Noken bukan sekadar tas tradisional dari Papua. Tas multiguna ini dirajut dari serat pepohonan. Karenanya, keberlanjutan warisan budaya dunia tak benda ini pun mengandalkan lestarinya alam.
Luis Kasipdana (18) berdiri di samping salah satu pohon yang disebut husa dalam bahasa Sentani, Selasa (30/11/2021). Dengan menggunakan parang, Luis mengambil sepotong kulit kayu pohon husa.
Kata dia, kulit kayu yang sudah lepas dari pohon itu harus direndam dulu selama tiga hari untuk memisahkan lapisan kulit bagian luar dan dalam. Setelah itu, kulit kayu dibuat menjadi benang. Lalu, benang dianyam dan jadilah noken, tas tradisional Papua.
Tempat Luis mengambil kulit husa ini berada di hutan yang dikelola Club Pecinta Alam atau CPA Hiroshi seluas 1 hektar. Lokasinya di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua dan berada di bawah kaki gunung Cycloop. Terdapat beberapa jenis pohon untuk bahan baku noken. Selain husa, ada lagi pohon mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dan beberapa pohon lain.
Luis salah seorang anggota CPA Hiroshi. Bersama 40 siswa lainnya, mereka belajar cara merawat alam, termasuk membudidayakan pohon untuk bahan baku noken yang sudah ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia tak benda.
Bagi Luis yang kini duduk di kelas 3 SMA, CPA Hiroshi menjadi “sekolah baru” dengan berbagai materi dan pembelajaran menarik. Di sini, katanya, belajar tak harus berseragam.
“Saya ingin mempelajari hal baru dan suka tantangan. Kalau di sekolah alam begini, saya belajar berkemah, mempelajari noken, dan materi lainnya yang tak ada di sekolah,” tuturnya.
Khusus soal noken, dia meyakini kelestarian bahan baku menjadi kunci agar warisan budaya tak benda itu tidak punah. Dengan memastikan bahan bakunya tersedia, noken sebagai salah satu produk budaya Papua bisa terus eksis.
“Noken ini harus dijaga supaya tidak hilang begitu saja, karena ini khas Papua,” tambahnya.
Menurut pengurus CPA Hiroshi Aser Mokay, anak dan remaja yang bergabung dengan Sekolah Alam Hiroshi berusia 10-20 tahun. Di sekolah alam, mereka mendapat pelajaran kelas dasar dan kelas lanjutan.
Pada Selasa siang, sejumlah siswa Sekolah Alam Hiroshi sedang menyimak pelajaran Bahasa Inggris dari Samuel, remaja blasteran yang menyambangi sekolah alam setiap Selasa dan Kamis.
Siang itu, Samuel menuliskan beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ada ejaan yang benar dan ada yang salah. Dia meminta siswa untuk mengoreksi. Tidak hanya anak-anak usia SD yang semangat mengikuti pelajaran dari Samuel. Siswa Sekolah Alam Hirohsi yang sudah duduk di bangku kuliah pun ikut nimbrung.
Selang beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 3 Desember 2021, sebanyak 100 remaja mengikuti pelatihan merajut tas noken dari serat kulit kayu di pendopo milik CPA Hiroshi. Para peserta berasal dari anggota Sekolah Alam CPA Hiroshi, SMA Negeri 1 Sentani, SMA Advent Doyo Baru, dan Sanggar Seni Reimay.
Kegiatan ini untuk memperingati sembilan tahun ditetapkan noken sebagai warisan budaya dunia tak benda. Pada 4 Desember 2012 di Kota Paris, UNESCO menetapkan tas tradisional noken dari Papua sebagai warisan budaya dunia tak benda.
Sambil duduk di atas lantai pendopo yang terbuat dari kayu, para pelajar dengan antusias mengikuti pelatihan merajut tas noken dari instruktur Sekolah Alam CPA Hiroshi. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 14.00 hingga 17.00 WIT.
“Saya sangat senang untuk pertama kalinya bisa merajut noken. Kegiatan ini sangat penting bagi kami generasi muda orang asli Papua untuk melestarikan kebudayaan ini secara turun-temurun,” ungkap Charisa Waum, peserta dari SMA Advent Doyo Baru.
Sementara, Delvia Boloi, peserta lainnya dari SMA Negeri 1 Sentani pun sangat bersyukur bisa mengikuti kegiatan merajut noken. “Kegiatan di Sekolah Alam CPA Hiroshi adalah pengalaman pertama saya merajut noken. Terima kasih sudah melibatkan saya dalam kegiatan ini,” tutur Delvia.
Pertahankan status
Ketua CPA Hiroshi Marshall Suebu memaparkan, lokasi penyediaan bahan baku untuk noken di tempatnya disebut Hutan Kotanopi atau singkatan dari Hutan Koleksi Tanaman Noken Papua untuk Indonesia. Kehadiran Hutan Kotanopi tidak hanya membantu para perajin di Jayapura agar tidak kesulitan mendapatkan bahan baku noken.
Hutan Kotanopi berperan penting untuk mempertahankan status noken sebagai warisan budaya dunia tak benda yang ditetapkan UNESCO. Hutan penyedia bahan baku noken telah disiapkan CPA Hiroshi pada tahun 2011.
Terdapat sejumlah syarat penting yang ditetapkan UNESCO agar status noken tidak dicabut, antara lain, adanya tempat pembudidayaan bahan baku noken dan kegiatan sosialisasi dan pelatihan yang mendukung pelestarian kebudayaan itu bagi generasi muda.
Ia mengaku, hampir saja status noken dicabut oleh UNESCO pada tahun 2020. Sebab, tidak ada upaya dari pemerintah Indonesia untuk menyiapkan lokasi khusus pelestarian bahan baku bagi noken.
“Pelaporan kegiatan tentang pelestarian noken ke UNESCO setiap empat tahun sekali. Kami sudah mengirim dua kali laporan ke UNESCO pada tahun 2016 dan 2020. Semua ini dari inisiatif CPA Hiroshi sendiri agar status noken sebagai warisan budaya dunia tak benda tetap bertahan,” ungkap Marshall yang juga Koordinator Komunitas Noken Papua.
Ia mengaku, Hutan Kotanopi juga merupakan kebun percontohan di mana bibit pohon bisa diambil untuk ditanam di lahan yang lain. Total sebanyak 500 bibit pohon yang telah ditanam di Hutan Kotanopi.
“Mayoritas pohon yang ditanam di sini adalah mahkota dewa atau disebut kleuha. Bahan dari kleuha menghasilkan noken untuk masyarakat strata atas di Sentani. Terdapat juga lima jenis pohon lainnya di Hutan Kotanopi, seperti genomo atau melinjo,” papar Marshall.
Ia berharap, pemerintah bisa menjaga hutan yang menjadi pusat bahan baku noken dari ancaman perambahan oknum masyarakat. Misalnya di hutan kawasan Cagar Alam Cycloop yang rawan aksi perambahan.
“Kondisi perambahan hutan di Cycloop masih terjadi hingga kini, seharusnya pemerintah daerah serius dalam pengawasan hutan. Masa depan pelestarian noken bisa terancam apabila pohon sebagai bahan bakunya sudah habis ditebang,” tutur Marshall.
Ia berharap ada penelitian dari ahli kehutanan khususnya terkait jenis bahan baku noken dan kualitasnya. “Rencananya dua peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini melebur dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) akan meneliti tentang anggrek sebagai salah satu bahan baku noken,” tambahnya.
Kendala perajin
Pembuatan noken dari dua bahan yakni kulit kayu dan benang nilon. Biasanya para perajin di Jayapura mendatangkan kulit kayu dari sejumlah daerah seperti Wamena, Nabire, Paniai, dan Dogiyai.
Saat ini banyak perajin khususnya di kota seperti Timika dan Jayapura yang membuat noken dari bahan nilon. Tingginya biaya untuk membeli kulit kayu dan mendatangkannya ke Jayapura dengan menggunakan pesawat menjadi tantangan terbesar bagi perajin.
Ketua Sanggar Noken Ania Merry Dogopia di Jayapura mengungkapkan, dirinya bersama 25 perajin di Sanggar Ania bisa mengeluarkan total biaya minimal Rp 5 juta untuk mendapatkan satu karung berisi gulungan kulit kayu dari wilayah Paniai dan Dogiyai. Dalam setahun, mereka membeli bahan baku noken sebanyak tiga kali.
“Selama ini kami bekerja mandiri tanpa bantuan pemda setempat untuk membeli bahan baku noken. Ketika mengalami kesulitan untuk memasok kulit kayu, maka kami terpaksa menggunakan benang,” tutur Merry.
Ia sangat senang ada Hutan Kotanopi di Sentani sebagai salah satu pusat pembibitan bahan baku noken. “Saya berharap kami bisa mendapatkan bahan baku noken di Jayapura sehingga bisa menekan biaya operasional,” kata Merry.
Titus Pekey, pencetus noken sebagai warisan budaya dunia tak benda ke UNESCO pada tahun 2011 mengatakan, noken telah digunakan 250 suku di Papua dan Papua Barat sebelum pendudukan pemerintah kolonial Belanda pada abad 18.
Noken sangat berperan penting bagi perjalanan hidup masyarakat khususnya di pedalaman Papua. Noken seperti sahabat yang menemani masyarakat dalam aktivitas sehari-hari.
Noken digunakan sebagai tempat menyimpan bekal makanan seperti ubi dan barang-barang lainnya. Selain itu, noken juga disebut rahim kedua karena sebagai tempat untuk membawa bayi sejak dilahirkan.
Menurutnya, diperkirakan jumlah perajin noken di lima wilayah adat di Papua dan Papua Barat mencapai sekitar 100.000 orang dan mereka juga umumnya berjualan di pinggiran jalan. “Saya berharap agar pemerintah daerah setempat memberdayakan para pengrajin dan menyiapkan tempat yang layak agar mereka terus berkarya untuk kelestarian noken di masa mendatang,” tutur Titus.
Noken juga disebut rahim kedua karena sebagai tempat untuk membawa bayi sejak dilahirkan.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua Yan Ormuseray mengapresiasi upaya CPA Hiroshi yang menyiapkan lahan sebagai sumber bahan baku noken. Ia menyatakan siap mendukung perluasan penanaman pohon yang menjadi bahan baku noken.
Ia menilai kegiatan merajut noken dengan melibat generasi milenial sangat dibutuhkan agar mereka terlibat dalam perlindungan hutan. Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua juga telah menyiapkan galeri yang memasarkan ratusan produk hasil hutan bukan kayu. Salah satunya adalah noken.
“Kami juga telah melibatkan empat kelompok masyarakat untuk penanaman pohon di kawasan penyangga Cagar Alam Cycloop mencapai 8 hektar. Salah satu pohon yang ditanam adalah genemo yang menjadi bahan baku noken,” kata Yan. (Fabio Maria Lopes Costa/Insan Alfajri)