Mercusuar di perairan Bangka Belitung, seperti di Pulau Pelepas, Selat Bangka, merupakan tujuan wisata yang potensial. Tim ekspedisi Sriwijaya mengunjungi mercusuar di Pulau Pelepas yang disebut warga setempat sebagai Pulau Lampu, Kamis (8/10).
Mercusuar tersebut dibangun pada zaman kolonial Belanda, tetapi belum diketahui tahun pembuatannya. Di atas pintu masuk ke mercusuar terdapat plakat besi yang menjelaskan mercusuar tersebut dipugar pada tahun 1893. Mercusuar itu memiliki tinggi sekitar 50 meter.
Tim ekspedisi Sriwijaya mendatangi mercusuar dengan menumpang kapal nelayan dari Dermaga Tanjung Tedung, Kabupaten Bangka Tengah. Perjalanan dengan menggunakan kapal nelayan memakan waktu sekitar 30 menit. Pulau Pelepas hanya ditunggui empat petugas penjaga mercusuar karena pulau kecil tersebut tidak berpenghuni.
Dari puncak mercusuar, pengunjung bisa melihat ke arah Selat Bangka dan memandang Pulau Bangka di kejauhan. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan indah berupa laut berwarna biru kehijauan dan deretan pulau-pulau berpasir putih.
Menurut Soleh, petugas penjaga mercusuar, di perairan Bangka Belitung ada tiga mercusuar yang semuanya dibangun pada zaman Belanda, yaitu di Pulau Lampu, Pulau Pelepas, dan Pulau Dapur. Ketiga mercusuar tersebut ada penjaganya. “Pulau ini hanya ramai saat Lebaran, banyak wisatawan lokal datang ke sini. Akan tetapi, setiap hari banyak nelayan yang beristirahat di sekitar pulau,” kata Soleh.
Soleh mengungkapkan, mercusuar di Pulau Pelepas sudah 2 tahun memakai tenaga surya untuk menghidupkan lampu suar. Sebelumnya, mercusuar tersebut menggunakan tenaga genset untuk menghidupkan lampu suar.
“Jangkauan lampu suar mencapai 16 mil atau sekitar 30 kilometer. Dulu mercusuar sangat bermanfaat untuk membantu pelaut menentukan arah, tetapi sekarang dengan adanya GPS (global positioning system) dan radar, fungsi mercusuar semakin berkurang,” kata Soleh.
Jalur perdagangan
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengutarakan, banyaknya mercusuar yang dibangun Belanda di perairan Selat Bangka menunjukkan ramainya jalur pelayaran di perairan tersebut. Jalur itu sudah ratusan tahun merupakan jalur pelayaran yang ramai.
Pada masa kolonial Belanda, mercusuar dijadikan pedoman para pelaut, sedangkan pada zaman Sriwijaya memakai tanda-tanda alam yang ada di Pulau Bangka, seperti Bukit Menumbing dan tanda-tanda alam, seperti hutan bakau di pantai timur Sumatera.
“Belanda masuk ke Bangka Belitung karena timah. Timah memang komoditas yang penting pada abad ke-19 sehingga Belanda mendirikan banyak benteng di pesisir Bangka. Oleh karena transportasi perdagangan timah ramai, Belanda membangun mercusuar,” kata Nurhadi.
Mengenai potensi mercusuar di Bangka Belitung sebagai wisata arkeologi, Nurhadi menuturkan, wisata arkeologi tidak bisa berdiri sendiri.
Bangkai kapal
Tim ekspedisi Sriwijaya berhasil menemukan dan mendokumentasikan bangkai kapal yang tenggelam di perairan Pulau Nangka, Selat Bangka. Kapal yang tenggelam di kedalaman sekitar 17 meter tersebut bisa menjadi obyek wisata yang menarik di Selat Bangka.
Kepala Seksi Kerja Sama Direktorat Peninggalan Bawah Air Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Yudi Wahyudin mengungkapkan, kapal itu diduga tenggelam karena terkena torpedo. Namun, karena hambatan arus yang kuat dan rendahnya jarak pandang (visibilitas) di dalam laut yang hanya 1 meter, tim ekspedisi belum berhasil mengidentifikasi bangkai kapal tersebut secara lengkap.
Menurut Yudi, koordinat bangkai kapal tersebut adalah 02 derajat 22’45.6″ Lintang Selatan dan 105 derajat 43’31.5″ Bujur Timur. Kapal memiliki panjang 70 meter. Kondisi bangkai kapal telah ditutupi karang dan menjadi rumah yang disukai ikan-ikan.
“Kondisi bangkai kapal relatif utuh, tidak banyak bagian kapal yang hilang. Menurut para nelayan, jarang ada orang yang mengambil besi tua dari bangkai kapal tersebut. Para nelayan hanya mengambil ikan di sekitar lokasi,” ujarnya.(WAD)