KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah pekerja pengiriman dan penjualan aneka produk kebutuhan masyarakat bersantai bersama di salah satu penginapan di Sindangbarang, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (6/5) malam. Para pekerja ini selalu menantang sulitnya medan jalur lintas selatan di Jawa Barat.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan Jawa 2009: Kisah Pengembara Penakluk Lintas Selatan Jabar

·sekitar 4 menit baca

Lima laki-laki memenuhi satu kamar di Penginapan Irayo. Satu di antara mereka sibuk menghitung sederet angka di buku yang dipegangnya, sementara yang lain mengobrol sambil menonton televisi.

Seminggu sekali mereka biasa bertemu di kamar penginapan sederhana berukuran 3 meter x 4 meter tanpapendingin ruangan tersebut. Air untuk mandi, kadang kala ada, tetapi sering kali mati. “Minggu ini penjualan tercatat Rp 10 juta. Targetnya Rp 2 juta lagi sehingga masih harus bekerja keras,” kata Andi Priyana (22), seorang tenaga penjualan yang sering disebut kanvaser, saat mereka bermalam di Penginapan Irayo, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (6/5) malam.

Andi dan keempat temannya yang berasal dari dua perusahaan berbeda itu setiap hari berkeliling ke sejumlah kecamatan di Cianjur selatan. Biasanya mereka akan bertemu di Irayo setelah mengirimkan produk mereka ke toko-toko. Irayo murah dan Sindangbarang adalah satudari dua kota kecamatan di Jabar selatan yang memiliki penginapan. Kalau meneruskan perjalanan hingga Agrabinta, mereka akan terhalang jalan buruk.

Jalur lintas selatan tidak akan hidup tanpa para sales kanvas atau kanvaser penjelajah jalan. Mereka tak hanya membuat warga desa yang tinggal di selatan bisa mendapatkan rokok, pulsa isi ulang selayaknya warga kota, racun tikus, dan air mineral, tetapi juga mampu membuat desa yang awalnya sepi menjadi lebih semarak.

Setiap hari, bermodalkan mobil boks standar 1.500 cc, para kanvaser itu mendatangi satu per satu toko dan warung desa, memasok barang-barang dariperusahaan mereka. Dalam sepekan mereka bisa mendatangi 4-5 desa dengan jarak tempuh sekitar 200 kilometer per hari. Jalan lintas selatan Jabar yang sebagian tak beraspal, berlubang- lubang besar, dan rawan longsor, yang terburuk justru pada penggal Cianjur-Sukabumi, mereka lintasi tiap hari. Di jalan lintas itu, dari panjang jalan 420 kilometer, yang rusak sekitar 50 kilometer.

Dana (28), kanvaser dari perusahaan rokok ternama, bersama Fajri (30), sopirnya, mengatakan, hari itu mereka membawa rokok dari Sindangbarang ke arah Kecamatan Argabinta hingga Bojongterong, dua lokasi di Cianjur selatan. Hari berikutnya mereka harus bergerak masuk ke Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, dan kembali ke Sindangbarang untuk mengantar rokok ke Cidaun. Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Cibinong hingga Cianjur.

Setelah menginap semalam di Cianjur, mereka berkeliling lagi ke rute yang sama hingga hari Minggu tiba. “Selama tujuh hari itu, saya hanya memiliki waktu di rumah satu hari. Itu pun datang pukul 08.00, berangkat lagi pukul 01.00,” kata Dana.

Persoalan mengantar barang tidak semudah yang dibayangkan. Medan jalur selatan Jabar kondisinya paling parah dibandingkan dengan lintas selatan DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Karena itu, mereka lebih sering hanya mengisi boks mobil setengahnya meski bisa dipenuhi dengan barang bawaan.

Menghadapi medan yang berat, mereka hanya berbekal nekat dan insting. Andi punya pengalaman mobilnya patah as di lintas selatan. “Kalau ada sinyal, kami bisa menelepon teman untuk dibawakan montir. Karena tak ada sinyal, mobil harus ditarik ke rumah warga terdekat dengan mobil lain atau didorong,” ujar Andi.

Pengembara

Kehidupan kanvaser adalah kehidupan pengembara. Saingan bisnis dari perusahaan berbeda menjadi teman akrab di lapangan. “Kalau mobil teman rusak di jalan, kami bisa saling kontak dan minta bantuan montir atau mengajak warga untuk ikut membantu,” kata Maman Abdulrahman, kanvaser voucer pulsa berusia 18 tahun.

Mereka berbagi nasib. Soal losmen adalah salah satunya. Tidak semua perusahaan memberikan plafon cukup untuk biaya menginap. Para kanvaser pun harus pintar-pintar berhemat. Sewa kamar semalam Rp 100.000 bisa ditekan menjadi Rp 35.000. Karena sudah menjadi langganan, mereka mendapatkan potongan harga hingga seperempat harga kamar.

“Mereka itu seperti anak saya sendiri. Pagi dan sore saya kasih kopi, menginap pun kami beri harga khusus,” kata pemilik Penginapan Irayo, Nyonya Pagawah Perangin-angin (61).

Ia menuturkan, pada tahun 1990-an, sejak jalur lintas selatan dibuka, banyak kanvaser yang datang ke desanya. Dari situlah perekonomian desa mulai berkembang. Barang kebutuhan sehari-hari, seperti sabun mandi hingga rokok, mulai tersedia di warung-warung desa. “Sebagian besar kanvaser menginap di penginapan ini,” ujarnya.

Nyonya Gawah memperlakukan para kanvaser itu dengan istimewa. “Karena langganan, mereka tak perlu bayar penuh. Hitung-hitung, mengurangi pengeluaran mereka karena dari mereka jugalah penginapan ini terisi,” katanya.

Meski gaji mereka cekak, Rp Rp 900.000-Rp 1,7 juta per bulan, para kanvaser berjasa membuat perekonomian rakyat hidup. “Doakan semoga selamat, ya. Saya mau mampir dulu ke warung yang murah,” kata Fajri ketika Tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009 minta izin turun dari mobil boksnya di Desa Kertajati, Cianjur selatan.

Artikel Lainnya