Dengan telaten, Yusuf Rumaropen mengumpulkan benda-benda peninggalan Perang Dunia II yang dia temukan di Pulau Biak, Papua. Melalui beragam barang yang kini dia pamerkan di Goa Binsari, Yusuf seolah merawat ingatan tragedi bersejarah saat itu dan membawa pesan bahwa perang hanya berujung penderitaan.

Sebuah rangka pesawat yang sudah usang tergeletak di halaman Goa Binsari, Distrik Samofa, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Salah satu dari tiga baling-balingnya sudah bengkok. Sasis bagian kepala hingga tubuh pesawat pun telah hilang. Tinggal sasis bagian ekor yang tampak utuh dengan lambang bendera Jepang.

Di depan pesawat, terdapat sebuah kaleng drum bekas dalam posisi tertidur. Kaleng itu bertuliskan ”Pesawat Pembom Milik Angkatan Laut Jepang Kamikaze Jenis Zero Tahun 1941-1944”. Kalimat ini cukup untuk menjelaskan benda-benda bersejarah yang menjadi wajah dari goa tersebut.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Rangka pesawat tempur milik Jepang yang hancur dipajang di destinasi wisata sejarah Perang Dunia di Goa Binsari, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, Sabtu (1/5/2021)

Saat hampir tutup, datang lelaki bertubuh tegap dengan kaus berwarna hijau loreng. Dialah Yusuf Rumaropen (59), pengelola sekaligus pemilik dari Goa Binsari atau juga dikenal dengan Goa Jepang.

”Pesawat ini peninggalan Jepang saat perang dengan Amerika Serikat di Biak. Ini hanya salah satu dari ribuan barang bekas keganasan perang yang saya temukan di sekitar dan dalam goa. Banyaknya barang juga menandakan jumlah korban meninggal saat itu,” kata Yusuf kepada seorang ibu dan dua anak yang menjadi pengunjung terakhir hari itu, 1 Mei 2021.

Goa Binsari milik keluarga Rumaropen. Pada Perang Dunia II, goa yang punya sumber air bersih ini dijadikan tempat persembunyian tentara Jepang untuk berlindung dari sergapan tentara AS.

Namun, goa itu pula yang akhirnya menjadi kuburan massal tentara Jepang. Sekitar 3.000 dari total 11.000 pasukan Jepang yang meninggal di Biak meregang nyawa di dalam goa. Pasukan di bawah kepemimpinan Kuzume Naoyuki itu dibakar hidup-hidup oleh tentara AS yang menumpahkan ratusan drum berisi bahan bakar ke goa, lalu menyulut api dengan tembakan mortir.

Tak pelak, barang-barang bekas peninggalan tentara Jepang mendominasi koleksi Yusuf di Goa Binsari. Dia mengumpulkan satu per satu peninggalan itu selama 19 tahun sejak 1980 hingga 1999. Bersama Mathelda, sang istri, Yusuf kemudian membangun dan mengelola museum versinya sendiri.

”Saya dulu tertarik mengumpulkan karena cerita dari orangtua tentang perang, terutama pasukan Jepang yang datang ke tempat kami. Semula hanya mengumpulkan saja, tidak pernah terbayang bisa memiliki manfaat seperti ini,” ucap Yusuf.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengunjung melihat kondisi di dalam Goa Binsari yang menjadi destinasi wisata sejarah Perang Dunia II di Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021). Pada Perang Dunia II, Goa Binsari dijadikan tempat persembunyian tentara Jepang untuk berlindung dari sergapan tentara Amerika Serikat.

Mesin waktu

Di tangan Yusuf, Goa Binsari seolah menjadi mesin waktu. Pengunjung dapat membayangkan perang yang terjadi sekitar tujuh dekade lalu itu. Barang-barang koleksinya dan suasana goa menstimulasi pengunjung merasakan residu masa lalu.

Koleksi peninggalan tentara Jepang miliknya berjajar di area tanah seluas 4.000 meter persegi, mulai dari samurai, helm, topi baja, tempat air minum kaleng, mortir, pisau, hingga senapan. Khusus untuk barang berharga, seperti samurai, ditaruh spesial dalam sebuah galeri.

Bahkan, dia juga menyimpan sisa tulang belulang korban di dalam sebuah gudang. Jumlahnya tinggal sedikit karena sebagian besar tulang belulang itu dikremasi dalam ritual pemberkatan bersama anak dan cucu korban yang datang langsung dari Jepang.

Imaji tentang perang semakin nyata karena terdapat tanda-tanda pertempuran. Misalnya, beberapa botol kaleng aluminium sudah bolong-bolong karena tembakan puluhan peluru. Wujud botol itu membawa imajinasi bahwa gempuran AS bertubi-tubi.

Atmosfer kengerian paling terasa di dalam Goa Binsari. Lorongnya sangat gelap dan lembab. Pencahayaan hanya berasal dari lubang goa di bagian atas. Sekeliling goa dipenuhi akar pohon yang menjalar pada bagian dinding. Dalam kesenyapan itu, pengunjung bisa membayangkan tentara Jepang tidak punya jalan keluar saat dibombardir musuh.

Koleksi berharga

Perjalanan Yusuf sangat berliku untuk bisa mewujudkan museum bersejarah di Goa Binsari. Dia sempat dikucilkan oleh keluarga karena barang-barang koleksinya menyesaki rumah. ”Jadi, mereka (keluarga) anggap apa sampah-sampah ini? Yang (peninggalan) Jepang ini kamu kumpulin buat apa, hanya (bikin) kotor saja. Dari situ saya kasih keluar,” kata Yusuf.

Tetapi, dia tidak menyerah untuk terus mengoleksi. Yusuf tergugah ucapan seorang pengunjung dari Jakarta yang menilai, barang-barang peninggalan yang dikoleksi Yusuf nantinya akan menjadi sesuatu yang berharga.

Yusuf semakin yakin ketika ada keluarga korban perang berkunjung ke Biak untuk mencari jasad orangtua atau kakeknya. Dia bercerita, pernah ada wanita Jepang yang menangis tersedu sekaligus berterima kasih kepadanya. Dengan usaha Yusuf, mereka punya kesempatan untuk menemukan jejak sang leluhur.

Baginya, ucapan terima kasih itu sangat berarti. Dia merasa perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Yusuf yang kini berjalan menggunakan tongkat akibat kecelakan mobil ini pun akhirnya setia mempertahankan benda peninggalan perang tersebut.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengunjung melihat barang-barang peninggalan di museum di kawasan wisata sejarah perang dunia kedua di Goa Binsari, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Sabtu (1/5/2021).

Sudah berkali-kali kolektor barang perang menawar untuk membeli koleksinya. Namun, Yusuf selalu menolak. Salah satu yang ditolak adalah samurai langka yang pernah ditawar seharga ratusan juta rupiah.

Ke depan, pria berkumis tebal ini punya tantangan lebih berat. Dia harus menjaga barangnya tetap utuh karena sering ada pencurian. Apalagi, Yusuf tak punya anggaran untuk memagari seluruh wilayah museumnya. Dia sudah minta bantuan Pemerintah Kota Biak, tetapi belum direspons.

Kejadian seperti perang ini tidak memberikan manfaat, tidak berarti. Semuanya meninggalkan kesengsaraan.

Yusuf saat ini hanya bergantung dari tiket masuk seharga Rp 25.000 per orang untuk biaya pengelolaan Goa Binsari. Dulu, pengunjung bisa mencapai 500-1.000 orang setiap bulan. Namun, jumlah kunjungan tersebut menurun drastis saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.

Yusuf menyadari betul tantangan yang dihadapinya. Namun, semua tantangan itu dirasa setimpal dengan yang didapatkannya. Dia bisa mewariskan cerita perang ini kepada anak-cucu sekaligus seluruh dunia.

”Tempat ini perlu dipertahankan supaya dapat dipelajari oleh generasi sekarang dan yang akan datang. Bahwa kejadian seperti perang ini tidak memberikan manfaat, tidak berarti. Semuanya meninggalkan kesengsaraan,” kata Yusuf. (Kelvin Hianusa/Fabio Maria Lopes Costa)

Yusuf Rumaropen

Lahir: Biak Numfor, 23 Juni 1962

Pendidikan: SMA YPK Biak

Istri: Mathelda Rumaropen

Anak:

  • Mando Rumaropen
  • Elsye Rumaropen