KOMPAS/A PONCO ANGGORO

Petani bercocok tanam di Kampung Rimba Jaya, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua, awal Mei 2012.

Provinsi Papua

Ekspedisi Tanah Papua: Mereka Mulai Piawai Budidaya

·sekitar 4 menit baca

Sebelas petani menggarap bersama lahan seluas 70 meter persegi di Kampung Rimba Jaya, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Ada yang menggemburkan tanah dengan pacul, memasang tali untuk acuan penanaman, ada pula yang sudah menyemai bibit.

KORNELIS K AMA/A PONCO ANGGORO/ICHWAN SUSANTO

Mereka adalah warga Rimba Jaya dan tergabung dalam Kelompok Tani Putra Rimba, salah satu dari delapan kelompok tani di daerah pesisir utara Papua ini.

Hadirnya kelompok-kelompok tani itu mencerminkan bahwa sebagian masyarakat Papua sudah mampu bekerja secara terorganisasi, dan tidak melulu individual. Bahkan, mereka sudah mulai berupaya menanam beragam komoditas sesuai kondisi lahan dan kebutuhan pasar.

Di Kampung Rimba Jaya, petani menanam bibit kol. Di sekeliling lahan, juga tumbuh ubi jalar, keladi, dan jagung, serta beragam jenis sayuran, seperti kacang panjang, sawi, dan terong.

Dari tanaman-tanaman seperti inilah penduduk Rimba Jaya yang semuanya berjumlah 544 orang menggantungkan hidupnya. Hasil pertanian bahkan menjadi penopang utama perekonomian keluarga.

”Setiap kali panen, setiap tiga bulan, bisa dapat minimal dua juta rupiah,” ujar Eshan Brabar (40), petani setempat. Dengan uang itu, anak pertama dari enam anak Eshan bisa lanjut kuliah di Universitas Cenderawasih, Jayapura.

Para petani asal Rimba Jaya ini merupakan generasi petani kedua yang mewarisi cara-cara bercocok tanam dari generasi Belanda.

Semasa Belanda masih menguasai Biak, tahun 1960-an, Rimba Jaya atau dulu bernama Adibay, dikembangkan sebagai kawasan pertanian. Saat itu, Belanda menerjunkan petugas penyuluh pertanian untuk mendampingi warga Adibay menyulap lahan tidur dan sebagian kawasan hutan menjadi lahan produktif. Berbagai macam komoditas dikembangkan.

Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Biak Numfor Absalom Rumkorem, pengembangan pertanian itu merupakan cara Belanda agar pegawai dan pasukan Belanda di Biak bisa mencukupi kebutuhan pangan tanpa bergantung pada daerah lain.

Semasa penguasaan Belanda, Biak yang posisinya strategis di dekat Samudra Pasifik, menjadi bagian dari rute penerbangan internasional maskapai Belanda, KLM.

Hal ini dimungkinkan dengan memanfaatkan lapangan terbang yang dibangun Jepang tahun 1943.

Masyarakat Papua di Adibay yang sebelumnya menjadikan sagu dan ikan di laut sebagai makanan utama, makin piawai bercocok tanam. Cara bercocok tanam itu mereka ajarkan kepada anak-anak mereka.

Pengembangan Rimba Jaya sebagai kawasan pertanian lalu dilanjutkan Pemerintah RI sejak 1970. Kala itu, mulai dikembangkan ke perikanan budidaya, perkebunan, dan peternakan.

Mulai saat itu pula pertanian dikembangkan di daerah lain. Di Biak sebelah utara, pertanian dikembangkan di kawasan Maneru, kemudian di Biak sebelah selatan pertanian dikembangkan di kawasan Siabes.

Dari kawasan-kawasan itulah kemudian pasokan umbi-umbian, jagung, dan sayuran, untuk penduduk Biak Numfor berasal. Kondisi ini terus berlanjut hingga sekarang. ”Selain untuk penduduk Biak Numfor, hasil panen dari masyarakat Biak Numfor ada pula yang dikirim ke luar daerah, seperti ke Yapen dan Mamberamo,” kata Absalom.

Transformasi seperti ini juga ditemukan di Nabire, pesisir utara Papua lainnya hingga Merauke, bagian selatan Provinsi Papua. Demikian pula di Manokwari, Provinsi Papua Barat.

Belakangan tanaman padi pun dicoba untuk dikembangkan. Pengembangan padi ini mulai dirintis Yayasan Keajaiban Pulau Biak, yayasan yang bergerak di bidang pertanian dan dananya bersumber dari Jepang.

Ketua Yayasan Keajaiban Pulau Biak I Wayan Bangsing menjelaskan, penanaman padi dimulai sejak tahun 2010 setelah sebelumnya atau sejak 2008, melakukan survei dan analisa tanah di sejumlah tempat di Biak. Dari penelitian selama dua tahun itu, penanaman padi diputuskan mengambil tempat di Rimba Jaya.

Betatas tetap eksis

Bibit padi yang didatangkan dari Bali ditanam di lahan seluas sekitar 5.000 meter persegi. Kemudian untuk memasok kebutuhan air bagi sawah, sungai yang mengalir di dekat sawah dibendung sehingga membentuk seperti dam. Dari dam yang berukuran kecil itulah, air disalurkan ke sawah.

Terserapnya kecakapan bercocok tanam untuk padi tidak serta-merta menggusur pola tanam, komoditas, dan bahan pokok asli Papua. Di Manokwari, Papua Barat, misalnya, Ishak Taa (60), mampu menyekolahkan keenam anaknya di perguruan tinggi dari hasil kebun betatas. Anak sulungnya telah jadi pegawai negeri dan lainnya bekerja di Sorong dan Manokwari.

Ishak memperoleh keahlian pertanian dari misionaris-misionaris yang masuk ke lokasi itu. Sejak 1973, ia bekerja di Keuskupan dan membantu pekerjaan para misionaris yang berasal dari luar negeri. Pada tahun 1990-an, ketika para misionaris asing meninggalkan Manokwari, ia pun mencoba mandiri dengan menggarap tanah ulayatnya.

Hanya saja, Ishak belum terbiasa berbagi pekerjaan dengan orang lain. Hasil panen betatas dari kebunnya diangkut dan dijualnya sendiri di Pasar Wosi, Manokwari. Dua hari sekali, ia ke pasar bersama istri dan anaknya untuk menggelar dagangan. Seonggok betatas dijual antara Rp 10.000-Rp 20.000 sesuai besar kecilnya. Dalam sehari, ia mendapatkan uang Rp 200.000 – Rp 300.000. Keuntungan ini dikurangi dengan biaya transportasi angkot Rp 40.000.

Contoh lain dari transformasi itu adalah Dorrus Ullo (53). Warga Guientuy Manokwari ini sangat bersemangat ketika menunjukkan program percontohan pertanian yang diberikan pemerintah setempat.

Setahun terakhir, ia mendapat pendampingan dan penyuluhan untuk mengerjakan kebun secara menetap, tak lagi ladang berpindah. Dalam setiap petak lahan, ia dan 10 anggota kelompok tani binaan, menekuni komoditas berbeda yaitu padi, jagung, dan ubi jalar, atau betatas.

Komoditas ”pendatang” dan asli Papua ternyata bisa tumbuh-kembang berdampingan….

(JOS/RWN/NAR)

Artikel Lainnya