Kompas/Yuniadhi Agung

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Rumah Panjang di Kalimantan Tengah Mulai Ditinggalkan Warga Dayak

·sekitar 2 menit baca

RUMAH PANJANG DI KALIMANTAN TENGAH MULAI DITINGGALKAN WARGA DAYAK

Puruk Cahu, Kompas

Rumah panjang atau betang di Kalimantan Tengah kini makin ditinggalkan warganya. Hanya warga miskin yang “terpaksa” masih tinggal di betang, sementara warga yang kaya memilih “turun” dari betang dan membangun rumah sendiri.

Kondisi seperti itu bisa ditemui di betang Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang, Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Desa Konut terletak sekitar 18 kilometer dari Puruk Cahu atau sekitar 460 kilometer dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Tim Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam menyinggahi betang ini, Minggu (19/6), untuk mengabadikan “benteng terakhir” budaya Dayak Siang ini.

Di rumah panjang itu hanya bertahan tujuh keluarga yang tinggal di tujuh bukung atau tujuh pintu. Padahal, betang itu bisa menampung sampai 27 keluarga.

Seorang penghuni betang Desa Konut, Lilik (30), mengatakan, satu per satu penghuni meninggalkan betang dan membuat rumah sendiri. “Biasanya yang meninggalkan betang ini karena banyak keluarga atau karena sudah kaya,” tuturnya.

Warga lainnya, Yeti (25), mengatakan, mereka tidak pergi karena jika ditinggalkan pasti tidak ada yang merawat betang itu. “Harus ada yang merawat betang dan menghuninya karena betang ini warisan leluhur,” katanya.

Leluhur yang dimaksud adalah Telanying, Nadot, Ngingit, dan Pulang. Keempat bersaudara itulah yang membangun betang pada awal abad XX untuk kepentingan rumah komunal dan juga pertahanan dari serangan binatang buas.

Makin memprihatinkan

Dua antropolog yang menyertai tim ekspedisi, Marko Mahin dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis dan Setia Budhi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, merasa prihatin dengan kondisi rumah betang yang terhitung masih dekat dengan ibu kota kabupaten.

“Alamnya kaya raya, tetapi benteng budayanya seperti ini, sungguh ironis,” katanya.

Betang itu memiliki sembilan kamar atau sembilan bukung, tetapi hanya tujuh bukung yang masih dihuni. Itu pun kondisi bangunan sudah tua dan mendesak untuk direnovasi. Tiga bukung sudah direnovasi dengan biaya pemerintah, tetapi pembangunannya tidak sesuai dengan harapan warga. Selain hanya diganti dengan kayu kualitas rendah, hasil renovasi menurut warga lebih mirip barak daripada betang adat.

Lebih lanjut Marko Mahin mengungkapkan, fenomena ditinggalkannya betang oleh warganya merupakan cermin dari menurunnya sifat komunalisme masyarakat adat. Masyarakat bergerak ke arah individualis dan tak lagi rela memikul beban hidup secara bersama-sama.

Setia Budhi memaparkan, betang itu saat ini dihuni oleh warga yang relatif miskin. Kemiskinan warga penghuni betang terlihat menonjol dan kontras dengan kondisi rumah-rumah di sekeliling betang.

Menurunnya pengaruh betang juga sebagai dampak dari dipaksakannya sistem desa yang “java centris” di desa adat ini. Sejak masuknya konsep desa, pemimpin adat tak sekuat dulu dan betang tak lagi menjadi pusat kegiatan masyarakat.

“Seharusnya konsep tata pemerintahan berjalan berdasarkan kearifan lokal masyarakat, bukan berdasar pada konsep dari luar daerah,” kata Marko. (Amir Sodikin/Try Harijono)

Artikel Lainnya