KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP

Rita (kiri) bersama sang nenek, Kasri, saat ditemui di rumahnya di Desa Kalibatur, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (29/4). Ia tak melanjutkan sekolah setelah ditinggalkan ayah, ibu, dan kakaknya yang bekerja sebagai TKI di Malaysia.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan 2009: Masa Depan Rita Pun Terenggut

·sekitar 3 menit baca

Wajah Rita (17) sedikit memerah tatkala ditanya tentang keluarganya yang menjadi tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Sejak delapan tahun lalu, ayahnya, Yaji (45), dan kakaknya, Yoyok (25), mengadu nasib di Selangor.

Setahun lalu Rita juga harus meratapi kepergian sang bunda, Martini (43), saat meninggalkan Desa Kalibatur, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menuju negeri jiran itu.

“Saya sering kangen dengan mereka. Kalau bisa memilih, saya inginnya mereka tak bekerja di luar negeri,” tutur Rita, Rabu (29/4), ditemani neneknya, Kasri (70).

Rasa getir terasa kian dalam karena ayahnya yang menjadi pekerja bangunan tak pernah pulang ke rumah sejak Rita berusia sembilan tahun. “Ibu dan kakak saya juga tidak selalu pulang kampung tiap tahun,” lanjutnya.

Meski demikian, Rita berusaha tegar menghadapi semua itu. Ia menyadari keputusan keluarganya itu dipicu kondisi kampung halaman yang tak bisa memberikan jaminan kehidupan yang layak akibat terbatasnya lapangan pekerjaan di sana.

Kondisi tanah perbukitan yang tandus di sebagian besar wilayah selatan Tulungagung membuat warga tak punya banyak pilihan. Mereka hanya bisa bercocok tanam menggunakan sistem tadah hujan yang hanya bisa dinikmati hasilnya setahun sekali. Itu pun dengan jumlah yang sangat sedikit, mengingat tanaman yang bisa ditanam hanya jagung dan ketela pohon.

Karena itu, tidak sedikit warga yang rela menempuh jarak ratusan ribu kilometer ke negeri tetangga untuk mencari nafkah. Di sana pada umumnya mereka bekerja sebagai kuli bangunan atau pembantu rumah tangga.

Pendidikan SD atau SLTP yang mereka enyam menjadikan para TKI tersebut tak mampu menembus lapangan pekerjaan di sektor formal meski sudah mengorbankan banyak hal penting dalam hidup ini, seperti meninggalkan anak, orangtua, dan kerabat lain.

Mereka bisa dikatakan telah kehilangan momen paling membahagiakan, seperti melihat dan mendampingi anak-anak tumbuh menjadi dewasa. Kemudian mengantarkan anak-anak menjemput masa depan mereka.

Rita, misalnya. Ia merasa sangat kekurangan pendamping dalam melanjutkan hidup ini. Gadis berkulit kuning langsat tersebut tak meneruskan sekolah setelah lulus dari SMP Negeri 1 Banyu Urip, Kalidawir, Tulungagung. Ia mengaku enggan melanjutkan pendidikan karena tidak ada yang mendampingi. Apalagi, ia juga harus menempuh jarak tak kurang dari 10 kilometer dari rumahnya untuk mencapai sekolah menengah atas terdekat.

“Seandainya ada angkutan umum, mungkin saya tetap melanjutkan sekolah. Nenek melarang saya naik sepeda motor sendiri,” paparnya.

Rita mungkin tak menyadari bahwa keterbatasan kondisi kampung halamannya diam-diam telah merenggut masa depannya. Andai pembangunan infrastruktur, seperti jalan lintas selatan (JLS) Jawa yang melalui wilayah Tulungagung bagian selatan sudah terealisasi, mungkin cerita Rita akan lain.

Buka belenggu

Kepala Desa Kalibatur Widodo optimistis pembangunan JLS akan membuka belenggu warga dari jaring kemiskinan dan ketertinggalan. Walaupun bukanlah solusi, setidaknya JLS mampu memperlancar aksesibilitas sehingga pada akhirnya mendorong tumbuhnya riak-riak kegiatan ekonomi.

“Kami bisa berdagang, membuka warung atau kios-kios kecil di sepanjang jalan. Hasil-hasil pertanian juga lebih mudah dijangkau pembeli sehingga petani memiliki posisi tawar yang lebih tinggi,” kata Widodo.

Hingga kini warga hanya bisa bekerja di ladang karena tidak ada industri apa pun di sana. Bekerja sebagai TKI dengan sendirinya menjadi rujukan utama. Setidaknya, 30 persen warga Desa Kalibatur, dari total 7.000-an penduduk, saat ini tercatat sebagai TKI. Mayoritas berusia produktif, 20-30 tahun.

Pendidikan

JLS memang diharapkan akan memberikan manfaat berarti bagi masyarakat sekitar. Namun, yang tidak kalah penting dipertimbangkan adalah akses terhadap dunia pendidikan, termasuk ke perguruan tinggi.

Jika itu terwujud, bukan mustahil peluang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sektor formal akan terbuka.

Kalaupun mereka harus bekerja di negeri lain, dengan modal pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang diperoleh tentunya akan jauh lebih terhormat. Seperti yang diharapkan proklamator Bung Karno, suatu hari bangsa ini akan menjadi bangsa yang disegani karena etos kerjanya….

Artikel Lainnya