KOMPAS/FANDRI YUNIARTI

Orang Tobati, yang terdiri dari 12 suku, masih mempertahankan kampung nenek moyang mereka di kawasan Yotefa, Kota Jayapura, Papua. Meski demikian, saat ini hanya ada 48 keluarga yang mendiami rumah-rumah moyang mereka itu, sedangkan sebagian besar lainnya tinggal di wilayah daratan, antara lain di Hamadi, Entrop, dan Kotaraja (Jayapura). Ketika tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 mengunjungi kampung itu, Minggu (19/8), sejumlah warga tampak bersantai. Sebagian baru pulang dari kawasan daratan menggunakan perahu bermotor.

Liputan Kompas Nasional

Permukiman Tradisional: Tobati, Kampung Tua di Jayapura

·sekitar 5 menit baca

Mengunjungi Kampung Tobati di kawasan Yotefa, Jayapura, Papua, bak rekreasi ke perumahan di atas air. Suasana yang tenang dan sambutan hangat warga membuat komunikasi terasa menyenangkan.

Hei… mau ke mana?” seru seseorang yang sedang duduk bersama dua rekannya di suatu rumah yang dilalui tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 siang itu. “Kami mencari Pak Kepala Desa,” jawab Kompas.

“Mari sini,” ujar lelaki setengah baya itu sambil memberi isyarat untuk menghampiri rumahnya.

Ketika Kompas sampai di teras rumah tua itu, ternyata yang memanggil tadi adalah salah satu tokoh adat Tobati. Agus Hababuk namanya. Ia sedang berkumpul bersama tokoh adat lainnya, Zet Hai, dan Kepala Adat Kampung Tobati Johanes Ireuw.

Akhirnya, perbincangan berlanjut, mulai dari kisah nenek moyang Tobati sampai penggunaan dana otonomi khusus di kampung tersebut.

“Tobati itu berkaitan dengan kata ‘tab’. Artinya, orang yang memercayai bahwa di dunia ini ada yang berkuasa. Nenek moyang kami, karena melihat matahari, kemudian berkeyakinan bahwa di atas ini ada yang kuasa,” kata Ireuw mengawali cerita.

Orang Tobati yang sekarang tinggal di Kampung Tobati, lanjutnya, adalah keturunan ke-15. Menurut sejarahnya, nenek moyang mereka menempati lokasi perairan itu sejak tahun 1908. “Karena itu, tahun depan kami akan membuat peringatan 100 tahun Kampung Tobati di sini,” ujar Ireuw.

Ia menambahkan, Kota Jayapura baru lahir tahun 1910, sedangkan orang Tobati sudah menguasai sebagian wilayah Jayapura sebelum kota itu lahir. “Awalnya orang Tobati tinggal di Pulau Rianuk, yang sekarang ini dimanfaatkan sebagai tempat pemakaman warga Tobati. Kemudian pindah ke tepi pantai yang saat ini menjadi Kampung Tobati,” tambah Ireuw yang kini bekerja di Dinas Pariwisata Pemerintah Kota Jayapura.

Ia mengakui, di kampung itu memang tidak banyak lagi penduduk Tobati. “Yang tinggal di sini hanya 48 kepala keluarga. Kebanyakan tinggal di daratan, antara lain di kawasan Hamadi, Entrop, Sky Line, dan Kota Raja, di Kota Jayapura,” tambahnya.

Orang Tobati, lanjut Ireuw, terdiri dari 12 suku, yakni suku Hamadi, Itar, Ireuw, Hai, Atar, Dawir, Mano, Hababuk, Ijama, Srem-Srem, Merauje, dan Haser. “Bagaimana dengan warga di Injros?” tanya Kompas.

“Konon, menurut ceritanya, di masa lalu anak dari pemimpin Tobati bertengkar. Akhirnya mereka pisah tempat tinggal sehingga kini selain ada yang tinggal di Kampung Tobati, ada juga yang tinggal di Kampung Injros,” tutur Ireuw, sambil menunjuk perkampungan di atas air yang ada tidak jauh dari Kampung Tobati.

“‘In’ itu artinya tempat, sedangkan ‘jros’ artinya kedua. Injros artinya tempat kedua. Makanya, daerah itu disebut Injros. Jadi, di sinilah tempat pertama nenek moyang kami,” lanjut Ireuw sambil tertawa kecil.

Di sela-sela perbincangan itu, Agus Hababuk menyeruput air es yang telah disediakan anaknya. “Hei… ada es di sini?” tanya Kompas tercengang. “Oh, ya… kan ada listrik,” jawab Hababuk. Ia pun langsung memanggil anaknya untuk membeli es di salah satu warung dan kemudian menyediakan minuman serta biskuit.

Perbincangan semakin lancar. Hababuk pun mengunyah buah pinang yang dicampur dengan kapur, pertanda “nyaman”. Sambil sesekali meludahkan air pinangnya-melalui sela papan lantai teras-ke permukaan air di bawah terasnya, Hababuk menjelaskan bahwa Ireuw adalah kepala adat Tobati, sedangkan Hai adalah tokoh adat Tobati.

“Agus Hababuk dan Zet Hai adalah tokoh yang jadi panutan masyarakat. Setidaknya, kalau hendak melakukan sesuatu yang bersifat membutuhkan ‘restu’ atau ‘doa’, masyarakat harus melibatkannya,” kata Ireuw balik menjelaskan.

Perahu dayung

Di kampung Tobati, rumah penduduk pada umumnya tampak tua dan lusuh. Kayu yang menjadi dinding dan lantai di rumah Agus Hababuk sendiri beberapa di antaranya terlihat sudah mulai berlubang-lubang. Atapnya yang terbuat dari seng pun sudah berkarat di beberapa bagian.

Meski demikian, masyarakat bisa dikatakan sudah memiliki kesadaran pendidikan yang baik. Anak-anak Ireuw, misalnya, empat di antaranya sudah meraih gelar sarjana. “Yang satu masih SMP dan satu lainnya masih kuliah,” kata Ireuw, seraya menjelaskan bahwa 72 warga Tobati sekarang ini sudah menyandang gelar sarjana.

Penduduk di kampung itu juga umumnya memiliki perahu tradisional yang terbuat dari batang pohon yang bagian tengahnya dikerok. Selain untuk mencari ikan, mereka juga menggunakan perahu itu untuk bermain atau bekerja ke wilayah daratan.

“Saya mencari ikan dengan perahu ini. Ikannya sebagian saya jual dan sebagian lagi untuk makan,” kata Epi, salah satu pemuda yang mengantarkan Kompas menyeberang pulang. Epi mengaku, dari hasil mencari ikan bisa didapat sekitar Rp 30.000-Rp 50.000 sehari.

Dari Kampung Tobati menuju wilayah daratan di kawasan Pantai Hamadi, mereka mendayung perahunya lebih kurang 10 menit. Namun, perjalanan itu cukup menyenangkan karena relatif tidak ada gelombang laut. Selain itu, permukaan laut sangat jernih sehingga kami bisa menikmati berbagai keindahan yang ada di bawah air.

Menurut Ireuw, mereka yang tinggal di kampung itu sebagian besar memang nelayan. “Tetapi ada juga yang pegawai negeri dan karyawan swasta,” katanya. Karena itu, di Kampung Tobati juga ada perahu bermotor. “Itu hasil dana (program) IDT,” jelas Ireuw dan Hababuk.

Kapal bermotor itu digunakan terutama untuk mengangkut anak sekolah, yang pada umumnya SD. “Mereka sekolah di sekitar sini. Untuk penggunaan perahu, mereka membayar Rp 10.000 per bulan per keluarga. Hanya untuk pengganti biaya bahan bakar,” ujarnya.

Selain itu, kata Ireuw lagi, sekarang masyarakat Tobati juga sedang merancang membuat keramba ikan, baik ikan hias maupun ikan yang bisa dimakan.

“Berkaitan dengan dana otonomi khusus sekarang ini, Kampung Tobati mendapat bantuan Rp 100 juta dari Kota Jayapura dan Rp 100 juta dari pemerintah provinsi. Dana yang Rp 100 juta akan kami gunakan untuk keramba ikan, sedangkan yang lainnya akan digunakan untuk kebutuhan warga di sini. Semua programnya sudah ada,” kata Ireuw sambil menjelaskan bahwa program tersebut dibuat berdasarkan kebutuhan dan keinginan warga.

Ireuw mengakui, belakangan ini pemerintah mulai menggalakkan peran serta masyarakat, termasuk peran tokoh agama dan tokoh adat. Meski demikian, ia tak memungkiri bahwa sebagian adat yang selama ini dipegang teguh nenek moyang mereka sudah luntur.

“Tetapi, kami akan galakkan kembali. Misalnya soal ketertiban. Dulu, ia melanjutkan, di zaman nenek moyang, orang tidak boleh ribut semaunya sampai mengganggu tetangga. Sekarang kami akan menghidupkan aturan itu kembali. Jadi, kalau ada orang mabuk dan ribut-ribut akan didenda. Kalau mau ribut, di sana saja, di tempat mereka minum di darat,” kata Ireuw sambil tertawa lebar.

Mabuk-mabukan memang sudah demikian marak di kalangan anak muda di Papua, termasuk di Tobati. Maka tak perlu heran kalau setiap ada orang yang berkunjung ke Kampung Tobati pun dimintai uang oleh anak-anak muda yang biasa berkumpul di kawasan pantai Hamadi.

“Untuk beli ini… minum, minum,” demikian permintaan dua lelaki kekar saat Kompas akan meninggalkan wilayah tersebut.

Artikel Lainnya