KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA

Siswa SMK Negeri I Sota di perbatasan Indonesia-Papua Niugini di Kabupaten Merauke, Papua, Senin (30/4), memberi makan ayam petelur yang dipelihara di sekolah itu untuk praktik peternakan. SMK yang memiliki jurusan pertanian dan peternakan ini tidak hanya mendidik siswa dari Indonesia, tetapi juga dari Papua Niugini.

Provinsi Papua

Ekspedisi Tanah Papua: Menjembatani Pola Subsisten ke Pertanian

·sekitar 5 menit baca

Enrika Gebze (17) bersama tiga remaja sebaya tersenyum geli ketika kerumunan ayam petelur mematuk-mematuk kaki dan betisnya. Unggas yang merubung dirinya tak semuanya mampu mendekati mulut ember yang berisi campuran jagung dan dedak. Inilah bagian aktivitas pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota Merauke, Papua.

ERWIN EDHI PRASETYA dan NASRULLAH NARA

Enrika bukanlah siswa jurusan peternakan. Ia adalah siswa jurusan pertanian kelas II pada SMK yang terletak di sekitar perbatasan RI-Papua Niugini. Namun, aktivitasnya di kandang unggas pada awal Mei 2012 itu, relevan dengan target kompetensi yang dibidiknya.

Dibantu Erman Kosnan, rekannya dari jurusan peternakan, Enrika terjun ke kerumunan unggas dalam rangka mencermati perilaku ayam petelur. Juga sekaligus bersiap-siap mempraktikkan pemanfaatan kotoran ternak sebagai bahan pupuk organik. Setelah mengambil telur-telur ayam dan meletakkannya pada rak-rak kardus, Enrika memberi makan ayam-ayam itu. Selanjutnya, ia mengais kotoran unggas.

Selanjutnya serbuk kotoran ternak yang kering ditaburkan ke pot-pot tanaman di bagian lain halaman sekolah tersebut. Di ruang laboratorium yang diselubungi kain kasa, mirip kelambu, terdapat pot-pot dan polibag berisi bibit tanaman buah belimbing, buah mangga, serta tanaman hias.

”Saya ingin membuktikan unsur hara pada kotoran unggas itu mampu menyuburkan tanaman,” ujar Enrika.

Putra-putri asli Merauke yang mengenyam pendidikan di sekolah berasrama itu bercita-cita kelak mengembangkan berbagai tanaman produktif yang cocok untuk kondisi geografis Merauke. Di halaman belakang asrama sekolah mereka terhampar kebun-kebun ubi jalar.

Erman bahkan ingin mengembangkan tanaman karet. Dia ingin mengikuti jejak kakak sepupunya, Beni Kosnan (23), yang setamat SMK tiga tahun lalu mampu membudidayakan tanaman karet di pinggiran hutan kawasan Sota-Erambu.

Hadirnya kandang unggas yang berisi ratusan ayam petelur itu juga membuka wawasan siswa untuk beternak dan mengembangkan usaha budidaya hewan produktif. Telur ayam yang dihasilkan dijual ke pasar sehingga anak-anak itu berwawasan dagang.

Jika selama ini orangtua mereka hidup dari berburu rusa dan kanguru di hutan tanpa pola yang ajek, kelak pola hidup mereka terarahkan menjadi sistematis dan terjadwal.

Kegiatan pertanian, misalnya, memerlukan perencanaan dan penjadwalan waktu, mulai dari menggarap lahan, menyediakan benih dan persemaian, penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Kegiatan peternakan tentu lebih sistematis lagi.

Kepala SMK Negeri Sota Kalfin Saya menegaskan, kurikulum yang dikembangkan pada 87 total siswanya menekankan pada kecakapan mengelola sumber daya alam, termasuk jurusan pertanian dan peternakan. Pengetahuan pertanian dan peternakan perlu diselaraskan untuk menyiasati alam agar menjadi produktif.

Penjelasan Kalfin sinkron dengan kondisi geografis tanah Merauke yang relatif berlempung, tak berbatu, dan miskin unsur hara karena di Papua tak ada gunung api. Kesuburan tanah di Merauke lebih hanya ditopang humus.

Begitulah sehingga penggunaan pupuk kompos atau pupuk kandang memegang peran penting. Cara-cara ini sudah dilakoni puluhan tahun oleh kaum pendatang, warga transmigran, di Semangga dan Jagebob. Di lokasi transmigran, pupuk kandang dari ternak sapi dijadikan pemacu kesuburan tanaman palawija seperti kedelai.

Aktivitas pembelajaran di sekolah dan interaksi di realitas masyarakat Merauke mencerminkan semangat mengelola sumber daya alam secara sistematis. Hal ini merupakan jembatan dari pola hidup subsisten ke pertanian.

Belakangan, Merauke bahkan mampu membendung derasnya impor daging dari Australia. Produksi daging Merauke dapat memenuhi kebutuhan daging sapi di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Berdasarkan data Dinas Peternakan Merauke, populasi ternak sapi potong di Merauke mengacu tahun 2011 mencapai 31.342 ekor. Adapun produksi daging sapi tahun 2011 mencapai 719 ton.

Peran penting

Menengok sedikit ke belakang, sebetulnya Merauke telah lama mempunyai peran penting terkait pangan di Tanah Papua. Sejak zaman Belanda, daerah di bagian selatan Papua ini telah menjadi lumbung beras. Jejak-jejak kejayaan pertanian padi pada era pemerintahan Belanda itu masih dapat dilihat di Kurik.

Saat tim Kompas berkunjung ke daerah itu, ditemukan sisa-sisa bengkel peralatan pertanian, gedung penggilingan padi, gudang beras, dan rumah-rumah karyawan yang masih berdiri kokoh. Rel lori pengangkut beras juga masih ada. Ini menyematkan kesan, Rijstproject Koembe atau proyek padi (beras) Kumbe di Kurik adalah proyek ambisius Pemerintah Belanda.

Dalam buku Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan, tercatat sejak tahun 1954 Pemerintah Belanda sudah membuka persawahan mekanis di Kurik dekat Kumbe.

Dusun-dusun sagu dan areal kelapa masyarakat Marind ditebang habis untuk proyek ini. Disulap menjadi areal persawahan yang amat luas. ”Luas sawahnya mencapai sekitar 700 hektar,” tutur Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Merauke Bambang Dwiatmoko.

Anton Maskim (60), Ketua Harian Yayasan Santo Antonius (Yasanto), Merauke, menuturkan, Belanda telah menerapkan sistem pertanian modern saat itu. Irigasi memakai sistem polder dengan mesin-mesin pompa raksasa sehingga dalam setahun bisa dua kali masa tanam.

”Semua menggunakan mesin. Dari tanam padi, sampai memotong padi, dan merontokkan gabah,” kata Anton, yang semasa kecil tinggal di lingkungan proyek padi Kumbe, Merauke.

Keseriusan Pemerintah Belanda membuka proyek padi Kumbe dimulai sejak tahun 1951. Tim ahli diterjunkan untuk meneliti kondisi tanah, air, potensi hama, hutan, dan satwa. Mobilisasi peralatan berat untuk membuka hutan dilakukan setelah lahan dinyatakan cocok untuk pertanian padi sawah. Mesin-mesin pertanian modern didatangkan.

Pada masa panen, beras yang sudah dikemas diangkut menggunakan lori dari gudang ke pelabuhan Kumbe. Tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di Merauke, beras Kumbe juga dikirim ke beberapa kota di Papua, seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, bahkan diekspor ke Papua Niugini.

Tak lebih sepuluh tahun berjalan, proyek padi Kumbe terhenti ketika integrasi Papua ke pangkuan Indonesia pada tahun 1963. Lahan sawah yang ditinggalkan Belanda kini dikelola oleh Balai Benih Induk Provinsi Papua. ”Fasilitas proyek padi Kumbe sangat lengkap, namun kita saat itu tidak siap untuk meneruskannya,” ujar Bambang.

Lama sebelum proyek padi Kumbe dimulai, pertanian padi di Merauke telah dipraktikkan para transmigran asal Jawa yang didatangkan Belanda pada tahun 1937.

Pascaintegrasi, pembukaan lahan sawah dilakukan secara besar-besaran seiring program transmigrasi di Merauke. Saat ini, Merauke tetap menjadi daerah penghasil beras terbesar di Papua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Merauke, produksi padi Merauke pada tahun 2010 mencapai 122.959 ton. Produksi ini meningkat 21,55 persen dari tahun 2009, sebanyak 101.161 ton.

Pada musim tanam tahun 2011/2012, Pemerintah Kabupaten Merauke menargetkan produksi padi meningkat mencapai 157.829 ton dengan luas tanam mencapai 33.083 hektar (ha). Usaha pertanian padi masih didominasi para pendatang.

Beras Merauke selama ini memasok kebutuhan beras di kabupaten di sekitarnya, seperti Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. ”Pada tahun 2011, Merauke bahkan telah mampu mengirim hingga 2.000 ton beras ke Jawa,” ungkap Bambang.

Merauke agresif memperluas areal sawah baru. Selama tahun 2011 telah dilakukan pencetakan areal sawah baru sekitar 1.000 ha. Pada 2012 direncanakan pencetakan sawah baru seluas 2.000 ha. Seluas 1.050 ha sawah baru itu di antaranya akan dicetak di distrik-distrik perbatasan RI-Papua Nugini, seperti Distrik Ulilin, Elikobel, dan Muting. ”Ini untuk memperkuat ketahanan pangan di daerah-daerah perbatasan,” ungkap Bambang.

Begitulah proses dan capaian transformasi masyarakat dari pola subsisten ke pola pertanian, dengan segala kelebihan dan kekurangannya….

Artikel Lainnya