KOMPAS/ANTONIUS PONCO ANGGORO

Sukidi (74), warga Desa Puru Jajar, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, berpose di depan rumahnya, Rabu (29/4). Ia tak mampu merenovasi rumahnya karena penghasilannya minim.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan: Kemiskinan Masih Mengungkung Trenggalek

·sekitar 3 menit baca

Di rumah berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, dan beratap genteng yang sudah tua di Dusun Puru Jajar, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Sukidi (74) tinggal sejak lahir. “Tidak ada perubahan apa pun sejak dulu,” katanya.

Sebagai orang yang tinggal di perbukitan, di daerah selatan Trenggalek, tidak banyak yang bisa dilakukan pria lulusan sekolah rakyat (setara SD) ini untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pekerjaan satu-satunya di kampung itu adalah bertani. Itu pun dengan lahan yang tidak luas, sekitar 200 meter persegi. Lahan tersebut terletak di samping rumahnya dan hanya bisa sekali tanam dalam setahun. Tanamannya hanya ketela alias singkong.

Tak adanya pasokan air yang masuk ke kawasan tersebut membuat petani di Puru Jajar hanya bisa menikmati hasil panen sekali setahun. Tidak seperti di daerah yang banyak pasokan air, yang bisa tiga kali menanam dalam satu tahun.

Sempitnya lahan, dengan sendirinya juga menyebabkan produksi ketela Sukidi tidak banyak. “Sebagian besar hasil panen digunakan untuk makan sehari-hari. Kalaupun ada yang dijual, jumlahnya sedikit sekali,” papar Sukidi.

“Singkong dari ketela sangat bermanfaat saat musim kemarau, terutama saat lahan tidak bisa ditanami,” tambah Sukidi.

Ketika tiga anaknya memilih ikut transmigrasi ke Kalimantan Timur tahun 1993, Sukidi berharap kesejahteraan keluarganya bisa meningkat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ketiga anaknya sibuk mencukupi kebutuhan hidup mereka masing-masing. Karena itu, Sukidi pun mau tidak mau harus bekerja dalam mencukupi kebutuhan dia dan istrinya.

Kesulitan semakin terasa saat kemarau tiba. Pada musim seperti ini sumber air bersih di sekitar rumah Sukidi menipis sehingga dia harus mencarinya dengan berjalan kaki hingga satu kilometer. “Tapi, tak apa-apa harus seperti ini. Yang penting, kami masih bisa hidup,” ujar penerima bantuan langsung tunai itu enteng.

Bernasib sama

Sukidi bukanlah satu-satunya orang di kampung itu yang kesulitan meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Marwan, salah satu tetua di kampung itu, seluruh warga bernasib sama. Karena itu, banyak laki-laki di sana yang memilih merantau ke luar Jawa. Kebanyakan ke Kalimantan, bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.

“Tapi, itu pun tidak selamanya berhasil. Apalagi sejak krisis global dan harga kelapa sawit anjlok, jumlah yang merantau ke Kalimantan berkurang banyak. Kalaupun ada yang nekat merantau, sering kali mereka pulang tanpa membawa hasil. Bahkan sering tekor sehingga mereka harus menjual hewan ternak atau harta berharga lainnya untuk mengganti biaya tiket pulang,” cerita Marwan.

Wagimun (40), suami Suminah (31), misalnya, merupakan salah satu buruh yang belakangan ini gagal meraih hasil di rantau. “Selama tiga tahun terakhir, suami saya yang selalu merantau ke Kalimantan pulang tanpa hasil. Tidak seperti saat dia merantau tahun 1994 sampai 2000. Setiap kali pulang, dia selalu membawa pulang uang sampai Rp 5 juta,” keluh Suminah.

Meski begitu, lanjut Suminah, Wagiman tetap memilih merantau. “Pekan lalu dia pergi lagi bersama tiga tetangga kami,” ujarnya.

Wagiman harus merantau karena Juni nanti anak semata wayangnya, Yuli, lulus SMP. Uang yang diperoleh di perantauan rencananya akan digunakan untuk pendidikan Yuli.

Mengungkung

Kemiskinan masih mengungkung Trenggalek. Dengan pendapatan per kapita pada tahun 2007 sebesar Rp 5,5 juta per tahun-jauh dari pendapatan per kapita Jawa Timur sebesar Rp 14,07 juta, termasuk kategori rendah-saat ini tercatat 148.199 penduduk yang hidup dalam kemiskinan.

Mereka berharap jalan lintas selatan yang sedang dibangun pemerintah benar-benar memberi manfaat. (A PONCO ANGGORO/DODY WISNU PRIBADI)

Artikel Lainnya