Mata Emiliana Wamena berkaca-kaca saat bercerita tanah kelahirannya. Perempuan berusia 61 tahun itu tiba-tiba berhenti berbicara sambil menunjuk tanah gersang berpasir dan berbatu di hadapannya.

“Mama biasa menangis ingat kampung. Ini tempat cari makan untuk ibu-ibu, adik adik, bapa,” katanya dengan suara bergetar, saat ditemui, Senin (25/10/2021),.

Itu merupakan kampung lama Emiliana yang terletak di lahan rawa di selatan Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Kampung yang tadinya berupa hutan mangrove dan sagu di sisi sungai besar, kini rata dengan limbah pasir, batu, dan lumpur tailing, residu pengolahan bijih tambang. Hanya tertinggal pohon-pohon kering yang mati.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Hamparan ilalang dengan latar belakang pepohonan yang mengering di dalam kawasan aliran limbah tailing di Mimika, Papua, Senin (25/10/2021)..

Ia bercerita, saat keluarganya dan Suku Kamoro lain tinggal di kampung yang mereka sebut Pasir Hitam itu, mereka tak pernah khawatir untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Untuk makan, mereka hanya perlu menaiki rakit beberapa menit untuk memangkur sagu.

Jika butuh lauk, mereka tinggal menjaring ikan atau mencari kepiting dan udang di sekitar rumah panggung mereka. Jika butuh uang, mereka tinggal menjual hasil tangkapan tersebut ke kota.

Menurut Emiliana, kondisi tersebut berubah pada akhir 1980-an, setelah kampung mereka menjadi salah satu yang terdampak jalur pembuangan tailing, sisa produksi penambangan emas PT Freeport Indonesia (FI). Warga yang berada di sekitar sungai Ajkwa pun pindah ke perkampungan yang disiapkan perusahaan.

Namun, Mama Emiliana, sapaan akrabnya, memilih bertahan. Ia ingin tetap tinggal dekat dengan kampung lamanya. Selain itu, ia bertahan untuk menanyakan uang ganti rugi karena kampungnya terdampak tailing.

Tergantung bantuan

Di tepi tanggul, terdapat tanah pasir berbatu yang dipadatkan. Lahan itu digunakan sebagai jalur bus. Setelah pemindahan suku Kamoro ke pinggir kota, PT FI menyediakan bus untuk antar-jemput mereka agar masyarakat mudah mencari sagu dan ikan ke kampung lama.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga Kamoro, Marpin Ewakepiuta, menggendong anaknya pulang dari cekungan air untuk membersihkan diri sembari menunggu bis perusahaan datang untuk menjemputnya pulang ke rumahnya di Koprapoka, Kota Timika, Papua, Senin (25/10/2021).

Marpin (31), menantu Emiliana yang tinggal di Koperapoka, bilang bahwa bus itu hanya beroperasi empat hari dalam seminggu. Saat kehabisan bahan pangan di luar jadwal bus, ia amat kerepotan. “Kalau sagu habis, itu setengah mati kalau ke Timika (Ibu Kota Mimika),” katanya yang bergantung dari bus perusahaan.

Kita memberikan mereka motor perahu supaya mereka bisa ke laut. Kami juga membantu warga menjual ikan hasil tangkapan.

Selain itu, akibat sungai yang semakin menyempit dan dangkal, Marpin dan keluarga juga tak bisa dengan mudah mendapatkan ikan untuk dikonsumsi. “Sekarang kalau mau dapat ikan, kami mesti ke laut,” ujar Marpin.

Selain di Pasir Hitam, warga di kampung lain yang terdampak limbah tailing juga pindah ke perkampungan dan rumah yang disediakan PT FI. “Kami dapat bantuan uang setiap Natal, tapi kami butuh kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (mata pencaharian alternatif),” ungkap salah satu tokoh adat Suku Kamoro Siprianus Operawiri yang mendapat bantuan rumah dari PT FI di perkampungan Nawaripi.

“Kalau ada uang, mungkin kami harus sewa taksi dari kota ke kampung lama,” kata Marpin yang selama ini tergantung dari bus perusahaan. Jika masyarakat tidak memiliki mata pencaharian lain, ruang hidup yang tersisa tetap akan menjadi sandaran hidup mereka lagi di masa mendatang.

Vice President Corporate Communication PT FI Riza Pratama menyebutkan, akan mengecek apa yang diceritakan Emiliana. PT FI juga sudah memberikan tempat kepada suku kamoro yang terdampak tailing untuk menanam dan mencari sagu. Selain itu, PT FI membuat program pembinaan perkebunan dan peternakan agar warga bisa bercocok tanam setelah dipindahkan.

“Di pesisir ini, beberapa kampung memang ada yang terdampak, tetapi tidak semuanya. Kita memberikan mereka motor perahu supaya mereka bisa ke laut. Kami juga membantu warga menjual ikan hasil tangkapan,” kata Riza.

Warga yang terdampak tailing memang tergantung bus, rumah, dan bantuan dari PT FI. Saat perusahaan terbesar di Papua ini berhenti beroperasi, bagaimana mereka bertahan?

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga Kamoro menghitung kepiting bakau hasil tangkapannya sembari menunggu bis perusahaan datang untuk menjemputnya pulang kembali ke rumahnya di Koprapoka, Kota Timika, Papua, Senin (25/10/2021).

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Fred James Boray mengatakan, Pemprov Papua akan menyiapkan cetak biru program pemberdayaan masyarakat pasca-berakhirnya kontrak karya PT FI di Papua, seperti pemberian pelatihan kerja dan bantuan pendidikan formal. Tujuannya agar masyarakat yang selama ini tergantung mendapatkan bantuan dari pihak PT FI bisa mandiri ke depan.

Fred menilai, pengelolaan limbah oleh PT FI sudah standar memenuhi dokumen lingkungan. Namun, Pemprov Papua berharap FI dapat menjadi perusahaan tambang yang tidak lagi menghasilkan tailing tetapi mengelolanya menjadi komoditas yang bernilai ekonomi.

Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan, volume tailing PT FI mencapai 230.000 ton per hari selama 28 tahun (1988-2016). PT FI sendiri telah menyusun peta jalan pengelolaan limbah tailing sebelum pemerintah Indonesia mengambil alih 51,2 persen saham PT FI pada akhir 2018. Merujuk data PT FI, dalam tiga tahun terakhir, biaya pengelolaan tailing sekitar Rp 1,7 triliun. (Sucipto/Dionisius Reynaldo Triwibowo/Fabio Maria Lopes Costa)