Ancaman perusakan hutan lindung pernah menghantui Kampung Samares, di Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Sekarang, ketakutan itu berubah menjadi harapan berkat fenomena alam Telaga Biru Samares yang memberikan warga kesadaran tinggi akan pelestarian lingkungan.

Semburat biru jernih seperti kaca memancar dari permukaan telaga. Barikade pohon raksasa setinggi gedung tiga lantai mengelilinginya. Sinar mentari yang terhalang pohon, malu-malu menyorot, membuat cerah sekaligus teduh saat bersamaan.

Di balik pepohonan, burung-burung nuri bersembunyi. Mereka mengabarkan keberadaan dengan saling saut berkicauan, menimbulkan iringan nada bagaikan instrumen pengantar tidur.

Suasana semakin syahdu menyelimuti telaga berdiameter selebar lapangan basket ini, karena sejuk dan lembab masih tersisa bekas hujan pagi tadi. Itulah imaji surgawi yang terasa nyata di Telaga Biru Samares siang itu, pada Minggu (3/5/2021).

Dari arah lain, seorang pria tampak terpana memandangi telaga. Dia, Frits, pengunjung yang sedang berlibur. Belum sempat berkedip, dia langsung berucap, ”Wah… Indah sekali ya telaga ini.”

Frits, yang datang bersama orangtuanya, tersengat cinta pandangan pertama dengan telaga. Sambil menunjuk ke arah telaga, dia berucap, sudah pernah melihat foto tempat ini dari media sosial teman-temannya. Namun, wujud aslinya ternyata jauh lebih memukau.

“Airnya jernih sekali. Warnanya biru terang. Saya langsung kagum dengan telaga ini. Ternyata, ada juga ya tempat seindah ini di Biak. Perjalanan ke sini cukup jauh dan agak sulit, tetapi semua terbayar lunas,” ungkapnya. Ia agak menyesal karena baru datang sekali meski tinggal puluhan tahun di Biak.

Untuk ke tempat ini, Frits menempuh waktu perjalanan sejam lebih menggunakan mobil dari Kota Biak. Dia juga mesti melewati jalur berlika-liku agak curam sepanjang 10 kilometer sejak memasuki wilayah Kampung Sepse menuju telaga.

Tidak mau kehabisan waktu, Frits dan ayahnya, Gunawan, langsung terjun ke dalam telaga. Giliran sang ayah yang terkejut setelah merasakan air telaga. Kata Gunawan, airnya sangat segar. Dia mengira air biru telaga itu asin, seperti air laut. Tetapi ternyata rasanya tawar, yang berasal dari sumber mata air di bawah telaga sedalam 10 meter itu.

Mengalihkan perhatian masyarakat agar tidak tergiur lagi mengambil kayu, lalu merusak hutan.

Pengunjung semakin bertambah ketika menjelang sore. Selain wisatawan keluarga, ada juga kelompok anak muda yang berlibur pada Minggu itu. Mereka, yang beratraksi dengan berkali-kali melakukan lompatan salto, menambah suasana hangat dalam kolam alami tersebut.

Kepala Kelompok Ekowisata Telaga Biru, Paulus Thomas Ansek (29), kebetulan sedang datang melihat situasi telaga hari itu. Dia bercerita, jumlah pengunjung akhir pekan saat itu bisa dihitung dengan jari, terbilang lebih sedikit dibandingkan pekan biasanya. “Mungkin karena hujan deras tadi pagi, pengunjung pikir-pikir juga untuk datang,” tuturnya.

Biasanya, pengunjung bisa mencapai lebih dari 50 orang pada saat akhir pekan. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19 merajalela, jumlah pengunjung bisa mencapai empat kali lipat dari jumlah tersebut.

Telaga ini, menurut Paulus, merupakan wisata langganan untuk warga Biak. Tempat ini disukai karena indah sekaligus murah. Tiket masuknya hanya Rp 30.000 untuk rombongan mobil dan Rp 20.000 untuk pengendara motor.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

wisatawan berenang di di Telaga Biru Samares, Kampung Sepse di Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021).

Pengunjung bisa berenang sepuasnya dari pagi hingga sore. Lalu, mereka bisa bersantai di Pantai Samares yang hanya berjarak 5 menit jalan kaki dari telaga. Kelompok ekowisata menyewakan pondok untuk menikmati suasana pantai berpasir putih itu. Ada juga yang menjual ikan bakar ketika ombak sedang tidak tinggi.

“Jadi pengunjung punya dua hiburan. Biasanya mereka main air dulu di telaga, baru sehabis itu minum kelapa di pantai. Pengunjung jadi senang. Kami (warga kampung) beruntung diberkahi telaga dan pantai indah ini,” jelas Paulus.

Menghidupi kampung

Telaga Biru Samares mulanya hanya digunakan warga sekitar untuk mengambil air bersih. Tempat ini baru menjadi tempat wisata pada 2015, lewat pendampingan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Biak Numfor. Mereka melihat telaga punya potensi wisata yang sangat besar.

Kepala KPHL Biak Numfor Meilanny Margareth menjelaskan, pengelolaan ini untuk membantu masyarakat sekaligus bisa menjaga kondisi alam tetap lestari. Dengan tempat wisata, warga bisa memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga tidak perlu lagi menjual kayu dari hutan lindung.

“Masyarakat memang umumnya bersandar pada hutan, mengambil kayu untuk dijual. Kami ingin mengubah bola pikir itu, mengalihkan perhatian masyarakat agar tidak tergiur lagi mengambil kayu, lalu merusak hutan,” kata Meilanny.

Beberapa warga mulai ramai datang ketika mengetahui keberadaan telaga. Puncak ketertarikan pengunjung terjadi pada 2017, setelah pembangunan jalan oleh Dinas Pekerjaan Umum yang membuat pengunjung tidak perlu berjalan kaki lagi.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan menuju di Telaga Biru Samares, Kampung Sepse di Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021). Suasana yang teduh dengan air tawarnya yang dingin dan berwarna biru membuat telaga tersebut menjadi tujuan wisata. Telaga Biru hanya berjarak sekitar 100 meter dengan Pantai Samares.

Tanggung jawab mengelola tempat wisata ini diberikan kepada warga Kampung Sepse, yang paling dekat dengan telaga. Mereka membuat kelompok ekowisata beranggotakan 30 anggota dari warga kampung tersebut.

Berkah berlimpah pun mendatangi Kampung Sepse. Telaga menghasilkan sekitar Rp 2 juta–Rp 15 juta dalam sebulan, tergantung keramaian pengunjung. Uang itu digunakan untuk membantu pembangunan kampung yang ditinggali 150 kepala keluarga (KK).

“Pendapatan telaga bukan dibagi lagi ke masyarakat. Kalau kita dapat 1 juta, kalau dibagi 150 KK itu tidak akan cukup untuk semua. Karena itu, kita kumpulkan untuk kas kebutuhan umum. Menyangkut anak sekolah, agama, kesehatan juga,” kata Kepala Kampung Sepse, Willem Ansek (45).

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan menikmati suasana di Telaga Biru Samares, Kampung Sepse di Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021).

Hasilnya, uang retribusi telaga sudah sukses membangun dua gereja. Sejumlah 15 sarjana juga telah tercipta berkat uang tersebut. Khusus untuk pendidikan, dana kas digunakan untuk membantu biaya semester dan skripsi mahasiswa. Sisa khas untuk biaya darurat warga.

Siklus lestari

Contoh nyata yang bermanfaat ini terbukti sukses mengubah pola pikir warga, yang merasa lebih memiliki telaga. Mereka sangat posesif dalam menjaga kelestarian telaga, termasuk hutan lindung yang berada di sekitarnya.

Kepala Kampung Sepse, Willem Ansek berkisah, dulu banyak warga yang mencari nafkah dari menjual kayu. Namun, kegiatan merusak hutan itu perlahan sirna sejak wisata mulai ramai. Warga mulai sadar telaga biru itu berpengaruh positif kepada kehidupan kampung mereka.

Mereka membuat peraturan larangan penebangan pohon yang disepakati bersama-sama. Dalam aturan itu, warga yang kedapatan terlibat aktivitas penebangan akan mendapat sanksi denda Rp 500.000. Jika tidak mau bayar, kasus akan diproses ke jalur hukum.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

telaga Biru Samares di Kampung Sepse di Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021). Suasana yang teduh dengan air tawarnya yang dingin dan berwarna biru membuat telaga tersebut menjadi tujuan wisata. Telaga Biru hanya berjarak sekitar 100 meter dengan Pantai Samares.

Rasa memiliki warga akan telaga juga bisa dilihat dari anggota kelompok ekowisata yang bekerja sukarela. Misalnya saja Manuel Ansek (40) dan Adorsina Rayar (39). Anggota kelompok ini tidak mendapat upah bulanan. Mereka hanya terkadang diberikan uang lelah Rp 50.000 setiap bulan, jika telaga sedang ramai.

Manuel rela tidak dibayar demi melindungi hutan dari perburuan satwa seperti burung nuri, burung kakatua, dan ayam hutan. “Pengunjung ke sini tidak hanya untuk berenang. Mereka juga ingin melihat satwa-satwa yang khas,” tuturnya.

Sama halnya dengan Adorsina yang bertugas menjaga kebersihan telaga. Dia bersama anggota lain selalu membersihkan area telaga setiap Kamis. “Biar pengunjung nyaman. Karena masih banyak pengunjung buang sampah sembarangan, padahal sudah dilarang,” ucapnya.

Warga berpikir, kebaikan terhadap ekosistem telaga dan hutan lindung akan menjadi siklus yang berbalik positif kepada mereka. Harapannya, siklus ini bisa diteruskan dan dikembangkan anak-anak mereka yang menjadi sarjana berkat telaga. Harapan mereka, taraf hidup masyarakat kampung bisa meningkat pada masa mendatang.

Begitulah segelintir cerita inspiratif dari daerah pedalaman Distrik Biak Timur. Dulu, mereka tidak butuh alasan untuk merusak hutan. Sekarang, mereka punya seribu alasan untuk menjaganya. Semangat lestari itu berpadu di telaga biru. (Kelvin Hianusa/Fabio Maria Lopes Costa/Harry Susilo)