebesar piring,” tutur Nata (35), penduduk Desa Keramu, Kecamatan Muara Barito, Kabupaten Murung Raya.

Hardi Siang (50), seorang pemburu di Desa Tumbang Topus, Kabupaten Murung Raya, juga mengaku pernah melihat jejak kaki badak yang jauh berbeda dengan jejak kaki kerbau atau sapi. Bahkan perut badak yang buncit dan rendah serta keras telah menyebabkan sejumlah anakan pohon roboh. “Sampai saat ini kemungkinan adanya badak kalimantan sekitar 60 persen,” kata Chandradewana Boer.

Keyakinan ini karena penduduk bukan cuma melihat jejak kaki badak, tetapi penduduk sejumlah desa yang lokasinya berjauhan hingga ratusan kilometer memiliki gigi badak. Keyakinan penduduk terhadap khasiat gigi badak juga relatif sama, yakni untuk mengobati sakit gigi.

“Namun memang tidak gampang untuk membuktikan keberadaan badak,” kata Rustam Fahmy dari Laboratorium Ekologi dan Keragaman Hayati (Ekokehati) Universitas Mulawarman.

Kesulitan pertama adalah begitu luasnya wilayah hutan Kalimantan yang hampir 29 juta hektar atau enam kali luas Pulau Jawa, sedangkan populasi badak sangat minim sehingga sulit melacak jejak badak.

Kalaupun jejak kaki ditemukan, badak termasuk hewan yang mobilitasnya sangat tinggi sehingga dengan cepat bisa berpindah ke tempat lain. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan buruknya infrastruktur di Kalimantan.

“Padahal, untuk melacak keberadaan badak harus bergerak cepat. Begitu mendapat informasi ditemukan jejak kaki badak yang masih baru, peneliti harus segera datang ke lokasi,” kata Chandradewana Boer.

Namun, kenyataannya, selain informasi yang datang terlambat ke peneliti, sarana untuk menjangkau tempat ditemukannya jejak kaki badak juga sangat sulit. Selain harus menggunakan transportasi sungai, peneliti harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencapai lokasi ditemukannya jejak kaki badak.

Padahal, melacak jejak keberadaan badak kalimantan sangat menarik karena spesiesnya kemungkinan besar sama dengan badak sumatera yang bercula dua. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah benar hipotesis yang menyebutkan Kalimantan dan Sumatera jutaan tahun lalu merupakan pulau yang bersatu?

Foto satwa liar langka

Tidak ingin sia-sia saat melacak keberadaan badak, peneliti dari Universitas Mulawarman juga melakukan penelitian lainnya soal flora dan fauna.

Untuk melacak jenis mamalia yang ada di sekitar Sungai Barito- Pegunungan Muller dan Sungai Mahakam, para peneliti dari Universitas Mulawarman memasang tiga kamera trap atau kamera jebakan.

Pemasangan pertama dilakukan di sumber air garam gunung atau masyarakat Dayak setempat menyebutnya sopan, yang menurut masyarakat banyak didatangi berbagai mamalia besar.

Baru sehari dipasang, kamera otomatis tersebut sudah berhasil merekam burung tokhtor sunda (carpococcyx radiceus) yang sudah sangat langka, dan masuk dalam salah satu dari 119 jenis burung yang terancam punah di Indonesia. Tiga jepretan foto burung tersebut terekam pada tanggal 23 Juni, sekitar pukul 11.32 WITA.

“Rekaman foto ini sangat berharga karena, dalam berbagai jurnal ilmiah, burung tersebut memang endemik Sumatera dan Kalimantan, tetapi tidak terdapat di sekitar Pegunungan Muller,” kata Rustam Fahmy.

Begitu pun saat dilakukan pemasangan kamera jebakan kedua di sekitar Penyinggahan Penyungkat yang terletak di kaki Pegunungan Muller dan masuk wilayah Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Kamera tersebut berhasil merekam tupai ticta, yang juga termasuk jenis tupai sangat langka. Hewan tersebut masuk endemik Sumatera dan Kalimantan, tetapi tidak pernah disebutkan berada di sekitar Pegunungan Muller. “Penemuan kedua jenis hewan tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Rustam Fahmy.

Namun, bukan cuma penemuan kedua hewan tersebut yang dianggap luar biasa bagi peneliti Tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam. Tim peneliti juga berhasil mengidentifikasi lebih dari 110 jenis burung yang ada disekitar Pegunungan Muller, sejak dari Purukcahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, hingga tepian Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.

Selain menemukan cendrawasih kalimantan (tersiphone paradisi) yang bulu ekornya sangat panjang dan termasuk burungdilindungi, di Pegunungan Muller juga ditemukan burung bondol kalimantan (lonchura fuscans), endemik Kalimantan.

Selain itu, ditemukan pula berbagai jenis burung komersial yang sangat rawan menjadi sasaran pemburu karena harganya cukup mahal, antara lain burung cucakrowo (pycnonotus zeylanicus), murai (copsycus sp), dan burung tiung (gracula religiosa).

“Peneliti sedikit terhibur karena tidak menemukan jejak badak, tetapi bisa menemukan blanda mabok,” kata Rustam Fahmy.

Meski memiliki keragaman hayati yang tak ternilai harganya, Pegunungan Muller yang terbentang di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur sampai saat ini belum ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (world heritage).

Dari 730 warisan dunia yang tersebar di 125 negara, hanya sembilan yang ada di Indonesia, yakni Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan situs Sangiran yang ketiganya masuk warisan budaya dunia (world cultural heritage).

Adapun enam lainnya berupa warisan alam (world natural heritage), yakni Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan Taman Nasional Komodo, yang ketiganya ditetapkan antara tahun 1991 dan 1999. Tahun 2004 ditetapkan lagi tiga warisan alam dunia, yakni Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Sayang, Pegunungan Muller dengan keragaman hayati sangat tinggi ini belum ditetapkan sebagai warisan alam dunia. Padahal, selain kaya fauna yang jumlahnya lebih dari 124 jenis termasuk beruk (macacu nemestrina), owa (hylobates muelleri), lutung merah (presbytis rubicunu), juga ditemukan beragam jenis reptil, hewan mamalia, dan lebih dari 110 jenis burung.

Di sekitar Pegunungan Muller juga teridentifikasi berbagai jenis tumbuhan, mulai dari famili diptero carpaceae yang memiliki 200 jenis seperti meranti, bangkirai, kruing, dan kapur, hingga kayu ulin (eusideroxylon zwageri). Uniknya, di Batu Ayau yang merupakan salah satu puncak Pegunungan Muller dengan ketinggian sekitar 1.610 meter di atas permukaan laut, juga ditemukan kantong semar.

“Padahal, biasanya tumbuhan kantong semar hanya ditemukan di hutan-hutan kerangas dataran rendah,” kata Emi Purwanti, dari Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Universitas Mulwarman.

Keunikan lainnya, di sekitar Pegunungan Muller juga ditemukan sedikitnya sembilan sumber air garam atau masyarakat setempat menyebutnya sopan. Secara tradisional, sumber air garam ini dimanfaatkan penduduk yang lokasinya sangat jauh dari laut untuk memenuhi kebutuhan garam mereka.

Hewan yang hidup di sekitar hutan juga memanfaatkan sumber air garam ini untuk memenuhi kebutuhan natrium mereka.

Sayang, akibat maraknya penebangan hutan oleh perusahaan yang mengantongi izin hak pengusahaan hutan (HPH), sumber air garam ini diratakan dengan tanah hingga tak bersisa. Sumber air garam di Sungai Alut, Sungai Kalan, dan Sungai Blatung, misalnya, sekarang sudah tak ada lagi. Hanya sumber air garam di Sungai Ruhai, Sungai Sumali, dan Sungai Ruhai yang masih tersisa.

“Jika penebangan hutan secara besar-besaran masih dilakukan, maka sumber air garam yang masih tersisa pun bisa hilang,” kata Arjiman (50), kepala adat Desa Tumbang Topus.

Nasib sumber air garam gunung bisa jadi akan seperti badak kalimantan. Cuma terdengar namanya, tetapi tak ada jejaknya. Ketika mencoba menyusuri jejak badak, malah ketemu burung blanda mabok.

“Ditemukan pula berbagai jenis burung komersial yang sangat rawan menjadi sasaran pemburu karena harganya mahal.”

Artikel Lainnya