KOMPAS/PRIYOMBODO

Hamparan tanah kosong di Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel, Papua, seperti terlihat hari Selasa (21/8), masih cukup banyak di daerah itu. Tanah begitu berarti bagi orang asli Papua. Karena itu, keberadaan sertifikat tanah menjadi demikian penting bagi pembelinya, mengingat tidak jarang tanah yang sudah diserahterimakan masih diperdebatkan keluarga besar pelepas tanah. Hal ini tentunya menjadi kendala masuknya investor ke sana.

Liputan Kompas Nasional

Hak Ulayat: Putar Otak Soal Tanah

·sekitar 5 menit baca

Tak terbantahkan, Boven Digoel adalah kota yang kaya kisah dan peninggalan bersejarah. Tak terbantahkan pula, peliknya persoalan tanah adat di sana. Pelik? Bisa juga tergantung kepada siapa pertanyaan ditujukan.

Kepada penduduk asli Papua di sana, terutama para tua-tua, maka jawabannya; “Ooo tidak juga”. Namun, bila pertanyaan diajukan kepada para pendatang yang pernah membeli tanah, maka akan muncul jawaban sebaliknya. Menggunakan istilah setempat; “setengah mati”.

Husein, misalnya, pendatang dari suku Bugis yang terpaksa menjual lagi tanahnya seluas 40 x 70 meter persegi kepada sesama pendatang karena tak tahan meladeni “keanehan”. Setelah hampir sepuluh tahun tanahnya tak diurus, separuh tanah itu diklaim lagi oleh si penjual.

Menurut pihak penjual, harga jual ketika itu terlalu murah sehingga harus ada penyesuaian. Setelah “disesuaikan”, datang lagi persoalan dari pihak keluarga besar penjual yang katanya tidak mendapat bagian uang pascapelepasan tanah.

Setelah diberi sejumlah uang, masalah belum juga selesai. Sebagian tanah yang sudah dibeli diminta untuk akses keluar masuk makam. “Jangan anggap ada sertifikat tanah lalu semua beres di sini. Salah itu,” kata pendatang yang tinggal di Tanah Merah sejak tahun 1980-an.

Salah satu kasus yang melibatkan negara dengan masyarakat adalah status tanah bandar udara Tanah Merah, yang sudah dibangun sejak zaman Hindia Belanda. Tanah bandara seluas 575.565 kilometer persegi yang telah bersertifikat sejak tahun 1987 itu digugat lagi oleh ahli waris pelepas tanah.

Surat sertifikat yang sah secara hukum tak berarti sama sekali karena tak ada bukti pelepasan tanah adat. Itulah salah satu persoalan yang dihadapi pengelola bandara, Departemen Perhubungan.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bandara Tanah Merah Marianus Uniplaita, memang tak ada bukti pelepasan tanah. Yang ada justru data 23 ahli waris yang belum menerima pembayaran ganti rugi bangunan dan tanaman.

“Kompensasi atas kelalaian diberikan tahun lalu, tapi mereka tetap mengklaim belum beres. Bahkan, sebagian tanah sudah dijual kepada pihak lain. Warga minta ganti rugi lagi Rp 5 miliar, tapi pemerintah daerah menawar Rp 3 miliar,” katanya.

Pembangunan terhenti

Kasus lainnya, warga mempersoalkan status tanah lokasi pembangunan kompleks kabupaten. Tahun 2002, tokoh-tokoh adat penguasa tanah itu memberikan pernyataan resmi menyerahkan lahan 10 x 10 kilometer persegi kepada pemerintah daerah di hadapan gubernur Papua ketika itu.

Kini pembangunan kompleks perkantoran terhenti sementara, menunggu penyelesaian kasus, terkait soal pembayaran.

Menurut penuturan para tokoh penduduk asli Boven Digoel, sebagian besar tanah adat di Tanah Merah dikuasai suku Mandobo. Namun, di dalam suku-suku tersebut masih ada beberapa marga lagi.

Meskipun satu marga, tetapi bila menyangkut soal tanah, nyawa bisa menjadi taruhannya. “Jangan main-main soal tanah di sini,” kata ‘tuan dusun’ Mandobo Paulus Kaat (56). Marga Kaat adalah salah satu marga penguasa sebagian besar tanah di Tanah Merah.

Menurut dia, selesaikan persoalan tanah hanya dengan marga pemilik tanah, yang secara turun-temurun sudah diketahui marga-marga atau suku-suku lain. Salah mengajak orang, hanya akan mengundang masalah baru.

Di Papua berlaku prinsip, jangan pernah mengambil babi buruan yang mati di tanah milik marga lain, meskipun babi terkena panah di tanah milik si pemburu. Bisa-bisa nyawa melayang.

Sebelum mengambil babi buruan, pemburu harus menemui pemilik tanah tempat matinya babi, lalu diambil bersama-sama dan dagingnya dibagi dua. Bila tidak dilakukan dan ketahuan, anak panah pemilik tanah siap dilepaskan dari busurnya.

Bukan masalah

Di antara pihak yang menilai persoalan tanah di Boven Digoel tidak rumit adalah Bupati Yusak Yaluwo. Ia mengatakan bahwa persoalan tanah sebesar apa pun bisa diselesaikan melalui pendekatan, termasuk mengumpulkan semua keluarga pemilik tanah. “Jangan libatkan suku lain,” tuturnya.

Diakuinya, ketidakpuasan dalam satu keluarga sering muncul terkait soal pelepasan tanah adat. Tak heran, persoalan tanah belum juga beres sekalipun dana Rp 1 miliar sudah dihabiskan.

“Saya tetap yakin soal tanah dapat diatasi dengan orang dan pendekatan yang tepat. Jadi, calon investor jangan khawatir dengan persoalan tanah di sini,” kata putra asli Boven Digoel tersebut.

Optimisme serupa diungkapkan Kepala Distrik Mandobo Djukmarian, yang hampir dua tahun menjabat. Namun, ia juga mengakui pembangunan saat ini terkadang masih terhambat akibat persoalan tanah, seperti yang berkaitan dengan status pelepasan tanah dan batas-batas kepemilikannya.

“Memang sebagian besar tanah di Distrik Mandobo dikuasai suku Mandobo, tetapi peta kepemilikannya hingga kini belum jelas seratus persen. Habis dana jutaan rupiah tetap belum jelas,”ujarnya.

Dengan kata lain, menuntaskan persoalan tanah adat benar-benar harus memutar otak. Dan, di Tanah Merah yang sedang berkembang menjadi kota kabupaten, persoalan tanah kian sering muncul. “Di kampung lain, di kawasan perbatasan, relatif mudah diatasi,” kata Djukmarian lagi.

Persoalan tanah juga berdampak pada proses pengajuan kredit di bank. Seluas apa pun tanah yang dijaminkan kepada bank, pinjaman yang diharapkan tidak akan setimpal dengan nilai tanah.

Status tanah pelepasan, bila terjadi kredit macet, tidak dapat dilelang karena sistem yang ada belum mengakui status itu. Berbeda dengan status tanah bersertifikat.

“Kami sebenarnya mau membantu, apalagi untuk modal usaha. Tetapi, kami punya sistem dari pusat yang membedakan sertifikat dengan status pelepasan,” kata Kepala Unit Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tanah Merah Nataniel Pasule.

Libatkan distrik

Untuk menghindari konflik seputar pelepasan tanah adat di belakang hari, Djukmarian membuat kebijakan, setiap pelepasan tanah harus ada bukti pelepasan hitam di atas putih yang diketahui distrik.

Bahkan, pihak distrik harus terlibat sejak pengukuran luas tanah, bertemu dua pihak penjual dan pembeli, hingga data saksi-saksi.

Yang berlaku sebelumnya, pihak penjual yang umumnya disebut para “tuan dusun” atau “tuan tanah” datang ke kantor distrik untuk meminta tanda tangan surat pelepasan setelah semua proses selesai. Pihak distrik tidak mengetahui luas, transaksi dua pihak, atau saksi-saksi.

“Di sini data-data pelepasan sangat penting. Bahkan, kadang jauh lebih penting daripada keberadaan sertifikat tanah sekalipun,” kata Djukmarian.

Salah satu tokoh muda Boven Digoel, Yohanis Wati (36), mengatakan, persoalan tanah adat “susah-susah gampang”. Dia berpendapat, tidak akan muncul persoalan bila proses pelepasan tanah dikeluarkan orang yang memang pemiliknya, dengan disaksikan keluarga besarnya. Apalagi diperkuat bukti surat pelepasan yang ditandatangani pihak keluarga dan unsur pemerintah.

“Sebenarnya, soal kepemilikan tanah di sini sudah diatur oleh nenek moyang. Kami yang muda-muda inilah yang sering bikin kacau saja,” ucapnya.

Keberadaan pihak ketiga yang hanya mencari keuntungan dari persoalan tanah memang diakui sering memperkeruh persoalan. Tak jarang kesepakatan yang sudah diambil para pihak terkait akhirnya mentah lagi karena ada masukan dari anggota keluarga satu marga si pelepas tanah.

Persoalan tanah di Papua barangkali wajah sebuah dilema. Di satu sisi pembangunan membutuhkan pelepasan tanah adat. Di sisi lain, pemerintah, pendatang, dan investor yang membutuhkan kejelasan status tanah untuk pembangunan dan lahan usaha harus memutar otak mengantisipasi semua kemungkinan, yang di tempat asal mereka dipandang sebagai sebuah kejanggalan. (GSA)

Artikel Lainnya