Setelah Teluk Bintuni dimekarkan lima tahun lalu dari Manokwari, Papua Barat, secara fisik tampak banyak perubahan di Bintuni Kota. Jalanan ramai dan aktivitas ekonomi meningkat. Namun, apakah ini menunjukkan pemekaran wilayah itu berhasil membawa kemajuan bagi masyarakat?
Dalam beberapa kesempatan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Teluk Bintuni kerap mendengungkan keberhasilannya meningkatkan sektor usaha kecil masyarakat. Perdagangan sembako, makanan, perlengkapan dapur, hingga pakaian memang tampak menjamur di Bintuni Kota.
Akan tetapi, menurut pengamatan tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007, hampir seluruh bidang ekonomi rakyat itu dikuasai pengusaha pendatang. Secara kasatmata, hal ini dapat dilihat di kios pasar tradisional Bintuni serta di sepanjang Jalan Bintuni Raya. Masyarakat asli cenderung menjual hak atas tanah kepada para pendatang yang akan membuka usaha.
Yoel Abraham Wakaburi, Koordinator Tujuh Suku Lembaga Musyawarah Adat Masyarakat Teluk Bintuni, menyatakan, dia sudah berupaya mengimbau orang asli Papua untuk tidak melepas hak atas tanah yang berada di daerah strategis.
“Saya sudah menyosialisasikan agar pendatang hanya diberi hak sewa tanah oleh orang asli Papua yang belum siap mengelola usaha kecil. Dengan harapan, kalau nanti sudah siap, mereka dapat membuka usahanya sendiri,” ujarnya.
“Namun, sekarang nasi telah menjadi bubur. Tanah di jalan-jalan strategis kota sudah dilepas masyarakat,” tambah Wakaburi, seraya mengatakan, dirinya berharap pengusaha pendatang dapat memberi perhatian bagi peningkatan potensi masyarakat lokal.
Menurut Lewi Karafei, warga setempat, orang asli Papua pada umumnya memang kurang tertarik untuk berdagang. Mereka lebih mengejar posisi pegawai negeri sipil (PNS). Jadi, itu tidak didapat, mereka memilih menjadi tenaga kerja bongkar muat di Pelabuhan Bintuni atau nelayan.
Meski demikian, Bupati Teluk Bintuni Alfons Manibui tetap berupaya mengajak mereka untuk berdagang. Karena itu, sejak tahun 2005 dibangun lima kios (130 unit) di Pasar Sentral Teluk Bintuni dengan total anggaran lebih dari Rp 26 miliar.
Kondisi serupa berlangsung di Kabupaten Supiori, Papua. Di kabupaten yang baru lahir empat tahun lalu ini, pemekaran wilayah dinilai telah menghasilkan perkembangan pembangunan.
“Setelah dimekarkan dari Biak Numfor, ada pembangunan di desa kami. Tahun ini telah dibangun 17 rumah dan penerangan listrik melalui pengadaan mesin diesel dengan kekuatan 45.000 watt. Selain itu, pemkab juga membantu pengadaan peralatan untuk air bersih,” ujar Piter Pombos, Kepala SD Inpres Nyendi, Sepnat Wamaer, dan Kepala Desa Douwbo di Distrik Supiori Timur.
Membangun mal
Sekretaris Daerah Supiori Ani Kesawilija, kepada Kompas, menjelaskan, pihaknya kini sedang membangun Pasar Sentral di Desa Marsram dalam rangka memacu atau mempercepat kegiatan perekonomian di Supiori. “Kami menyediakan dulu prasarananya secara baik. Bahkan, direncanakan di belakang pasar juga akan dibangun perumahan bagi pedagang agar mereka segera masuk Supiori dengan nyaman,” ujarnya.
Pasar itu diperkirakan termewah di Papua. Dibangun di atas lahan seluas lima hektar. Bangunannya saja sekitar satu hektar. Dari denah yang dibuat, bangunan pasar dua lantai itu mirip mal, mungkin bisa dikatakan semimal.
Pemkab Supiori, lanjut Ani, juga akan membangun pelabuhan peti kemas untuk jalur Teluk Cenderawasih. “Dinas Perhubungan Provinsi Papua telah melakukan survei. Diperkirakan pembangunan dilaksanakan tahun depan,” paparnya.
Maksud gebrakan pembangunan pasar, baik di Bintuni maupun Supiori, mungkin baik. Namun, bukankah pembangunan tersebut hanya terkesan berorientasi pendekatan proyek? (ICH/SEM/JOS)