KOMPAS/KENEDI NURHAN

Sisa-sisa tiang rumah panggung dari masa pra-Sriwijaya di Situs Air Sugihan yang berada di kawasan pantai timur Sumatera Selatan.

Liputan Kompas Nasional

Lahan Gambut : Lingkungan Pun “Dimanipulasi”

·sekitar 6 menit baca

Kawasan pantai timur Sumatera, mulai dari wilayah Provinsi Sumatera Utara hingga Lampung, merupakan rawa-rawa lahan gambut. Di kawasan ini bermuara sungai-sungai besar yang mengendapkan material lumpur.

Beberapa di antaranya membentuk delta, misalnya delta Batanghari dan delta Musi. Pada saat ini kawasan tersebut dimanfaatkan sebagai hunian oleh para transmigran dan juga oleh para pendatang dari Sulawesi Selatan yang dengan sengaja membukanya untuk lahan pertanian.

Bagaimana keadaan kawasan ini pada masa lampau, jauh sebelum lahirnya Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan maritim yang kekuatannya didominasi oleh orang-orang bahari? Siapa dan dari mana mereka datang?

Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di kawasan lahan gambut menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya sejak abad IV Masehi kawasan ini telah dihuni. Migrasi orang-orang para penutur rumpun bahasa Austronesia diketahui berlangsung sejak 3000 tahun sebelum Masehi (SM) hingga milenium pertama Masehi. Mereka datang dari Taiwan dengan cara menyeberangi pulau-pulau hingga akhirnya tiba di Sulawesi dan Kalimantan.

Berdasarkan temuan alat-alat batu dan cerita rakyat di Kalimantan, beberapa pakar arkeologi dan linguistik merekonstruksi perjalanan mereka hingga menyebar ke Nusantara. Dari Kalimantan, pada 500 tahun SM mereka menyeberang lagi ke Semenanjung Tanah Melayu, Sumatera, dan Jawa.

Para penutur rumpun bahasa Austronesia ini kemudian mendiami kawasan pantai timur Sumatera yang berawa-rawa. Di antara kawasan yang mereka huni adalah kawasan rawa di pesisir timur Sumatera Selatan.

Pada awal kedatangannya, kawasan ini masih berupa rawa yang ditumbuhi hutan bakau (mangrove). Mereka tinggal di kawasan lahan basah dengan mendirikan rumah di atas tiang yang tinggi, dengan mata pencarian utama sebagai nelayan. Hasil budaya yang mereka tinggalkan ditemukan di Situs Karangagung dan Air Sugihan.

Tinggalan budaya yang ditemukan dari lokasi penelitian di Situs Karangagung antara lain berupa tiang kayu sisa rumah tinggal, kemudi perahu, barang-barang tembikar, manik-manik kaca dan batu, artefak logam, pelandas (alat untuk membuat barang tembikar), bandul jaring, batu asah, serta gelang kaca dan logam. Berdasarkan analisis laboratorium karbon C-14, situs-situs ini diduga berasal dari sekitar abad IV Masehi.

Keletakannya di daerah pantai memungkinkan mereka berhubungan dengan kawasan lain yang jauh, seperti dengan India dan Tiongkok. Dari Situs Karangagung ditemukan tembikar yang mempunyai ciri kuat dari Arikamedu, sebuah pelabuhan di India Selatan-Tenggara. Tembikar Arikamedu biasanya berciri hiasan lingkaran konsentris pada bagian dasar sebelah dalam. Di bagian dinding luarnya ada yang polos dan ada pula yang diberi hiasan teknik gores.

Sisa permukiman lahan basah di pantai timur Sumatera ditemukan juga di Situs Air Sugihan. Dari situs ini ditemukan tinggalan budaya masa lampau berupa manik-manik batu dan kaca, pelandas, gelang logam dan kaca, artefak logam, tembikar, dan keramik. Pertanggalan sementara dari situs ini didasarkan atas temuan dua teko yang berasal dari masa Dinasti Sui (581-618 Masehi).

Banyaknya temuan manik-manik batu karnelian mengindikasikan bahwa manik-manik jenis ini diimpor dari India karena pada masa itu (sekitar abad VI Masehi) manik-manik tersebut merupakan komoditas penting dari India yang dikapalkan melalui Arikamedu. Ada juga manik-manik dari emas yang bentuknya sama seperti manik karnelian. Menurut Sumarah Adhyatman, seorang peneliti manik-manik, manik-manik ini berlanggam abad III-VII Masehi.

Bukti-bukti arkeologis dari situs-situs tersebut mengindikasikan bahwa hubungan dengan India sudah berlangsung lama. Tembikar Arikamedu merupakan indikator kuatnya.

Melihat pertanggalan situs Karangagung, setidak-tidaknya hubungan dengan India sudah berlangsung sejak abad IV Masehi. Relatif jauh lebih tua daripada pertanggalan yupa dari Muara Kaman (Kutai, Kalimantan Timur). Dengan kata lain, dari tempat inilah penduduk Nusantara mulai “mengundang” budaya India ke Nusantara, sebelum berkembangnya ajaran Hindu dan ajaran Buddha.

Para pembuka

Zaman telah berubah dan para pemukim pendahulu telah lama punah. Untuk beberapa abad lahan para pemukim awal “dibiarkan” terserah pada alam.

Lahan yang semula merupakan rawa bakau yang dihuni manusia berbudaya bahari, kini telah menjadi lahan gambut yang dibudidayakan menjadi lahan pertanian. Masyarakat yang semula berlatar budaya bahari kini berlatar budaya agraris. Bagaimana mereka menyikapi lingkungan alam yang sama sekali baru itu?

Setelah para penutur rumpun bahasa Austronesia membuka rawa-rawa bakau sebagai lahan permukiman, kini giliran “keturunannya” yang datang dari pulau lain di Nusantara. Dalam sejarah tercatat suku Bugis dan Banjar, yang memang berlatar budaya agraris, membuka lahan di pantai timur Sumatera.

Mereka datang dengan niatan memenuhi kebutuhan perluasan lahan untuk budidaya pertanian dan permukiman. Aktivitas ini mereka lakukan karena terbatasnya peluang yang mereka hadapi untuk memperluas lahan garapan di tempat asalnya, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

“Belajar” dari pengalaman orang Bugis dan Banjar ini, pada sekitar tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia memulai program reklamasi rawa pasang surut. Tujuannya untuk mendapatkan perluasan lahan yang layak bagi pengembangan pertanian dan permukiman.

Tahun 1970-an proyek ini dilakukan di daerah muara Musi, antara lain di Air Sugihan dengan membuat parit-parit dan mereklamasi rawa. Lahan ini diperuntukkan bagi para transmigran asal Jawa.

Penempatan orang Jawa yang berlatar budaya agraris di lahan gambut bukan tanpa masalah. Orang Jawa sudah terbiasa dengan lahan-lahan pertanian subur yang menempati dataran vasies gunung api. Apa pun yang ditanam pasti tumbuh.

Di sini mereka menghadapi lingkungan alam baru yang harus dikelola dengan usaha yang keras. Lahan gambut yang miskin zat hara, miskin oksigen, dan memiliki tingkat keasaman yang tinggi, bukanlah lahan bercocok tanam yang subur.

Menyikapi lingkungan

Pada hakikatnya hubungan antara manusia dan alam tidak semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, melainkan juga sebagai hubungan dalam hal manusia memengaruhi dan mengubah lingkungannya. Dalam konteks ini, para transmigran Jawa itu harus mengubah atau “memanipulasi” lingkungan lahan gambut menjadi lahan yang layak untuk bermukim dan bertani.

Usaha mengubah lingkungan alam yang baru dilakukan dengan cara menenggelamkan ban-ban bekas dan sabut kelapa ke rawa-rawa. Untuk mempercepat proses reklamasi agar rawa gambut tersebut layak menjadi lahan pertanian, kemudian mereka menimbunnya dengan tanah.

Guna menetralisir keasaman lahan, kapur pun ditaburkan. Usaha ini meniru apa yang dilakukan transmigran dan orang-orang Bugis di daerah delta Batanghari pada areal pasang surut dan menghasilkan panen raya. Padahal, keadaan ini hanya dapat terjadi di lahan-lahan yang dekat dengan Sungai Batanghari karena dekat dengan sumber air

Masalah lain yang sering terjadi pada permukiman di lahan gambut adalah soal ketersediaan air, baik untuk mengairi lahan pertanian maupun air bersih yang layak minum. Saat musim kemarau daerah lahan gambut sangat kering. Parit-parit yang sengaja digali di daerah ini ternyata justru menjadikan lahan lebih kering karena air yang “tersimpan” pada gambut terakumulasi di parit.

Lahan-lahan kering ini akhirnya dimanfaatkan penduduk sebagai lahan pekarangan. Pertanian yang dikembangkan adalah sistem ladang, bukan pertanian sawah pasang surut seperti yang dilakukan orang-orang Bugis di delta Batanghari.

Dalam usaha mengatasi kekurangan air bersih, pemerintah menyediakan peralatan penyulingan air. Peralatan ini ditempatkan di sebuah ponton yang dapat dipindah melalui parit-parit yang banyak terdapat di daerah transmigrasi. Air sulingan ini layak digunakan untuk air minum dan memasak. Untuk keperluan mandi dan cuci dipakai air hujan yang ditampung pada bak-bak penampungan.

Semua aktivitas manusia yang berlangsung di pantai timur Sumatera tersebut tentu kerangka landasan berpikirnya adalah kebudayaan. Hubungan antara aktivitas manusia dan lingkungan alamnya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimilikinya. Dari sebidang tanah yang tidak layak mukim dan untuk pertanian, menjadi lahan yang dapat menunjang kehidupan.

Bambang Budi Utomo Kerani pada Puslitbang Arkeologi Nasional

Artikel Lainnya