KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Kenso Temorubun tergolek lemas di pangkuan ibunya saat dirawat di RSUD Boven Digoel, Tanah Merah, Papua, Jumat (4/5). Papua terus berupaya mengatasi persoalan di bidang kesehatan.

Provinsi Papua

Ekspedisi Tanah Air: Berjuang Keluar dari Daftar Sarang Penyakit

·sekitar 4 menit baca

Kenso Temorubun (15 bulan) tergolek lemas di pangkuan ibunya, Sisca Wodon (34), di lorong antarbangsal RSUD Boven Digoel. Selang infus masih menempel di lengan bayi itu. Sisca mengajak putranya yang sakit pencernaan itu keluar dari bangsal rawat inap untuk mencari angin. Siang itu, udara dalam bangsal gerah dan beraroma kurang sedap.

ERWIN EDHI PRASETYA dan NASRULLAH NARA

Bangsal di rumah sakit tipe D itu umumnya belum dilengkapi fasilitas penunjang kenyamanan bagi pasien. Awal Mei lalu, jangankan mesin penyejuk udara (AC), kipas angin pun minim.

”Panas sekali di dalam kamar,” kata Sisca seraya mengibas-ngibaskan sehelai karton di atas tubuh anaknya.

Tidak hanya itu, saluran air yang mampet membuatnya tidak betah di ruang inap. Di lorong antarbangsal, pasien bisa menghirup udara segar yang berembus dari hutan belantara.

Inilah gambaran kegagapan Boven Digoel dan hampir daerah lain di Papua dalam era pembangunan fasilitas publik yang memanfaatkan dana otonomi khusus.

Rumah sakit yang mulai dioperasikan tahun 2012 itu tidak diiringi penataan lingkungan dan sanitasi memadai. Selokan tergenang karena mampet. Jentik dan nyamuk mengincar. Anjing pun berkeliaran di kompleks rumah sakit.

Pemerintah Belanda tahun 1927 mendirikan Tanah Merah sebagai pusat pemerintahan daerah Boven Digoel. Kota ini dijadikan sebagai tempat pengasingan bagi para tokoh pergerakan kemerdekaan. Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir, misalnya, pernah merasakan ”seram”nya diasingkan di daerah ini. Dikelilingi hutan lebat, sungai berbuaya, dan rawa sarang nyamuk malaria, Boven Digoel identik dengan penderitaan.

Mas Marco Kartodikromo, salah satu tahanan politik yang dibuang di Boven Digoel dalam bukunya Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002), menuliskan, rumah sakit selalu penuh penderita malaria dan disentri.

Daerah yang merupakan ”gudangnya ” penyakit mematikan kerap diidentikkan sebagai daerah ”garis merah”.

Perlahan berubah

Boven Digoel kini perlahan menjauh dari ”garis merah”. Meskipun masih tinggi, namun annual malaria insiden (AMI) atau angka kesakitan malaria (malaria berdasarkan gejala klinis) menunjukkan penurunan.

Data Dinas Kesehatan Boven Digoel menunjukkan, pada tahun 2010 annual malaria insiden tercatat yakni 56:1.000 penduduk. Pada 2011, AMI menurun menjadi 31 : 1.000 penduduk dengan angka kematian empat orang.

”Penurunan angka kesakitan malaria ini berarti ada harapan. Upaya-upaya penanganan malaria telah menunjukkan hasil,” tutur Syahib, Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Boven Digoel.

Sebagai daerah endemis, pemberantasan malaria di Boven Digoel bukanlah perkara mudah. Lingkungan alam dengan banyak rawa memberi ruang bagi nyamuk Anopheles bersarang dan terus berbiak.

Sejumlah upaya dilakukan guna menekan penderita malaria. Ribuan kelambu berinsektisida antimalaria dibagikan gratis kepada masyarakat.

Sebagian puskesmas induk dibekali kemampuan melakukan pemeriksaan laboratorium sehingga pemeriksaan penderita malaria tidak berdasarkan gejala klinis lagi.

Penderita yang hasil pemeriksaannya positif Malaria Tropika maupun Tersiana diberikan obat baru Artesdiaquin Combinatio Therapy (ACT). Puskesmas-puskesmas yang belum dilengkapi laboratorium dibekali alat pemeriksaan cepat, Rapid Diagnostic Test.

Di bidang kesehatan, harus diakui Boven Digoel masih memiliki banyak pekerjaan rumah serius. Saat malaria mulai berhasil ditekan, penyakit lain justru meningkat. Diare, misalnya, jumlah penderita meningkat.

Pada 2011 tercatat 2.218 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2010 yakni 2.094 kasus. Dinas Kesehatan Boven Digoel memanfaatkan media radio untuk menyampaikan imbauan agar masyarakat hidup bersih dan sehat, mencuci tangan sebelum makan, dan memasak air sebelum diminum.

Persoalan serius lain menebar ancaman, HIV/AIDS. Penemuan kasus baru pengidap HIV/AIDS semakin banyak. Pada tahun 2009 ada dua kasus. Pada April 2012, bertambah menjadi 23 kasus. Enam di antaranya meninggal.

Penularan HIV/AIDS dikhawatirkan meluas mengingat masih rendahnya pengetahuan, serta sikap dan perilaku masyarakat terhadap upaya penanggulangannya. Lebih lagi, RSUD Boven Digoel yang masih bertipe D, tidak memiliki obat anti retroviral (ARV) bagi pengidap HIV/AIDS.

Kepala Dinas Kesehatan Boven Digoel, Viviana Maharani Pradotokoesoemo, menuturkan, berbagai penyakit yang diidap masyarakat lebih karena faktor kemiskinan dan pola hidup yang tidak sehat. Diperlukan sinergi lintas sektor untuk mengatasinya. Aspek pendidikan dan ekonomi ikut menentukan.

Jamak dan klasik

Seperti daerah lainnya di Papua, Boven Digoel dihadapkan dengan persoalan klasik: minimnya fasilitas dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang ada tidak mampu menjangkau seluruh daerah terpencil. Saat ini, jumlah dokter hanya ada 20 orang, 7 di antaranya di tempatkan di RSUD. Padahal, ada 16 puskesmas tersebar di 20 distrik. Artinya, tidak semua puskesmas diisi tenaga dokter.

Keterbatasan itu tidak lantas menyurutkan pengabdian para dokter, bidan, dan perawat. Bidan Agnes Barabara Kundimgo (38), misalnya, selama delapan tahun setia mengabdi di Puskesmas Pembantu Mariam di Distrik Mandobo. Dia harus mendayung perahu dari tempat tugasnya ke Tanah Merah, setiap mengambil stok obat dan gaji.

Boven Digoel dan daerah lainnya di tanah Papua terus berjuang melepaskan diri keluar dari daftar sarang penyakit.

Artikel Lainnya