KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 13-07-2019

Prosesi pembuatan minuman teh untuk raja di Keraton Yogyakarta, Sabtu (13/7)

Jawa Tengah dan Yogyakarta

Anarki Teh Kampung

·sekitar 5 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 13-07-2019

Prosesi pembuatan minuman teh untuk raja di Keraton Yogyakarta, Sabtu (13/7)

Teh kampung adalah anarki. Ugal-ugalan, sangit, dan semua yang serba ”hantam kromo”. Unit produksinya cuma rumah tangga. Namun, inilah ikhtiar petani untuk merdeka dari ketergantungan total terhadap sistem industri teh nasional yang menempatkan petani dalamposisi marjinal.

Teh kampung pada dasarnya adalah teh hijau yang dibuat secara mandiri oleh petani dalam skala rumah tangga. Awalnya sebatas untuk dikonsumsi keluarga petani sendiri. Akan tetapi, dalam perjalanannya, beberapa petani memasarkannya kecil-kecilan di pasar lokal untuk menambah penghasilan.

Proses pengolahannya berbeda jauh dengan standar pabrik. Dalam kacamata standar pengolahan pabrik, proses pengolahan petani ini ugal-ugalan, ngawur.

Di pabrik, pengolahan teh hijau melalui empat tahap yang amat mekanik dengan disiplin waktu dan standar prosedur yang baku. Empat tahap itu meliputi pelayuan, pendinginan, penggulungan, dan pengeringan.

Sementara teh kampung, cara pengolahannya sangat berbeda. Ekspedisi Teh Nusantara oleh Kompas menjumpai banyak petani di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mengembangkan teh kampung dengan cara pengolahan unik.

Katno (47), petani pembuat teh kampung di Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, misalnya, memiliki cara pengolahan sendiri yang ia peroleh dari orangtuanya. Pertama-tama, pucuk teh dijemur di bawah sinar matahari selama setengah hari. Setelah kadar air berkurang, pucuk teh kemudian digulung menggunakan tangan sebelum diangin-anginkan beberapa saat.

Selanjutnya, pucuk teh dijemur di bawah sinar matahari lagi selama setengah hari. Proses terakhir adalah sangrai di atas kuali tanah liat dengan bahan bakar kayu bakar hingga pucuk teh kering, tetapi tidak sampai gosong.

Lain di Batang, lain pula di tempat lain. Meski demikian, ada satu hal yang seragam dalam cara pengolahan teh kampung: proses akhirnya selalu berupa sangrai pucuk teh di atas kuali tanah liat menggunakan bahan bakar kayu bakar. Oleh sebab itu, semua teh kampung beraroma sangit.

Teh produksi pabrik yang beraroma sangit, dalam industri teh, disebut smoky. Teh dengan kategori ini tergolong produk cacat sehingga tidak akan laku di pasar lelang. Apalagi teh kampung yang prosesnya ugal-ugalan dan hasilnya jelas sangit. Toh, teh kampung punya basis pasarnya sendiri.

Sampai 1980-an, masyarakat di desa-desa Kabupaten Batang mengenal teh kampung dengan sebutan ”teh emprit”. ”Daunnya kecil-kecil. ”Jadi, masyarakat menyebutnya teh emprit,” kata Taryanto (69), warga Desa Mojotengah, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang.

Di Kabupaten Pekalongan, masyarakat menyebut teh kampung sebagai teh Jawa. Sampai saat ini, peredarannya masih bisa ditemukan di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Pekalongan bagian selatan.

Teh Jawa selalu dibungkus dalam tas plastik merah. Entah bagaimana cerita awalnya, tetapi ini menjadi semacam konsensus di antara para petani. Harganya dibanderol Rp 1.500 per plastik.

Mulai bergairah

Wiweko, Ketua Asosiasi Teh Batang, mengatakan, petani kembali bergairah memproduksi teh kampung. Mereka melihat bahwa teh kampung memberikan nilai tambah kepada petani ketimbang sekadar menjual semua pucuk teh basahnya ke pabrik.

Peluangnya untuk menembus pasar, menurut Wiweko, terbuka. Target pasarnya antara lain adalah kafe atau kedai di kota-kota besar serta toko oleh-oleh di tempat-tempat pariwisata. Ini terbukti dengan meningkatnya permintaan teh kampung dari Batang.

Setengah tahun terakhir, Wiweko telah memasarkan teh kampung ke sebuah kafe di Jakarta. Permintaan awal 10 kilogram per bulan, sekarang naik menjadi 50 kg per bulan. ”Aroma sangit yang khas ternyata juga diminati oleh sebagian konsumen. Jadi, teh kampung ini peluangnya besar,” katanya.

Mayoritas petani menjual teh kampung seadanya, biasanya dalam kemasan plastik tanpa merek. Produksinya pun hanya berdasarkan pesanan kenalan atau pedagang partai kecil di pasar setempat.

Guna meningkatkan nilai tambah, sejumlah petani membentuk kelompok tani atau koperasi dan mulai menerapkan mekanisasi pengolahan meskipun tingkatnya masih sangat sederhana dan masih melibatkan cara-cara manual. Mereka juga sudah menggunakan kemasan bagus bermerek dan melakukan pemasaran.

Salah satunya adalah Koperasi Serba Usaha Paninggaran Berdikari Makmur di Desa Paninggaran, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan.

Fathul Mujib selaku ketua koperasi menyatakan, omzet teh kampung dua kali lipat lebih besar dari omzet penjualan teh basah ke pabrik. Padahal, teh kampung baru mengolah 5 persen dari total pucuk basah milik petani. Sementara 95 persen pucuk basah milik petani masih dijual ke pabrik.

Omzet koperasi dari pucuk basah yang dijual ke pabrik rata-rata adalah Rp 27,5 juta per bulan. Sementara omzet dari teh kampung rata-rata Rp 60 juta per bulan.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 11-07-2019

Pemetik teh menyetorkan daun teh ke pengurus koperasi Desa Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Koperasi ini memproduksi teh hijau yang dijual ke sejumlah daerah.

Kolaborasi

Di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, petani juga memproduksi teh kampung dan memasarkannya dalam bentuk kemasan yang bagus. Bahkan, varian yang ditawarkan sudah beragam. Terdapat misalnya teh hijau murni, teh hijau dicampur daun kelor, teh hijau dicampur kayu manis, dan teh wangi melati.

”Pengolahan mandiri ini bisa memberikan omzet minimal delapan kali lipat ketimbang hanya dijual basah ke pabrik,” kata Manajer Pusat Pengolahan Teh Menoreh Sukohadi.

Petani teh di Kulon Progo juga mengolaborasikan produksi teh kampung dengan agrowisata perkebunan teh. Sedikitnya dua kawasan kebun teh terus ditata dan dikembangkan, yakni Kebun Teh Nglinggo di Desa Pagerharjo dan Kebun Teh Tritis di Desa Ngargosari. Keduanya di Kecamatan Samigaluh.

Kegiatan agrowisata yang telah berjalan sekitar lima tahun ini terbukti membantu pemasaran teh kampung. Teh kampung menjadi oleh-oleh utama agrowisata perkebunan teh di Kulon Progo.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulon Progo Aris Nugraha menyatakan, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Produk Lokal. Teh kampung termasuk dalam daftar produk lokal yang dimaksud.

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut antara lain berupa fasilitasi perizinan, pembinaan dan peningkatan pertumbuhan usaha, fasilitasi pemasaran, serta fasilitasi sarana dan prasarana kerja. ”Kami memfasilitasi petani untuk mendapatkan alat pengolahan teh,” kata Aris.

 

Koordinator Omah Tani Batang Handoko Wibowo mengatakan, teh kampung merupakan simbol perlawanan petani terhadap monopoli perusahaan-perusahaan besar. Meski saat ini gerakan itu terpisah-pisah dan baru bersifat mikro, potensinya untuk menular, berjejaring, dan meluas makin besar.

”Yang penting, pemerintah menangkap gerakan ini. Pemerintah sebaiknya memfasilitasi tumbuhnya unit-unit kecil yang berdaya dan memiliki akses langsung ke pasar-pasar potensial. Kuncinya ke pembangunan kapasitas petani,” ujar Handoko.

Kalau ukurannya komoditas, teh kampung adalah anarki. Namun, teh kampung, teh emprit, teh Jawa, atau apa pun nama teh hasil olahan petani lainnya lebih dari sekadar komoditas. Teh kampung adalah perjuangan nilai-nilai kemandirian petani.

Laksana Agung Saputra/Kristi Dwi Utami/Rini Kustiasih/Haris Firdaus

Artikel Lainnya