KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga berkumpul untuk bertransaksi kambing ettawa di Pasar Kambing Peranakan Ettawa, Desa Pandanrejo, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu (2/5). Harga kambing yang mencapai puluhan juta rupiah ini pertama kali diimpor Pemerintah Belanda dari India pada tahun 1931 dan menjadi ternak unggulan di Kabupaten Purworejo.

Liputan Kompas Nasional

Sentra Peranakan Ettawa Kambing-kambing Itu Terbang ke Malaysia…

·sekitar 4 menit baca

Tidak mudah menemukan Pasar Seton Pandanrejo di Purworejo, Jawa Tengah. Untuk mencapai pasar kambing peranakan ettawa terbesar dan paling “meriah” yang ada di Indonesia itu, perlu perjalanan cukup panjang.

Setelah menempuh jalan penuh liku sarat tikungan tajam sepanjang 10 kilometer dari pusat Kecamatan Purworejo, Tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009 barulah melihat aktivitas perdagangan di lokasi tersebut. Di tempat itu, pembeli dan penjual kambing peranakan ettawa (PE) dari sejumlah daerah di Indonesia bertemu.

Penjual kebanyakan berasal dari Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, serta daerah di sekitarnya, seperti Wates dan Kulon Progo, DI Yogyakarta. Pembelinya sebagian besar berasal dari Pati dan Tegal (Jawa Tengah) serta Tulungagung, Lamongan, dan Madura (Jawa Timur). Ada juga pembeli dari luar Jawa, seperti Medan (Sumatera Utara), Lampung, dan Denpasar (Bali).

Di pasar yang terletak di Perbukitan Menoreh itu tak jarang juga terjadi transaksi perdagangan lintas negara. Pembelinya antara lain dari Malaysia dan Taiwan. “Yang dari Malaysia kadang-kadang datang kemari untuk melihat sendiri kambing yang ingin dibelinya,” cerita Marman, peternak sekaligus pedagang kambing PE asal Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing.

Kambing PE adalah hasil persilangan antara kambing ettawa dari India dan kambing lokal Kaligesing. Di pasar ini jenis kambing yang siap diperjualbelikan tersedia, mulai dari kualitas terbaik atau super yang disebut kualitas A hingga kualitas D (disebut kambing jawa randu atau bligon, yang kualitasnya di bawah A, B, dan C).

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Purworejo Nomor 188.4/2267/1989 tentang Pelestarian Kambing PE, perdagangan kambing PE sebenarnya diatur ketat. Di antara empat kelas tersebut, komoditas yang dapat diperdagangkan hanyalah kambing yang berkualitas D.

Kambing kualitas B dan C hanya boleh diperdagangkan dalam lingkup kecamatan dan kabupaten, sedangkan yang A tidak boleh keluar dari wilayah satu desa (hanya boleh dijual kepada warga setempat).

Meski demikian, aturan tinggal aturan. Aktivitas jual beli yang terjadi di pasar atau langsung di rumah-rumah peternak jauh di luar kendali. “Segala jenis kambing, mulai dari kualitas A hingga C, pernah kami kirimkan ke Malaysia,” ujar Marman.

Setahun sekali, lanjut Marman, Desa Tlogoguwo bahkan biasa menerima pesanan dari Malaysia. Satu kali pesanan bisa 1.000 hingga 2.000 ekor. Harganya beragam, Rp 2 juta hingga Rp 6 juta per ekor.

Untuk memenuhi pesanan dalam jumlah besar itu, pasokan kambing dikumpulkan dari beberapa peternak. “Kami menyebut ini sebagai proyek tahunan,” kata Marman lagi.

Sepakat soal harga

Hal serupa diungkapkan Sugiyono, pedagang sekaligus peternak kambing PE di Desa Pandanrejo. Menurut dia, segala pesanan kambing dari pembeli akan dipenuhinya selama ada kesepakatan soal harga. “Bagaimanapun, saya tidak mungkin menahan keluarnya kambing PE karena saya juga terdesak berbagai kebutuhan rumah tangga,” kilahnya.

Saat ini, kata Sugiyono lagi, ia masih memiliki kambing kualitas super bernama Kliwon, yang sudah menjuarai berbagai lomba di Jawa Tengah. “Oleh sejumlah pembeli, Kliwon pernah ditawar Rp 40 juta. Karena harga masih belum cocok, sementara ini Kliwon masih saya pelihara di rumah. Tapi, jika ada yang menawar hingga Rp 50 juta, saya tak ragu untuk menjualnya,” katanya menambahkan.

Sugiyono mengaku pernah menjual kambing PE ke Malaysia dan Taiwan. Harganya Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per ekor.

Tawar-menawar harga untuk pasar ekspor, menurut Sugiyono, kerap dilakukannya dengan pembeli mancanegara itu di halaman rumahnya. Sembari membicarakan soal harga, pelanggan biasanya akan melihat ternak dan memastikan kambing mana yang ingin dibeli.

Setelah jual beli disepakati, proses pengiriman kambing pun diatur si pembeli. “Biasanya, kambing diangkut menggunakan kapal atau pesawat terbang,” tuturnya.

Pawiro Sentono, peternak dari Desa Tlogoguwo, mengaku tahu bahwa Pemerintah Kabupaten Purworejo mengeluarkan aturan soal jual-beli kambing PE tersebut. “Tapi, untuk kambing kualitas A, saat ini kelompok ternak sudah tidak sanggup beli. Saya juga butuh uang. Apa pemerintah ngopeni (memelihara) kambing saya,” ujarnya.

Sukir, peternak lainnya, mengatakan, lalu lintas ternak tak terkendali karena pos pemeriksaan hewan juga tidak mengetahui mana kambing PE kualitas A dan mana kualitas D. “Ketika kualitas A saya akui sebagai kualitas C, mereka tetap percaya sehingga surat izin keluar ternak tetap dapat saya kantongi,” katanya.

Kepala Desa Pandanrejo Supandi (47) mengaku, penjualan PE kualitas A memang tidak bisa dihindari. Alasannya, peternak kerap dihadapkan pada kebutuhan hidup. “Tapi, peredaran kambing PE kelas A di pasar diupayakan seminimal mungkin, hanya sebatas beberapa ekor saja,” katanya.

Menurut dia, peraturan daerah yang melarang peredaran PE kualitas A dijual ke luar desa dibuat untuk mencegah penurunan kualitas PE. Namun, kenyataan menunjukkan lain karena pemerintah tidak bisa memberikan insentif khusus kepada peternak yang mau mempertahankan kambing pejantan unggulnya.

Artikel Lainnya