“Ko pi mana?”
“Sa pi perbatasan!”
Tanya jawab ini tidak ada urusannya dengan minta segelas kopi dan sekilo daging sapi. “Kau mau pergi ke mana?” “Saya pergi ke perbatasan!” Begitu kira-kira arti kedua kalimat tersebut, khas dialek Papua dan Indonesia timur lainnya.
Perjalanan ke perbatasan RI dan Papua Niugini melewati jalan hotmix yang cukup mulus. Konon, beberapa bulan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bermaksud melakukan kunjungan ke perbatasan itu meski akhirnya batal.
Sebelum memasuki kawasan perbatasan itu pada pertengahan Agustus lalu, mobil sewaan tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 pun berhenti sebentar. Kemudian, setor senyum, angguk-angguk kepala, seraya kasih sapa basa-basi “selamat siang” kepada anggota polisi dan TNI Angkatan Darat di pos jaganya masing-masing.
Palang pun kemudian dibuka dan tersedialah pelataran parkir milik RI, hanya beberapa meter dari border zone luar negeri yang pagar besi. “Ah kitong su masu pe-en-je (Papua Niugini/PNG),” kata Yones Muttang (40), Kepala Desa Skouwsei, Kabupaten Keerom, Papua, sekitar 45 kilometer dari Jayapura.
Yones pun mengajak berjalan kaki beberapa puluh meter saja, lalu ajak duduk di suatu kios penjaja aneka cinderamata, termasuk kornet, sosis, dan ikan kalengan. Ada juga topi, kaus, gelas dengan sablonan lambang negara PNG. Lelaki Skouwsei yang mengepalai sekitar 150 keluarga itu selanjutnya mengambil setumpuk buah pinang, buah sirih, dan kapur, dan kontan mengunyah sambil duduk serta meluruskan kaki.
Tak lama bibirnya dibasahi cairan warna merah (hasil kunyahan pinang-sirih) dan berkata, “Batas negara tara batasi kitong pu ikatan persaudaraan dan keluarga. Kitong di Skouw masih ada hubungan adat deng dorang Wutung di pe-en-je.”
Yones selanjutnya menceritakan bahwa ada warga PNG yang memiliki dan masih mengolah tanah adatnya di daerah RI. Lelaki berputra-putri empat orang ini juga menuturkan, dia lebih suka berdagang pinang-sirih dan hasil kebun warganya ke Abepura, di Jayapura. Harga barang itu di PNG lebih rendah meski mata uang kina PNG katanya pada pertengahan Agustus lalu sekitar Rp 2.200 per satu kina.
Yang cukup menarik perhatian kala itu adalah saat kaki menginjak tanah PNG. Mata langsung disambut dengan pemandangan berupa billboard besar yang bertuliskan “AIDS”, plus kalimat berbahasa pidgin PNG yang ada kata “kondom”. “Kampanye anti-HIV/AIDS pe-en-je dibantu keras Pemerintah Australia. Katanya strain virus HIV asal PNG lebih ganas,” ujar Max Marcus Leleulja, staf World Vision Indonesia yang sering ke Keerom untuk isu program prevensi HIV/AIDS buat anak-anak dan remaja Papua.
Garis orang kuno
Bangunan pos perbatasan RI, yang berjarak 52 kilometer dari Jayapura, itu jauh lebih mewah dan besar dibandingkan dengan pos perbatasan milik PNG. Pos di PNG bahkan tidak dijaga petugas berseragam yang dilengkapi senjata api.
Tanah di antara dua kompleks bangunan itulah-dari arah utara ke selatan merupakan garis tanah perbatasan tanpa pagar dan tapal bangunan-yang menjadi garis batas, seperti disepakati di meja perundingan antara Belanda-Inggris pada 16 Mei 1895 di ‘sGravenhage, Belanda.
Tercatat, garis itu terletak pada 141 derajat 1 menit 47 detik bujur timur (BT), menurut peta bumi formal. Pokoknya, dari pantai utara yang kelihatan indah dari samping kios penjual sosis, garis maya 141 derajat BT itu menerobos langsung ke selatan dengan lurus, lalu itu berkelit mengikuti lengkung Sungai Fly, kemudian ikut garis lurus 141 derajat BT sampai ketemu ujung batas pantai selatan.
Warga pribumi di kawasan itu tentunya tidak tahu kalau nasib mereka telah dicerai-beraikan oleh “kesepakatan” di atas meja rapat orang-orang bule pada 112 tahun silam. Yones pun menganggap hal itu bukan urusan adat sukunya. Pokoknya, yang mereka tahu, tanah Papua RI dan tanah Papua Niugini di sekitar daerah perbatasan itu sama-sama tanah milik adat mereka.
Orang-orang di sana sangat tahu, kalau daerah perbatasan itu tidak mungkin dijaga habis-habisan oleh polisi dan tentara. Makanya, banyak jalur yang amat memungkinkan mereka keluar-masuk untuk membawa barang selundupan. Bahkan, diduga pula menjadi jalur gelap ganja.
Bagi Yones Muttang dan warga sekampungnya dari klen marga Muttang, Lomo, Nali, dan Retto, kehidupan sehari-hari mereka tidak bergantung pada warganya di pe-en-je. Mereka hanyalah petani kebun sirih, pinang, keladi, kacang tanah, kacang panjang, buncis, kol, tomat, ubi, dan lainnya, plus nelayan di laut pantai kampungnya. Ya khas dan tipikal ala kehidupan orang Papua di pesisir lainnya.
Meski pada tahun 1980-an daerah adatnya sempat disebut daerah “merah” alias kawasan bahaya gerombolan pengacau keamanan, rutinitas kehidupan mereka tetap sebagai pedagang ulang-alik Skouw-Pasar Abepura meski harus bayar ongkos angkutan taksi yang besar. Paling tidak ongkosnya minimal Rp 25.000 per hari.
“Pinang Skouw terkenal bagus, sirihnya juga begitu. Dari sirih-pinang rata-rata kitongdapa Rp 300.000 per bulan. Tapi harga beras su Rp 12.000 per kilo. Minyak lampu Rp 7.000 per liter,” ujar ondoafi atau kepala klen Skouwsei itu.
“Kecil, kecil sekali pendapatan dari hasil tani, tara sebanding dengan harga barang lain. Makanya kami tara bisa kaya ha-ha-ha,” katanya tertawa lebar.
Lupakan jadi orang kaya sebab Yones kelihatannya senang karena di sekitar kampungnya sudah tidak banyak pos jaga polisi dan tentara. Juga Yones dan kawan-kawan tetap bebas berkata sa pi perbatasan dan ke “luar negeri” meski hanya duduk-duduk dengan kerabatnya sambil mengunyah pinang-sirih. Mungkin sambil melamunkan nasibnya sebagai warga negara kesatuan RI yang hidup di ujung timur perbatasan, jauh dari orang pusat di barat. Hebat.
RUDY BADIL Wartawan Tinggal di Jakarta