KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tukang ojek melayani penumpangnya saat melintasi jalanan berbatu di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Minggu (15/3). Kondisi jalan yang berat membuat tukang ojek harus membawa sepeda motornya ke bengkel sekali seminggu. Bahkan, paling lama dua tahun sepeda motor sebagai alat untuk mencari nafkah itu harus diganti lagi.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan Jawa 2009: Mereka yang Berjibaku Meretas Jalan

·sekitar 3 menit baca

Mesin sepeda motor mulai menderu tatkala jalanan berbatu belah menunggu di depan. Setelah sukses melalui tanjakan kecil di awal perjalanan, guncangan makin terasa keras. Terasa nyeri di pantat.

Namun, Huseng (35) justru menggeber mesin sepeda motornya. Penumpang yang duduk di jok belakang terus meringis menahan rasa khawatir, takut jatuh di tengah jalan ketika tanjakan tak berhasil dilalui. “Sudah biasa. Memang harus berani,” tuturnya menenangkan.

Iring-iringan empat sepeda motor tiba-tiba terhenti tepat di tengah kawasan ladang. Gir depan salah satu sepeda motor rontok sehingga tenaga yang dihasilkan mesin tidak bisa disalurkan oleh rantai ke roda ban belakang. Segera saja pengendara sepeda motor itu berbalik arah turun mencari bengkel, sekitar 5 kilometer jauhnya. Untung jalan pulang menurun sehingga tanpa bantuan tenaga mesin pun sepeda motor masih bisa melaju.

Masih tersisa tiga motor, sementara ada empat penumpang. Tanpa pikir panjang, Mumud (42), pengojek lainnya, memanggil dua penumpang untuk naik di jok belakang. Gila! Di jalan terjal berbatu yang amat berat itu, satu sepeda motor dinaiki tiga penumpang sama saja dengan menantang bahaya. Mumud pun memacu sepeda motornya dengan kencang, meliuk-liuk menghindari batu dan lekukan jalan.

Berani karena biasa. Itulah keseharian para tukang ojek yang biasa mengantar penumpang ke Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Tak ada angkutan pedesaan yang sanggup melintasi jalan menuju Kampung Dukuh. Di sana hanya ojek yang beroperasi. Mereka pula yang kerap mengeluhkan seringnya mengganti komponen sepeda motor karena rusak akibat dibawa melintasi jalan berbatu.

Huseng mengatakan, terdapat dua desa yang harus ditempuh melalui jalan rusak, yaitu Ciroyom dan Karangsari. Jika hujan turun, jalanan berlumpur dan banyak kubangan. Ongkos sekali jalan ke Desa Karangsari Rp 50.000 atau Rp 100.000 pergi pulang. Padahal, kalau saja kondisi jalan mulus, paling ongkos ojek pergi pulang ke Karangsari hanya Rp 20.000.

Jalan rusak menyebabkan laher (lager) roda buatan dalam negeri seharga Rp 20.000 per pasang bisa diganti setiap minggu. Selain itu, usia ban seharga Rp 125.000 per unit yang normalnya tiga bulan menjadi satu bulan. Pelumas seharga Rp 35.000 per kemasan pun harus diganti setiap tiga minggu dari masa pakai normal satu bulan.

Rusaknya jalan menuju Kampung Dukuh seharusnya tidak terjadi, mengingat tahun 2008 Dinas Bina Marga Garut menitikberatkan penanganan jalan menuju obyek wisata. Selama ini Kampung Dukuh merupakan obyek wisata budaya yang ada di Garut selatan.

Menurut Kepala Dinas Bina Marga Garut Atang Subarzah, anggaran untuk infrastruktur 2009 hanya Rp 24 miliar atau sepertiga dari jumlah kebutuhan 2008 sebesar Rp 78 miliar.

Berdasarkan data Dinas Bina Marga Garut, panjang jalan kabupaten di Garut 827 kilometer. Sepanjang 236 kilometer di antaranya diprioritaskan untuk diperbaiki karena kondisinya rusak berat. Jalan dengan kondisi sedang mencapai 270 kilometer, sedangkan dengan kondisi baik sekitar 321 kilometer.

Sulitkan petani

Mumud mengatakan, hampir semua masyarakat Ciroyom dan Karangsari menggantungkan hidup pada sektor perkebunan. Komoditasnya antara lain pisang, mangga, singkong, dan ubi. Jika hendak menjual hasil panen, mereka melintasi jalan berbatu-batu.

Jalan sekitar 7 kilometer harus ditempuh untuk memanggil pengepul. Selanjutnya, pengepul akan membawa mobil bak terbuka untuk mengambil hasil panen. Tidak efektif, tetapi petani enggan memiliki sepeda motor karena pengeluarannya besar.

Jalan sulit di ruas antara lintas selatan menuju Kampung Dukuh merupakan potret kondisi infrastruktur di wilayah selatan Jawa Barat. Wajar kalau kondisi infrastruktur jalan yang buruk menjadi pemandangan biasa di wilayah selatan Jawa Barat. Daerah itu memang hampir tak pernah tersentuh kendati rezim telah berganti rezim.

Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, Nina Herlina Lubis, mengatakan, pada masa invasi Kerajaan Mataram ke arah barat, wilayah selatan tak terjamah karena kondisi geografis yang sulit. Demikian juga ketika VOC yang agresif mengisap hasil bumi di Pulau Jawa, wilayah selatan Jawa Barat juga masih tak tersentuh.

“VOC hanya menyentuh Palabuhanratu dan Cilacap. Sampai masa VOC berakhir pada tahun 1799, mereka juga tak pernah sampai ke wilayah selatan Jawa Barat,” ujar Nina.

Ketika Indonesia akhirnya menjadi negara berdaulat, wilayah selatan tetap menjadi daerah yang tak mendapat perhatian.

Belakangan ini, wacana pengembangan wilayah selatan Jawa Barat mulai kencang berembus, diawali dengan perbaikan dan peningkatan status jalan lintas selatan. Semoga wacana itu bukan sekadar angin surga.

Artikel Lainnya