Terbakarnya Pasar Sentral Hamadi di Kota Jayapura, Papua, pada tahun 2006, tak bisa hilang begitu saja dalam ingatan Daeng Said (51). Peristiwa itu meludeskan aset senilai Rp 1 miliar, hasil perjuangan 20 tahun di tanah Papua.
Kalau bukan karena kesadaran bahwa nasib yang kita lakoni ini ada yang Maha Mengatur segalanya, mungkin saya jadi stres dan gila,” ungkap pria asal Pangkep, Sulawesi Selatan, itu.
Lahir dan besar di lingkungan suku Bugis, Said memegang teguh prinsip reso-pa temmangingi naletei pamamase dewata sewa-E. Artinya, kesuksesan yang diridai Tuhan Yang Maha Esa hanya bisa diraih melalui reso (ikhtiar), usaha gigih, dan kerja keras.
Berkat makkareso alias semangat kerja, Said bangkit kembali. Bayangan menguapnya aset di empat los yang rata-rata nilainya Rp 250 juta, pelan-pelan ia tepis. Dihimpunnya rupiah demi rupiah sehingga los-los penampungan yang dipinjamkan Pemerintah Kota Jayapura di kawasan Entrop mulai terisi. Sambil menunggu rampungnya pembangunan pasar yang terbakar, ia mengajak Aco (19), keponakannya di daerah asal membantu usahanya.
“Keponakan yang menganggur saya ajak ikut merantau,” ujar Said, seraya menunjuk seorang remaja yang mulai cekatan melayani pembeli bahan pokok di los miliknya.
Said adalah satu dari sekitar 200 pedagang Pasar Sentral Hamadi di los penampungan sementara di sisi kiri Papua Trade Center (PTC) Entrop. Mayoritas pendatang dari Sulsel itu dikenal sebagai pedagang suku Bugis-Makassar dan Buton.
Di Kota Jayapura, terutama di Pasar Entrop, Pasar Abepura, Pasar Sentani, dan Pasar Ampera, tiga suku bangsa yang dikenal dengan sebutan BBM (Bugis-Buton-Makassar) ini pelaku utama kegiatan perekonomian. Belakangan ini, kiprah BBM menonjol di semua kabupaten dan kota lainnya di tanah Papua. Di wilayah pedalaman Papua yang sulit dijangkau transportasi darat mudah ditemui pedagang Bugis penjual sandang pangan.
Pendatang lain juga ikut main, semisal dari Jawa, Madura, dan Minangkabau.
Ketua Kerukunan Sulawesi Selatan wilayah tanah Papua Haji Syamsuddin Tumpa menyebut, jumlah warga asal Sulsel di Papua 70.000 orang. Mereka umumnya berkiprah di perdagangan barang dan jasa. Ada pula yang bekerja sebagai nelayan dan petani.
“Seiring dengan makin cerahnya sektor perdagangan barang dan jasa, akhirnya yang bekerja sebagai nelayan dan petani mulai berusaha sambilan dengan berdagang,” kata Syamsuddin. Ia merantau ke Jayapura pada tahun 1969. Awalnya ia hidup sebagai buruh pelabuhan. Kemudian ia mendirikan ekspedisi muatan kapal laut yang mempekerjakan 200 warga Papua.
Sejarah berdatangannya orang Bugis-Makassar ke tanah Papua diduga sudah berlangsung sejak tahun 1700-an, ketika dua kelompok etnis terbesar dari Sulsel tersebut melakukan pelayaran Marege, mencari teripang ke Australia Utara. Dalam pelayaran itulah mereka mampir dan sebagian terdampar di wilayah Papua.
Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih, Akhmad Kadir, dalam bukunya berjudul Amber dan Komin, Studi Perubahan Ekonomi di Papua (2005) menulis kiprah pedagang Bugis mulai menonjol pada tahun 1963. Kedatangan orang-orang Bugis itu membawa perubahan dalam tatanan perekonomian di Papua.
“Interaksi sosial antara orang Bugis dan orang Papua mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat Papua, dari berburu dan meramu menjadi manusia urban yang bergantung pada komoditas pasar,” katanya.
Orang-orang pegunungan berjalan ke arah pantai mengikuti aliran sungai untuk mendapatkan komoditas pasar, seperti beras, tembakau, garam, gula, dan pakaian. Selain itu, kepada orang Tionghoa dan Bugis, orang Papua juga menukar barang yang dijual pendatang dengan sagu yang mereka hasilkan. Mereka akhirnya menggunakan uang sebagai alat tukar jual beli.
Lamban
Jika benar bahwa interaksi sosial-ekonomi antara Bugis-Makassar dan warga asli Papua mulai ada pada tahun 1967, berarti hingga saat ini transformasi ekonomi sudah berjalan 40 tahun. Meski fakta menunjukkan bahwa warga Papua sekarang masih berkutat dengan pola perdagangan tradisional, transformasi itu sesungguhnya tetap terjadi, meski lamban.
Menurut pemantauan, masih sedikit orang asli Papua yang memiliki dan mengelola los, kios, toko, apalagi usaha jasa. Perempuan pedagang orang asli Papua, yang disebut “mama-mama”, pada umumnya duduk lesehan menjual hasil bumi secara “tradisional” di trotoar atau di emperan toko di Jayapura.
Sebetulnya, kesempatan berdagang dalam los atau kios di pasar pernah diberikan kepada warga Papua asli. Di Pasar Abepura, Ampera, dan Entrop, misalnya, Pemkot Jayapura beberapa tahun lalu-menyusul menguatnya kecemburuan sosial terhadap warga pendatang-pernah menyediakan los dan kios bagi warga asli Papua. Namun, mereka tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan usaha. Mereka lebih memilih jalan pintas cari duit secara cepat dengan menjual los 2 meter x 2 meter, yang harga normalnya Rp 400.000-Rp 500.000, hanya Rp 300.000.
“Ah, daripada kitong susah-susah tunggu pembeli di los sepanjang hari, lebih baik dijual saja,” tutur Natalia Womsiwor (37), yang menjual pinang di emperan kios Pasar Entrop.
Sebagai perantau yang agresif, orang Bugis melihat hal itu sebagai peluang emas. Tak heran jika rata-rata pedagang Bugis memiliki 2-4 kios.
Akar budaya
Johsz Mansoben, dosen Universitas Cenderawasih yang putra Papua pertama bergelar doktor antropologi, mengakui lambannya transformasi ekonomi bagi warga asli Papua. “Kentalnya akar budaya subsistem membuat masyarakat Papua sulit mengadopsi model ekonomi pasar dengan pembagian kerja sangat jelas dan ketat,” katanya.
Ia menguraikan, warga Papua terpengaruh pola hidup berburu, meramu, dan berladang pindah. Ini berbeda dengan pola perdagangan ekonomi pasar, dengan distribusi kerja dan pembagian peranan yang jelas. Ada yang membuka kebun, menanam, merawat tanaman, memanen, dan memasok ke pasar.