Tak semua orang Papua punya kemauan dan semangat berdagang, apalagi perempuan yang tinggal jauh di pedalaman. Di Kota Jayapura, yang terletak di daerah pesisir saja, jarang ditemukan perempuan yang berdagang. Kondisi yang lazim adalah perempuan Papua berjualan sayur-mayur dan umbi-umbian di pasar tradisional.
KORNELIS KEWA AMA dan A PONCO ANGGORO
Namun, Yuliana Hamongsem menepis pandangan umum tersebut. Perempuan berusia 43 tahun ini mematahkan pandangan yang menyebutkan bahwa perempuan Papua tak punya naluri berdagang.
Bermodalkan kesabaran, ketekunan, dan kemauan untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi, dalam 10 tahun ini, Yuli, sapaannya, merintis usaha dagang di pedalaman Papua. Lokasi usahanya terletak di Desa Yakasip, Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura. Desa ini berlokasi sekitar 80 kilometer (km) barat laut Kota Jayapura.
Pekerjaan utama Yuli adalah menjaga kios ”Rasa Senasib” miliknya. Kios ini berdiri sejak tahun 2003. Modal awal Yuli ketika itu Rp 500.000 untuk membeli bahan pokok dan pernak-pernik mainan anak-anak.
Ketertarikan Yuli berdagang berawal dari kunjungannya ke Sentani, Jayapura. Apa yang dilihatnya di Sentani membuat dia terinspirasi dengan kegiatan warga pendatang. ”Mereka membuka kios untuk berdagang berbagai kebutuhan pokok.”
Padahal, modal usaha para pendatang itu relatif terbatas. Meski demikian, mereka mampu mempertahankan usaha dagangnya, bahkan berkembang menjadi toko besar dan merambat ke sejumlah bidang usaha lain, seperti transportasi dan rumah makan.
”Saya lalu berpikir, kalau orang lain bisa, orang Papua juga pasti bisa. Kalau bukan kita, orang Papua sendiri, siapa yang mau membantu kami? Setiap orang berjuang untuk hidup masing-masing. Tidak mungkin mereka (pendatang) bersedia memberi sesuatu kepada orang Papua secara gratis. Mereka pun bekerja,” katanya.
Hasil bumi sampai BBM
Seiring dengan berjalannya waktu, variasi dagangannya pun bertambah. Yuli antara lain membeli hasil pertanian warga dari dusun terpencil. Hasil bumi itu dia beli dengan harga tak jauh berbeda dengan harga pasaran. Buah kelapa kering, misalnya, dia beli Rp 1.000 per buah dan dijualnya lagi seharga Rp 1.300.
Ia juga melengkapi kiosnya dengan sejumlah penganan, seperti gorengan tahu, tempe, ubi jalar, dan pisang. Semua gorengan itu dia masak sendiri agar lebih hemat dan terjamin rasanya.
”Saya mulai memasak pukul 04.00 (Wita) sebelum warga Desa Yakasip bangun tidur. Bahkan, anggota keluarga saya pun belum bangun ha-ha-ha,” katanya.
Tak cepat puas dengan variasi produk yang ditawarkan di kiosnya, Yuli menyisihkan sebagian keuntungan untuk modal usaha lainnya. Tahun 2007 usahanya merambah pada jual-beli sapi.
Yuli bercerita, tahun 2010 ia memiliki 30 sapi. Dari jumlah itu, 12 ekor dijualnya. ”Saya membeli sapi dari warga. Harganya waktu itu Rp 1 juta-Rp 2 juta per ekor. Kami pelihara sapi itu. Setelah umurnya tiga tahun, saya jual dengan harga sampai Rp 8 juta per ekor,” katanya.
Salah satu kunci keberhasilan usahanya adalah kemampuan melihat peluang usaha. Sebagai contoh, melihat kebutuhan orang pada bahan bakar minyak (BBM), ia lalu menjual bensin botolan Rp 8.000 per liter.
Maklum, di wilayah itu banyak sepeda motor, tetapi pemiliknya sering kesulitan mendapatkan BBM. Yuli memperoleh BBM dari Sentani yang berjarak sekitar 60 km dari kampungnya.
”Ada mobil tangki Pertamina yang masuk desa mengantar minyak tanah ke setiap pangkalan. Di sini minyak tanah hanya bertahan 2-3 hari, habis dibeli warga karena mereka yang tinggal di kampung terpencil sudah menggunakan kompor sumbu,” katanya.
Biji kakao
Suatu hari di tempat usaha yang menyatu dengan bangunan rumah semipermanennya, Yuli asyik membolak-balik biji-biji kakao yang dijemur. Rupanya ia baru menjual 30 kilogram (kg) kakao kering kepada pedagang pengepul.
”Ini hasil menjual cokelat,” kata Yuli menunjukkan uang Rp 1,2 juta dalam genggamannya.
Setiap hari ada pedagang pengepul yang mendatanginya untuk membeli biji kakao. Biji kakao kering dijualnya Rp 14.000 per kg, sedangkan yang basah Rp 7.000 per kg. Yuli membeli biji kakao dari warga yang tinggal di desa-desa terpencil dengan harga Rp 13.000 per kg untuk biji kakao kering, dan biji kakao basah dibelinya Rp 6.000.
Jual-beli kakao berlangsung selama musim buah kakao, sekitar awal tahun. Awalnya, ia menjual biji kakao karena ingin membantu petani kakao di pedalaman. Ia prihatin setiap kali melihat warga pedalaman bersusah payah memikul biji kakao sampai ke jalan beraspal yang dilalui kendaraan.
”Saya beli kakao hasil kebun petani di pedalaman supaya mereka bisa cepat pulang membawa uang,” ujarnya tentang awal berbisnis biji kakao.
Pembukuan
Meski hanya berpendidikan formal sampai kelas V SD, dalam berusaha Yuli selalu mencatat pemasukan dan pengeluaran. ”Saya mencontoh pedagang pendatang (di Sentani, Jayapura),” katanya tentang kebiasaannya itu.
”Orang Papua umumnya boros belanja dan cepat puas. Apa yang didapat hari ini dihabiskan hari ini juga. Urusan hari esok, dia cari lagi. Atau kalau dia sudah mendapat banyak, ia berhenti kerja sampai barang itu habis, baru ia cari lagi. Ternyata kebiasaan itu keliru. Di sini saya belajar hidup sederhana dan berkelanjutan,” katanya.
Ia mengaku tak lagi berharap bantuan dari pemerintah setempat. Alasannya, sejumlah proposal bantuan dari masyarakat selalu ditolak dengan berbagai alasan.
”Usaha ini tidak mendapat bantuan pemerintah. Saya dengar ada dana otonomi khusus, tetapi proposal untuk usaha kecil tidak ditanggapi pemerintah,” katanya.
Tahun 2010, dibantu anaknya, Yuli membuat proposal bantuan dana untuk perluasan kios, dan tak pernah ditanggapi pemerintah.
Dari hasil usahanya, ia bisa membiayai anaknya hingga kuliah di Universitas Cenderawasih, Jayapura. Anak keduanya belajar di SMA Namblong, dan seorang lagi masih SD. ”Pendidikan itu penting untuk masa depan anak-anak,” tegasnya.
Di luar usahanya, Yuli menanam pohon jarak di lahan seluas dua hektar. Ia mengantisipasi kebutuhan energi terbarukan mengingat di Doyo Lama, sekitar 5 km dari Yakasip, ada pabrik pengolahan buah jarak.
Jika pemerintah ingin agar aspirasi kemerdekaan itu segera hilang dan tak berkembang dari generasi ke generasi, semua warga Papua perlu diberdayakan.
Wilayah Genyem dan Namblong adalah salah satu kawasan ”merah”, perjuangan kemerdekaan Papua. Sejumlah tokoh organisasi Papua Merdeka muncul dari sini. Namun, sejak tahun 2006-2008 sebagian pejuang kemerdekaan Papua itu menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
YULIANA HAMONGSEM