Penghidupan warga Pulau Arborek di Raja Ampat, Papua Barat, babak belur terimbas pandemi Covid-19. Walakin, mereka setia di jalan konservasi, meski ada opsi mudah mengeruk kekayaan alamnya.
Setelah hancur dihantam pandemi Covid-19, pariwisata Arborek di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat kini mulai bangkit perlahan. Penginapan-penginapan yang jarang terisi selama pandemi, saat ini mulai disinggahi wisatawan lokal dan mancanegara.
Angin segar itu berembus sejak akhir Desember 2021. Keteguhan dan kesetiaan warga menjaga alamnya berbuah manis. Kelestariannya membuat wisatawan tetap terpikat untuk datang.
Penginapan milik Naftali Mambraku (35), misalnya, dalam sebulan terakhir disinggahi 14 pelancong lokal dan 4 wisatawan asal Belanda. “Sebelumnya, hampir tidak ada turis asing yang menginap selama pandemi. Pengunjung lokal pun paling banyak 5 orang per bulan,” ujarnya, Selasa (18/1/2022).
Alhasil, pundi-pundi rupiah yang sempat kosong mulai terisi lagi. Ia bercerita, sudah ada orang yang bertanya-tanya untuk menggunakan penginapannya pada Februari 2022.
Pilihan untuk mengeruk uang selama pandemi sebenarnya sangat terbuka bagi warga Arborek. Pulau kecil berukuran kurang dari 7,5 hektar itu dianugerahi kekayaan alam melimpah. Bila memilih memakai pukat dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, berton-ton ikan bisa di dapatkan dari perairan di sekitar pulau itu setiap hari.
Untungnya hal itu tak membuat Naftali maupun warga setempat tergiur. Mereka memilih menangkap ikan seperlunya. Itu dirasa sudah cukup.
Seperti awal Juni 2021 lalu, di bawah sengatan matahari, Naftali hanya butuh waktu 45 menit untuk kembali ke rumah dan membawa ikan kuwe, kerapu, dan tengiri. Hasil tangkapan ini didapatnya dari perairan berjarak 1,5 mil laut (2,7 kilometer) dari tepi pantai Arborek.
Tangkapan itu tak hanya untuk memenuhi kebutuhan lauk Naftali, istri, dan keempat anaknya. Namun, ada juga yang diolah menjadi ikan asin dan dijual ke pasar melalui pengepul. Kalau mau cara mudah, di bawah rumah panggung penginapannya, setiap hari menjadi tempat bermain kelompok besar ikan kuwe.
“Ikan-ikan di sini (sekitar pantai) tidak boleh ditangkap. Itu peraturan kampung yang wajib ditaati. Kalau ambil ikan, silakan ke tengah (laut),” ujar Naftali.
Hasil tangkapan 5-10 kilogram ikan per hari dijualnya Rp 20.000 per kg. Jadi, dalam sehari ia mendapatkan Rp 100.000–Rp 200.000.
“Hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat wisatawan sepi, kami bertahan dengan cara seperti ini,” ujarnya.
Pernah eksploitatif
Pilihan itu ibarat jalan pertobatan warga yang selama puluhan tahun pernah memakai alat tangkap tak ramah lingkungan. Bom, potasium, dan pukat pernah digunakan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Imbasnya, ekosistem laut di situ sempat rusak.
Berkat kehadiran penggerak konservasi dari berbagai lembaga swadaya pada 2006, masyarakat diajak ikut memulihkan laut. Mereka pun jadi tahu ada alternatif sumber penghidupan yaitu dengan mengembangkan ekowisata.
Naftali turut merasakan cipratan cuan dari perubahan itu. Bermula mendirikan dua kamar penginapan pada 2015, kini ia memiliki sembilan kamar untuk disewakan.
Namun, pandemi Covid-19 membuat roda ekonomi warga Arborek melambat. Dalam 1,5 tahun terakhir kunjungan wisatawan turun drastis.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mereka kembali menangkap ikan. Bedanya dengan kehidupan dulu, mereka kini tak memakai alat tangkap yang merusak.
Mereka hanya berbekal pancing, senapan ikan, dan tombak agar penangkapan tidak masif. “Jika (ikan) kami habiskan sekarang, anak-cucu mau dapat apa?,” ucap Naftali.
Kepala Desa Arborek Daud Mambrasar mengatakan, mayoritas dari 45 keluarga di sana bekerja di sektor perikanan dan wisata. Saat pariwisata terpuruk akibat pandemi, warga hanya menggantungkan hidup dengan menangkap ikan.
“Beruntung selama beberapa tahun ke belakang warga sudah sadar untuk memulihkan laut. Jadi, masih banyak ikan yang bisa ditangkap untuk dimakan dan dijual,” tuturnya.
Meski demikian, masyarakat tetap bersepakat tidak menangkap ikan dalam radius satu mil laut dan tidak boleh menangkap jenis ikan dilindungi dan terancam punah, seperti napoleon (Cheilinus undulatus). Tujuannya untuk memulihkan ekosistem perairan di sekitar pulau.
Sanksi penangguhan bantuan dana dari desa siap menanti warga yang melanggar peraturan-peraturan itu. “Dana desa setiap tahun digunakan untuk membangun rumah warga secara bergilir. Warga yang melanggar peraturan desa terancam ditunda mendapatkan jatahnya (pembangunan rumah),” jelasnya.
Konservasi di Arborek bukan jargon. Seperti Juni 2021 lalu, kondisi sepi kunjungan wisatawan, dimanfaatkan warga bersama penggiat konservasi untuk menanam karang.
Tetap berkarya
Selain menangkap ikan, Orpa Mayor (64) punya cara lain bertahan di tengah pandemi. Ia memanfaatkan kebun dengan menanam singkong, kentang, keladi, dan pisang.
“Jadi, untuk makan sehari-hari tinggal ambil dari kebun. Sesekali saja beli beras dan sagu dari pasar,” ujar nenek 12 cucu itu.
Di sela-sela berkebun, hampir tiap hari ia masih membuat suvenir aneka anyaman berbahan daun sikar dan pandan. Ia membuat topi, tas, dan kantong untuk botol minuman.
Tuhan itu sangat baik. Kalau sekarang kita susah, itu berarti karena Dia akan kasih kita senang nanti.
Produk kerajinan diminati wisatawan. Topi dijual dengan harga Rp 300.000, tas Rp 200.000, dan kantong botol minuman Rp 100.000. Omzetnya sekitar Rp 2 juta per bulan.
“Selama pandemi, omzet turun Rp 500.000 – Rp 750.000 per bulan. Ini karena korona sehingga sedikit wisatawan yang datang,” ujarnya.
Pekerjaan itu ia tekuni sejak 2012 dan kini tetap dilakukannya meski hingga kini tak tahu kapan pandemi berakhir. Namun, Orpa percaya pandemi ini tidak abadi. Ia tidak mau bermalas-malasan meskipun tidak ada jaminan produk kerajinannya segera laku.
“Tuhan itu sangat baik. Kalau sekarang kita susah, itu berarti karena Dia akan kasih kita senang nanti,” ucapnya.
Hampir 2 tahun gelombang pandemi membuat wisata di Arborek terpuruk. Namun, mereka tidak panik mengeruk kekayaan alam lautnya. Mereka membuktikan tetap bisa bertahan di jalan konservasi. (Tatang Mulyana Sinaga/Fransiskus Pati Herin)