Sejak tahun 2015, sekelompok warga di Kampung Rimba Jaya, Kabupaten Biak Numfor memulai budidaya pohon kayu putih yang menghasilkan minyak berkualitas tinggi. Kegiatan ini meningkatkan perekonomian mereka dan juga menghentikan aksi penebangan hutan lindung selama bertahun-tahun.
Pada suatu siang yang terik akhir April lalu, di dalam pondok seluas 3 meter x 3 meter, Albertina Rumere (46) tampak serius memisahkan daun dari batang kayu putih. Bersama dua rekannya, dia sedang mengambil daun yang nantinya akan jadi bahan dasar untuk minyak kayu putih.
Ini merupakan rutinitas Albertina setiap sore pada masa panen. Setelah daun terpisah, mereka akan memasak dengan air, lalu menyuling, sampai menjadi minyak kayu putih.
Albertina mengakui, bisa menghasilkan sampai 6 liter minyak kayu putih dalam sepekan dari 1 hektar lahan miliknya. Minyak tersebut kemudian dijual ke KPHL seharga Rp 250 ribu per liter sehingga Albetina bisa menghasilkan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
“Dari uang itu, saya bisa menyekolahkan enam orang anak, termasuk untuk kebutuhan sehari-hari. Ini sangat berarti karena saya menjadi tulang punggung sejak bapak meninggal Juni tahun lalu (2020),” kata anggota kelompok tani Kofarwis tersebut saat ditemui di Rimba Jaya pada 30 April 2021.
Bahkan, salah satu anaknya, Roger Runggiari (22), sekarang telah menjadi mahasiswa semester 5 di jurusan kehutanan Universitas Papua. Semua itu berkat budidaya kayu putih yang dilakukan sejak 2015.
Awalnya, Albertina hanya mengikuti sang suami, Moses Runggiari. Moses merupakan salah satu pelopor utama budidaya kayu putih di Kampung Rimba Jaya, bersama rekannya Ishak Warnares. Meski Moses meninggal tahun 2020, Albertina terus melanjutkan usaha tersebut.
Banyak warga kampung yang lebih tertarik budidaya kayu putih dibanding menebang pohon ilegal. “Dulunya bapak suka menebang pohon agatis untuk di-drop ke meubel. Setelah ada kayu putih, bapak sudah tidak menebang lagi,”
Tak hanya itu, area hutan lindung juga lebih terjaga. Banyak warga kampung yang lebih tertarik budidaya kayu putih dibanding menebang pohon ilegal. “Dulunya bapak suka menebang pohon agatis untuk di-drop ke meubel. Setelah ada kayu putih, bapak sudah tidak menebang lagi,” ucapnya.
Warga Rimba Jaya yang turut membudidayakan kayu putih kini tergabung dalam Kelompok Tani Kofarwis, yang sudah memiliki 20 anggota. Total luasan penanaman pohon kayu putih milik anggota kelompok ini telah mencapai 20 hektar.
Ishak Warnares, pelopor budidaya kayu putih di Rimba Jaya, yang juga Ketua Kelompok Tani Kofarwis, menyebutkan, dari seluruh luas kebun kayu putih, baru sekitar 5 hektar yang sudah diproduksi. Sementara itu jumlah pohon yang ditanami dalam lima tahun terakhir telah mencapai 15.000 pohon.
Setiap minggu, kelompok tani Kofarwis bisa menghasilkan enam liter minyak kayu putih. Harga satu liter minyak tersebut senilai Rp 250.000. Salah satu lokasi penyulingan minyak kayu berada di rumah Ishak yang berjarak satu kilometer dari kebun pohon kayu putih.
Baca juga : Kebangkitan Hakiki Cokelat Ransiki
Tidak lagi menebang
Sebelum ada budidaya pohon kayu putih, sering terjadi penebangan pohon jenis merbau atau biasa disebut kayu besi dan damar di Kampung Rimba Jaya yang masuk areal hutan lindung Biak. Masyarakat menebang kayu tersebut untuk kemudian dijual karena harus memenuhi kebutuhan hidup.
Data Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Biak hingga tahun 2017, luas deforestasi lahan di 19 distrik atau kecamatan mencapai 342,8 hektar per tahun.
Pada tahun 2015, Kepala KPHL Biak saat itu, Aris Aap mencetuskan program pengelolaan hasil hutan bukan kayu dengan mengenalkan komoditas kayu putih kepada masyarakat. Upaya ini untuk mencegah terjadi perambahan hutan lindung di wilayah kerja KPHL Biak.
Setelah itu, KPHL Biak memulai pendampingan masyarakat Rimba Jaya untuk budidaya pohon kayu putih dengan pembentukan kelompok tani Kofarwis. Kata Kofarwis berasal dari bahasa daerah setempat yang bermakna usaha untuk mendidik. Produksi minyak kayu putih Kofarwis juga dibeli oleh KPHL.
Kepala KPHL Biak Numfor Meilanny Ayomi menuturkan, tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir warga yang awalnya hidup dari menebang kayu. “Bagaimana mereka benar benar yakin bahwa tanaman minyak kayu putih ini bisa menjadi pengganti untuk kebutuhan ekonomi mereka,” kata Meilanny.
Berkat pendampingan, warga pun belajar menanam dan merawat pohon kayu putih serta mengolah menjadi minyak. Mereka kemudian merasakan hasilnya dari produksi pertama pada 2017. Dari penjualan minyak kayu putih, rata-rata anggota Kelompok Kofarwis dapat menghasilkan uang hingga Rp 4 juta per bulan. Dengan penghasilan yang rutin, mereka tidak lagi menebang pohon di areal hutan lindung Biak.
Produk minyak kayu putih dari Rimba Jaya diberi nama Farkin yang berasal dari bahasa daerah setempat. Kata itu bermakna pelestarian atau konservasi lingkungan. (Fabio Maria Lopes Costa/Kelvin Hianusa)