Setelah sempat diterpa guncangan ombak, tim Ekspedisi Tanah Papua berhasil menembus Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Pulau seluas 6.060 hektar itu masuk dalam wilayah konsesi tambang nikel. Wajah lain dari Raja Ampat.

Cuaca cerah menyambut kedatangan kami di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, Sabtu (5/6/2021) pagi. Kondisi ini meredakan kekhawatiran. Sebab, sehari sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi perairan Raja Ampat akan diguyur hujan.

Kondisi cuaca menjadi faktor krusial dalam pelayaran ke Pulau Gag. Hujan, gelombang tinggi, dan angin kencang wajib dipertimbangkan dengan matang. Perjalanan menggunakan perahu cepat atau speedboat memakan waktu sekitar empat jam dari Waisai ke Pulau Gag.

Sebelumnya, pada Jumat (4/6/2021) malam, kami mengumpulkan informasi mengenai Pulau Gag dari beberapa sumber di Waisai. Mulai dari waktu terbaik menuju ke sana hingga dampak dari operasi penambangan PT Gag Nikel yang dikeluhkan warga setempat.

Pagi hari menjadi waktu terbaik untuk berangkat karena ombak relatif landai. Kami pun membawa barang secukupnya karena berencana hanya satu malam berada di pulau itu. Sebagian besar barang ditinggal di hotel di Waisai.

Diguncang ombak

Tiga jam perjalanan dilalui dengan mulus. Kapal kami yang dikemudikan oleh Suhaib (27) melaju cepat. Ia cukup cekatan menghindari gelombang-gelombang kecil dengan membelokkan kemudi ke kiri atau ke kanan.

Gugusan pulau-pulau di Raja Ampat, seperti Kepulauan Fam, terlihat mungil di atas bentangan laut di sisi barat daya wilayah Kepala Burung Papua. Pelayaran yang tenang membuat kami tertidur sambil menyandarkan tubuh di dinding kapal.

Kalau musim angin selatan bulan Juli sampai Agustus, angin sangat kencang dan gelombang bisa lebih dari dua meter. Banyak kapal tidak bisa masuk.

Akan tetapi, sekitar 2 kilometer menjelang Pulau Gag, situasi berubah. Suara badan kapal yang menabrak ombak terdengar cukup keras. Guncangan membuat kami beberapa kali memperbaiki posisi duduk.

Percikan ombak masuk melalui jendela kapal. Kami pun segera menutup jendela sambil curi-curi pandang ke arah pelampung yang berada tepat di belakang kemudi kapal.

Raut wajah kami tak mampu menyembunyikan kecemasan. Namun, Suhaib tetap tenang mengendalikan kemudi. Ia fokus mempertahankan kecepatan. Laju kapal terasa agak berat. Jeritan suara mesin membisingkan telinga.

 

Daratan Pulau Gag terlihat semakin jelas. Namun, gelombang kian tinggi. Suhaib menambah kecepatan. Ia bermanuver mengemudikan kapal dengan bergerak zig-zag. Ini untuk mengurangi efek guncangan dengan menghindari benturan gelombang dari arah berlawanan.

Gerakan zig-zag itu membuktikan kematangan Suhaib. Sudah delapan tahun ia mengarungi laut Raja Ampat dengan beragam kesulitan.

”Ini belum seberapa. Kalau musim angin selatan bulan Juli sampai Agustus, angin sangat kencang dan gelombang bisa lebih dari dua meter. Banyak kapal tidak bisa masuk (bersandar),” ujarnya.

Agar kedatangan kami tidak terlalu mencolok, kapal tidak langsung bersandar. Suhaib membelokkan kapal ke sisi utara pulau. Di sana terdapat Pantai Tuturuga yang merupakan lokasi penangkaran penyu.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga mengelola tempat penangkaran penyu di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (5/6/2021).

Dikeluhkan masyarakat

Kami lantas mengelilingi pulau menggunakan kapal cepat. Tujuannya untuk mengetahui gambaran geografis pulau itu secara utuh. Pesawat nirawak pun diterbangkan untuk memotret aktivitas tambang di sana.

Gag menyuguhkan wajah lain Raja Ampat. Punggung bukit dikupas sebagai akses jalan bagi alat berat dan truk pengangkut material tambang. Deru suara truk terdengar siang malam. Debunya beterbangan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Aktivitas penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu (6/6/2021).

Warna air laut di pesisir barat keruh. Di sana sedang dibangun pelabuhan baru untuk tempat bersandar tongkang. ”Jika hujan, air laut berubah menjadi coklat kemerahan,” ujar Senen Maktublok (70), warga setempat.

Saat tiba di Pulau Gag, kami tidak langsung mewawancara warga, melainkan mencari tempat penginapan. Tidak ada penginapan di Gag, yang ada hanya kontrakan dan kamar kos yang biasa disewakan untuk para pekerja PT Gag Nikel. Namun, di sejumlah kontrakan yang kami datangi, tidak tersisa lagi kamar kosong. Kami akhirnya menginap di rumah warga.

Setelah makan malam, kami berjalan kaki menuju kediaman salah satu tokoh masyarakat Pulau Gag. Di sana telah berkumpul sejumlah warga yang akan menyampaikan keluh kesahnya tentang aktivitas tambang nikel di pulau tersebut.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga melintas di area pemukiman di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu (6/6/2021). Penambangan material nikel di pulau itu saat ini masih terus berlangsung.

Salah satunya, Senen. Ia mengungkapkan adanya kerusakan ekosistem laut akibat tanah di lokasi tambang yang kerap terbawa hujan ke laut. Akibatnya, warga semakin sulit menangkap ikan.

Sementara itu, sebagian warga mempersoalkan pelepasan tanah adat kepada PT Gag Nikel pada 2014. Pelepasan lahan itu ditandai dengan surat pernyataan pelepasan hak pemanfaatan tanah garapan di Pulau Gag yang ditandatangani enam ketua keret (masyarakat adat).

”Warga merasa dibohongi. Dengan pelepasan lahan itu, berarti warga tidak lagi punya hak tinggal di sini. Bagaimana nasib anak cucu kami nanti,” ujar Ketua Keret Magimai Sahirin Sidik yang ikut menandatangani surat pelepasan lahan itu.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga melintas di area permukiman di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu (6/6/2021).

Setelah mengumpulkan keterangan warga sebagai bahan berita, kami berencana kembali ke Waisai, Minggu (6/6/2021) pagi. Namun, gelombang tinggi dan angin kencang membatalkan rencana. Kami baru bisa bertolak dari Pulau Gag menjelang siang, setelah menunggu lebih dari tiga jam.

Itu pun, angin di sekitar pulau masih cukup kencang. Suhaib kembali mengeluarkan ”jurus” andalannya. Mengemudikan kapal secara zig-zag. Setelah bermanuver sekitar 30 menit, perjalanan menuju Waisai relatif lancar.

Suhaib mengambil jalur yang berbeda dari jalur berangkat. Ia mengarahkan kapal melalui pulau-pulau kecil untuk menghindari angin kencang di laut lepas. Waktu perjalanan memang jadi bertambah, tetapi lebih lancar karena tidak banyak bertemu gelombang tinggi.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu (6/6/2021).

Meskipun telah meninggalkan Pulau Gag, liputan kami belum selesai karena masih harus mewawancarai perwakilan perusahaan. Ini wajib hukumnya dalam kerja jurnalistik untuk memenuhi prinsip cover both sides atau keberimbangan.

Wawancara pihak perusahaan dilakukan di Sorong, Senin (7/6/2021). Setelah menunggu lebih dari 2,5 jam, barulah kami berhasil menemui Ruddy Sumual selaku Sorong Office Manager PT Gag Nikel.

Ruddy menjelaskan, pihaknya mendapat izin produksi pada 2017. Proses produksi dilakukan setahun berselang. Ia pun membantah aktivitas tambang merusak ekosistem.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Kawasan pantai yang sebagian tertutup lumpur di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu (6/6/2021).

Keterangan warga dan perwakilan perusahaan sangat bertolak belakang. Hal ini biasa kami hadapi dalam liputan. Keterangan kedua pihak akan diakomodasi dalam laporan jurnalistik. Fakta-fakta lapangan dikedepankan.

Liputan dampak tambang di Pulau Gag membuka lembaran lain dari Raja Ampat yang selama ini dikagumi sebagai surga bawah laut kelas dunia.

Perjalanan ke sana memberikan pengalaman berbeda dari perjalanan kami sebelumnya. Kondisi ironi di Pulau Gag justru menampilkan sisi lain Raja Ampat yang semestinya tak boleh disembunyikan.