Cantiknya gugusan pulau karang, lembut pasir putih, sungai jernih berair biru, dan bentangan Galaksi Bima Sakti di langit malam hampir selalu tersaji di Raja Ampat.
Hamparan pasir putih seluas sekitar 150 meter persegi menyela separuh perjalanan kami saat berperahu motor dari Sorong menuju Pulau Arborek, di Raja Ampat, Papua Barat, akhir Mei 2021. Daratan itu hanya muncul ke permukaan saat air surut sekitar pukul 06.00, 11.00, dan 15.00 waktu setempat.
Airnya yang jernih membuat dasar pasir terlihat sangat jelas. Saat pasang, pulau ini bersembunyi di bawah air laut berwarna toska dan biru tua. Inilah secuil episode pembuka menelusuri sekeping surga di Papua.
Perjalanan dilanjutkan. Marcel Mambrasar, motoris asal Arborek, memacu perahu membelah permukaan laut yang tenang. Sekitar 45 menit berselang, Pulau Arborek mulai terlihat dari kejauhan.
”Cuaca sedang bagus. Tidak ada ombak besar. Sebentar lagi kita sampai,” ujarnya yang membatalkan kelopak mata kami mengatup dan segera mempersiapkan barang-barang bawaan.
Arborek
Matahari tegak lurus di atas kepala saat kami menginjakkan kaki di Arborek. Tiga anak datang membantu menurunkan barang dari perahu. Dari bawah pohon di pinggir pantai, ibu-ibu melemparkan senyum. Sambutan ramah itu meredakan sengatan terik yang membakar kulit.
Inilah Arborek, salah satu desa wisata terbaik di Raja Ampat. Luasnya tak sampai 7,5 hektar. Namun, wisatawan dari penjuru dunia, mulai dari Asia, Australia, Amerika, dan Eropa, pernah singgah di pulau ini.
Cerita dan foto-foto keindahan bawah lautnya banyak dipamerkan di media sosial. Lalu apa istimewanya Arborek? Bukankah pulau-pulau lain di Raja Ampat menawarkan keindahan bawah laut juga?
Di Arborek, gugusan terumbu karang berwarna-warni tersusun rapi, bahkan di perairan dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Pengunjung bisa dengan jelas melihat keindahannya tanpa harus nyebur ke laut.
Gerombolan ikan oci, kuwe, dan tengiri menari di antara sela-sela karang. Beberapa pengunjung tergoda bermain dengan ikan lebih dekat. Mereka memasukkan tangan ke laut dan menyentuh ikan-ikan tersebut, tetapi tidak boleh menangkapnya.
Perairan di sekitar dermaga merupakan zona larangan penangkapan ikan. Peraturan kampung ini dibuat untuk melestarikan biota laut sehingga tetap menarik ”dijual” kepada wisatawan.
”Warga di sini menggantungkan hidup dari sektor wisata dan perikanan. Kalau laut rusak, kami mau hidup dari mana? Jadi, semua sepakat menjaga laut,” ujar Kepala Desa Arborek Daud Mambrasar.
Tak heran perairan di sekitar dermaga pun sangat menarik untuk dieksplorasi keindahan bawah lautnya. Gerombolan ribuan ikan oci menyambut penyelam scuba ataupun mereka yang berenang dengan hanya menggunakan alat snorkeling.
Membayangkan segarnya air kelapa muda yang dijual warga setempat di titik masuk lokasi menjadi motivasi untuk segera sampai ke bawah.
Datang ke sini, Anda tak perlu dipusingkan dengan keribetan membawa alat selam. Di pulau ini sudah terdapat jasa penyewaan alat selam atau dive center yang dikelola warga setempat. Jadi, kita tak perlu berat-berat membawa alat selam.
Pemandu selam setempat siap membawa kita menyusuri sejumlah titik-titik selam yang memiliki keunikan masing-masing. Satu titik yang menjadi andalan dan jangan sampai dilewatkan ialah menikmati liukan tarian ikan pari manta.
Keberadaan pari manta ini yang menjadi ikon dan daya tarik tersendiri di Arborek. Fauna yang menyukai perairan berarus ini bisa hadir beberapa ekor sekaligus dan berenang berkeliling, bahkan tak segan melintasi penyelam.
Sebelum pandemi Covid-19, para penyelam yang ingin bertemu manta di Arborek sering kali harus antre. Ini karena jumlah penyelam dibatasi oleh pengelola agar tidak mengganggu si manta.
Kelestarian laut di Arborek tidak dibangun dalam sekejap. Ekosistem di sana justru pernah rusak parah karena dihujani bom ikan dan dicemari potasium. Namun, sejak 2006, warga mulai memulihkan ekosistem dan mengembangkan desa wisata.
Mayoritas penginapan di sana dibangun di bibir pantai menjorok ke laut. Deburan ombak kecil menjadi musik pengantar tidur saat daksa terbaring di peraduan.
Malam gelap di pulau mungil berpenghuni 281 jiwa itu tidak membosankan. Gulita justru membuka pintu keindahan yang tertutup saat siang. Ketika cuaca cerah, bentangan milky way atau Galaksi Bima Sakti megah menghiasi langit.
Sisi selatan dan barat daya pulau menjadi tempat terbaik mengamati kerlip bintang. Di sisi tersebut tidak banyak rumah penduduk sehingga minim polusi cahaya.
Piaynemo
Tidak lengkap rasanya ke Raja Ampat tanpa singgah ke gugusan pulau karst. Berswafoto di sini menjadi incaran utama sebagian besar wisatawan. Bersama Pulau Wayag, geosite Piaynemo menjadi yang paling ikonik.
Perjalanan sekitar 1,5 jam dari Arborek menuju Piaynemo mengalami beberapa kali gangguan. Penyebabnya ialah sampah plastik yang melilit baling-baling mesin perahu.
Tiga kali Marcel harus memberhentikan perahu untuk membersihkan baling-baling mesin itu. Berbagai sampah bungkus makanan, kantong plastik, dan wadah kosmetik menjadi noda hitam yang mencoreng keindahan Raja Ampat.
”Laut tidak menghasilkan sampah plastik. Sampah-sampah ini pasti dari darat. Semoga semua orang yang pernah datang ke sini bisa peduli untuk tidak mengotori laut,” ujarnya.
Lebih dari 300 anak tangga harus dilalui untuk sampai ke titik tertinggi Piaynemo. Di puncak disediakan menara pandang. Menyuguhkan gugusan pulau-pulau karst yang memukau. Letih mencapai puncak setinggi 122,4 meter pun terbayar.
Pemandangan laut dari atas tampak seperti lukisan. Air laut yang terjebak di antara pulau menghasilkan laguna biru dengan kepekatan bervariasi. Pantas saja pengunjung rela bercucuran keringat demi sampai ke sini.
Berkunjung saat pandemi Covid-19 menjadi keuntungan tersendiri. Kami bisa sepuasnya menikmati suguhan keindahan alam. Jika sedang ramai, wisatawan harus bergantian karena menara pandang hanya berkapasitas maksimal 30 orang.
Turun dari puncak membutuhkan tenaga yang tidak kalah besar dibandingkan dengan mendaki. Namun, membayangkan segarnya air kelapa muda yang dijual warga setempat di titik masuk lokasi menjadi motivasi untuk segera sampai ke bawah. Minuman isotonik alami itu sangat cocok mengembalikan energi yang terkuras.
Kalibiru
Terselip di tepi hutan di Teluk Mayalibit, Kalibiru digadang-gadang sebagai sungai terindah di Raja Ampat. Air jernih berwarna biru menembuskan pandangan hingga ke dasar sungai. Pepohonan di sekitarnya yang masih rapat menonjolkan keasrian destinasi wisata itu.
Untuk menjangkaunya diperlukan perjalanan menggunakan mobil, perahu motor, dan berjalan kaki. Perjalanan darat dari Waisai, ibu kota Raja Ampat, menuju Kampung Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit, memakan waktu sekitar 1,5 jam, awal Juni 2021.
Perjalanan dilanjutkan dengan berperahu motor selama 15 menit menyusuri sungai yang membelah hutan. Setelah itu, berjalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai ke Kalibiru.
Kalibiru merupakan sungai sepanjang lebih dari 300 meter dengan lebar 6 meter dan kedalaman sekitar 3 meter. Airnya jernih sehingga membuat sejumlah wisatawan tertarik untuk menyelam permukaan atau snorkeling.
Pengelola wisata Kalibiru, Alfred Mentansan, mengatakan, lokasi itu dikelola dengan memberdayakan masyarakat lokal. Perahu motor yang disewakan kepada wisatawan, misalnya, dioperasikan warga secara bergantian.
”Tujuannya agar semua warga mempunyai kesadaran untuk menjaga Kalibiru. Warga juga mengedukasi pengunjung agar tidak membuang sampah sembarangan,” ujar Alfred.
Menjelajahi Raja Ampat seperti tidak ada habisnya. Sudut-sudut keindahan tersembunyi siap memberi kejutan bagi wisatawan.
Memori perjalanan berkesan akan selalu terekam dan merayu untuk kembali ke sana. Raja Ampat memang selalu memikat. (Tatang Mulyana Sinaga/Fransiskus Pati Herin/Harry Susilo/Ichwan Susanto)