Piter Tan (40) awalnya penasaran, mengapa ayahnya membeli biji kopi dari luar Papua. Padahal, dari informasi yang dia dengar, kopi dari Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, cukup banyak dan memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda atau bahkan lebih baik dari daerah lain.
Piter yang baru lulus kuliah sarjana ilmu ekonomi dan akuntasi pada 2000-an diminta orangtuanya kembali ke Jayapura untuk melanjutkan usaha kopi keluarga. Dia merupakan generasi kedua dari usaha kopi yang dirintis ayahnya di Jayapura, Provinsi Papua, sejak 1985.
Saat itu, muncul rasa penasaran lantaran biji kopi yang diolah ayahnya didatangkan dari Lampung dan Flores. Piter pun bertanya, mengapa keluarganya tidak membeli kopi dari Papua?
“Saya tanya, kenapa, kok, ngambil kopinya, jauh sekali, kirim lewat kapal? Dengar-dengar informasi, di Wamena, ada (kopi). Saya disuruh cari tahu sendiri,” kata Piter, saat ditemui, Minggu (21/11/2021), di Jayapura.
Permintaan ayah Piter agar dia mencari tahu sendiri akan pertanyaannya itu menjadi pemantik untuk menyelami seluk beluk dan berbagai persoalan kopi di Papua. Pada tahun 2000-an, Piter memutuskan mendatangi langsung para petani kopi di Wamena.
Lokasi pertama yang didatangi Piter, yakni di Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya. Saat itu, para petani kopi di distrik tersebut sedang menebang pohon-pohon kopi di kebun mereka dan dibuang di pinggir jalan. “Saya tanya. Mama, kenapa kopi, ko (kamu) potong taruh di pinggir jalan? Barang su (sudah) (ada) buah ini,” ucap Piter.
Petani itu kemudian mengatakan, kalau proses menanam hingga memanen kopi membutuhkan waktu yang lama dan melelahkan. Kopi yang sudah siap panen harus dipetik, dikeringkan, dikupas, lalu dipilah, dan kemudian dijual.
Ini kalau tidak diteruskan oleh yang muda, ini kopi bisa susah (didapatkan), mungkin bisa hilang.
Di pasar, saat itu, biji kopi itu dihargai pengepul Rp 9.000 per kilogram. Harga yang sangat rendah itu bahkan tidak cukup untuk membeli satu kilogram gula pasir.
Kopi dari petani saat itu dihargai murah lantaran biji kopi yang dikumpulkan pengepul harus diolah lagi. Penyebabnya, pemahaman petani yang masih terbatas akan penanaman maupun pascapanen.
Selain itu, kopi yang sudah dikumpulkan oleh pengepul harus dikirim dari Wamena menggunakan pesawat ke Jayapura. Tiba di Jayapura, pengepul masih harus mengeluarkan biaya untuk pengiriman ke luar Papua.
“Komponen-komponen biaya ini yang diperhitungkan (pengepul) sehingga keluar angka Rp 9.000. Tetapi, bagi petani, ini harga terlalu murah. Jadi, tidak ketemunya itu di sini,” kata Piter.
Saat itu, Piter segera memutar otak, berupaya mencarikan jalan keluar bagi masyarakat petani kopi di Wamena. Baginya, untuk bisa mendapat kepercayaan petani agar mendapat pasokan biji kopi secara berkelanjutan, dia harus menghargai kerja petani.
Piter mengambil risiko untuk membeli kopi petani dengan harga tinggi, yakni Rp 45.000 per kilogram. Piter juga dengan sukarela membantu mengajarkan para petani cara memanen dan mengelola biji kopi agar kopi yang dihasilkan berkualitas dan memiliki nilai jual yang tinggi.
“Dari situ, saya mulai mendapatkan kepercayaan petani sampai hari ini. Dari situ mulai ada kopi,” tutur Piter. Saat ini, Piter membeli kopi petani dengan harga terendah Rp 100.000 per kilogram.
Alasan Piter membeli kopi petani dengan harga tinggi sebenarnya sederhana. Kopi dari Papua ditanam di areal berhutan, tanpa pestisida maupun pupuk kimia, dan cara pemetikannya masih sangat tradisional, yakni dipetik dengan tangan lalu disimpan dalam noken.
Kopi Wamena juga berbeda dengan kopi pada umumnya lantaran kopi jenis arabika ini tumbuh di daerah pegunungan ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. “Kopi ini dia tumbuh di Lembah Baliem (pegunungan tengah Papua) di daerah ketinggian. Jadi, barang ini bagus, kualitasnya luar biasa. Cukup spesial, sangat berbeda,” tutur Piter.
Edukasi dan promosi
Berbagai upaya yang dilakukan Piter berhasil mengambil hati para petani. Biji kopi dari petani dengan jumlah bervariasi terus berdatangan setiap hari. Pada 2021, biji kopi yang terkumpul mencapai 40 ton. Piter pun tak lagi kesulitan dalam mencari biji kopi.
Seiring waktu, tantangan lain mulai muncul. Kopi Wamena dengan segala keunikannya yang berhasil dikumpulkan itu awalnya masih minim promosi. Piter kemudian mendirikan kedai kopi dengan nama Pit’s Corner yang berlokasi di Jalan Trikora, Jayapura, pada 2015. Tujuannya untuk memudahkan para pecinta kopi untuk dapat mencicipi rasa dan aroma Kopi Wamena.
“Kami butuh tempat. Orang yang mau cari kopi, dia harus ke mana. Makanya saya bikin tempat ini,” kata Piter.
Di kedai Pit’s Corner, terdapat berbagai jenis kopi dari berbagai pedalaman Papua. Di tempat itu, selain memperkenalkan kopi Papua, dia juga membangun sekolah barista (peracik minuman kopi) khusus bagi anak-anak petani kopi di Wamena.
Anak-anak petani dari Wamena dan sekitarnya direkrut untuk belajar mengekstraksi kopi menggunakan mesin maupun secara manual. Tujuan Piter membuka sekolah barista ini tidak terlepas dari kekhawatirannya akan masa depan kopi Wamena. Ia gundah lantaran para petani kopi di Jayawijaya saat ini rata-rata sudah berusia senja.
“Anak muda ini sedikit sekali yang mau mengurus kopi. Ini kalau tidak diteruskan oleh yang muda, ini kopi bisa susah (didapatkan), mungkin bisa hilang,” tuturnya.
Piter berharap dengan sekolah barista itu, anak-anak muda memiliki pengetahuan tentang kopi. Dari pengetahuan itu mereka memiliki minat kembali menjadi petani untuk mengembangkan dan menjaga keberlanjutan kopi Papua.
Melalui sekolah barista yang didirikan Piter pada 2015 itu, anak-anak petani kopi Wamena diberi akses untuk belajar tentang cara pengelolaan, peracikan, dan penyajian kopi tanpa pungutan biaya alias gratis. Selama sekolah barista itu dibuka, jumlah anak petani Wamena yang pernah belajar di sana sekitar 50 orang. “Selama dua tahun ini kami belum buka lagi (sekolah barista), karena dampak pandemi,” tutur Piter.
Puluhan anak petani yang direkrut Piter diajari teknik-teknik dasar dalam penyajian kopi. Waktu pembelajaran untuk menguasai teknik penyajian dari setiap pelajar itu bervariasi. Ada pelajar yang hanya butuh satu bulan untuk memahami teknik penyajian kopi.
“Mereka setelah lulus, sebagian saya hubungi hotel-hotel di Jayapura untuk bekerja di sana. Ada sebagian yang tidak kembali ke kopi dan memilih jadi PNS (pegawai negeri sipil) atau politisi. Saya tidak bisa melarang. Hal yang paling penting adalah mereka sudah punya bekal tentang kopi,” tutur Piter.
Upaya yang dilakukan ini diharapkan bisa memastikan kopi dari Jayawijaya maupun sekitarnya bisa terus berkelanjutan dan petaninya sejahtera. Di satu sisi, Piter dan keluarga lahir, tumbuh, besar dan hidup di Papua. Dia ingin turut berkontribusi membangun daerah itu, salah satunya dengan mengenalkan kopi Papua ke seluruh pelosok Nusantara bahkan dunia. (Stefanus Ato/Saiful Rijal Yunus)
Piter Tan
Lahir: Jayapura, 29 Januari 1980
Pengalaman:
- CEO Kopi Garuda Mas Jayapura
- Q-Grader Arabica Coffe