Jawa Tengah dan Yogyakarta

Perempuan dalam Secangkir Teh

·sekitar 6 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Perempuan pekerja mengepak teh di pabrik teh di kawasan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Juli lalu. Di balik secangkir teh yang kita nikmati, terdapat kerja keras para perempuan pekerja.

Setiap cangkir teh membawa segenggam kisah. Tentang perempuan-perempuan yang bangun sebelum matahari terbit. Tentang mereka yang menghabiskan hari- harinya dalam debu teh curah. Tentang kenyataan, air mata, dan pengorbanan.

Dini hari sebelum matahari awal Juli terbit, perempuan-perempuan buruh petik teh di lereng barat Gunung Slamet, Jawa Tengah, sudah melangkah keluar rumah. Lengkap dengan baju tebal, mereka berjalan menenteng bakul bambu kosong tempat menampung pucuk teh.

Sebelum orang-orang di kota beranjak dari mimpi dan hangat peraduan, perempuan-perempuan itu sudah menyelinap menembus dingin. Sesaat kemudian, mereka tenggelam dalam hamparan Kebun Teh Kaligua, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Memilih dan memilah yang terbaik. Pucuk demi pucuk. Lalu sedikit demi sedikit semuanya dihimpun ke dalam bakul bambu yang terikat di pundak. Setelah memenuhi bakul, pucuk-pucuk teh dikumpulkan untuk kemudian dibawa ke penimbangan.

Di Perkebunan Kaligua terdapat 167 buruh petik teh. Semuanya perempuan. Usia mereka rata-rata sudah di atas 40 tahun.

Mandor petik Kebun Kaligua, Carum (51), mengatakan, peran perempuan buruh petik sangat vital dalam menghasilkan pucuk berkualitas. Melalui tangan-tangan terampil dan kuat, pucuk-pucuk teh terbaik diperoleh. Dalam dunia teh, istilahnya adalah petik halus, yakni tiga pucuk teratas.

Sementara metode petik yang menggunakan gunting atau mesin yang mengejar volume tidak akan menghasilkan petik halus, tetapi petik medium. Petik medium berarti hasil pucuk teh yang terbabat tidak hanya tiga pucuk teratas, tetapi juga beberapa pucuk di bawahnya, termasuk batang teh.

Bergelut di pabrik

Tak hanya di hulu, peran perempuan dalam industri teh juga vital sampai ke hilir. Di pabrik-pabrik teh wangi di Kabupaten Tegal, misalnya, mayoritas buruh adalah perempuan.

Di bagian pengepakan salah satu pabrik teh wangi bahkan 100 persen buruhnya perempuan. Mereka bekerja berkelompok dengan sistem borongan. Artinya, upahnya bergantung jumlah pengepakan yang dihasilkan. Rata-rata, satu kelompok menghasilkan 17 pak.

Selepas subuh, perempuan-perempuan itu sudah tiba di pabrik sekalipun jam kerja mulai pukul 05.30. Sore harinya, mereka pulang ke rumah. Beberapa orang yang ambil lembur, pulang malam.

Mereka bekerja di ruangan yang kira-kira luasnya dua kali lapangan bulu tangkis. Setiap kelompok biasanya terdiri atas enam orang, duduk lesehan atau dengan bangku kecil mengelilingi timbunan teh wangi curah.

Ada yang mengepaki teh curah ke dalam kemasan. Ada pula buruh yang memasukkan kemasan yang telah terisi ke dalam plastik. Semuanya bekerja dengan cara manual.

Aktivitas pengemasan itu menyebabkan debu atau partikel teh curah beterbangan dan memenuhi ruangan.

Bella (24), warga Desa Balamoa, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, adalah salah seorang perempuan buruh di bagian pengepakan itu. Ia baru kerja tiga tahun.

Selepas SMA, Bella ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, kondisi finansial keluarga memaksanya mengubur dalam-dalam cita-cita itu. Ayahnya meninggal pada 2016, sedangkan ibunya sakit-sakitan sehingga tidak mampu lagi bekerja.

Padahal, Bella memiliki dua adik yang masih sekolah, masing-masing berusia 11 tahun dan 6 tahun. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengambil tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga sekaligus biaya sekolah kedua adiknya sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.

”Sejak ayah meninggal, saya harus jadi tulang punggung keluarga. Ini tanggung jawab saya sebagai anak tertua di keluarga,” katanya.

Setiap bulan, Bella mendapat gaji sekitar Rp 1,7 juta. Uang tersebut sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta biaya sekolah adik-adiknya. Oleh karena itu, Bella harus mencari pekerjaan tambahan.

”Kalau malam, saya mengajar siswa SD di sekitar rumah. Lumayan, uangnya bisa untuk tambahan biaya sekolah adik-adik saya,” katanya.

Siti (51), buruh lain di bagian pengepakan, sudah lebih lama bekerja di pabrik teh wangi. Ia juga bekerja di bagian pengepakan. Selama bertahun-tahun, warga Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, itu bekerja untuk tambahan penghasilan suami.

Namun, dalam lima tahun terakhir, Siti juga terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Sejak 2014, suaminya tidak bekerja karena stroke.

Untuk memperoleh tambahan upah, Siti selalu mengambil waktu lembur. Ia juga menerima jasa jahit pakaian. Sepulang kerja dari pabrik, sore atau malam hari, ia menjahit pesanan pelanggan.

”Anak saya dua-duanya bisa bersekolah hingga lulus sekolah menengah atas karena uang dari teh. Saya dan suami punya cita-cita supaya anak-anak kami bisa mengenyam pendidikan yang tinggi agar mereka bisa hidup lebih baik dari kami,” tutur Siti.

Saat ini, anak pertama Siti, Anisah (28), sudah bekerja sebagai petugas administrasi di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sementara itu, Rahma (23), anak kedua Siti, kini bekerja di sebuah bank swasta di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal.

Esti Utami (33), buruh pabrik teh wangi lain di Kabupaten Tegal, mengatakan, sebagian besar kebutuhan rumah tangga ditopang dari penghasilannya. Sebab, suami yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani tak selalu pulang membawa uang.

”Sebagian besar kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak dipenuhi dari penghasilan saya sebagai buruh di pabrik ini. Jika mengandalkan penghasilan suami saja, tidak akan cukup karena tidak setiap hari suami saya bisa pulang membawa uang,” tutur Esti yang sudah lima tahun menjadi buruh pabrik teh wangi.

Mengacu Peta Jalan Teh 2015-2045 yang disusun Kementerian Pertanian, industri teh nasional pada 2014 menyerap 255.000 tenaga kerja dan menghidupi sekitar 1,3 juta jiwa. Mayoritas tenaga kerja adalah perempuan.

Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, menyatakan, partisipasi perempuan di dunia kerja terus meningkat. Ini bukan semata karena melebarnya akses perempuan ke pasar kerja, melainkan juga karena perempuan harus ikut bekerja untuk membantu menopang perekonomian keluarga.

”Sebagian perempuan memilih bekerja untuk membantu meringankan beban perekonomian keluarga. Sebab, beban kebutuhan keluarga semakin hari semakin tinggi,” kata Rekson.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 10-07-2019

Petani menyirami bibit teh di perkebunan teh Kaligua, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Tak memiliki akses

Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menyatakan, mayoritas perempuan yang bekerja di industri teh dan industri lain tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi. Sumber daya ekonomi tersebut terutama adalah lahan, modal, dan peningkatan keterampilan.

Dengan demikian, hidup perempuan buruh dan keluarga bergantung sepenuhnya pada pemodal. Situasi ini menyebabkan posisi perempuan buruh menjadi lemah.

Perempuan, menurut Palupi, juga memiliki beban ganda. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan pertama-tama harus mengurus rumah tangga. Kedua, perempuan acap kali harus bekerja guna mendapatkan tambahan penghasilan untuk keluarga.

Bahkan, tak jarang, perempuan menjadi tulang punggung keluarga karena tak lagi memiliki suami dengan berbagai alasan. Terkadang, kalau masih memiliki pasangan, suaminya dalam kondisi sakit panjang.

Untuk itu, Palupi menekankan, pemerintah berkewajiban mengangkat harkat perempuan. Caranya adalah dengan menghapuskan diskriminasi jender serta memberikan akses perempuan ke permodalan, lahan, modal, dan peningkatan keterampilan.

”Pemerintah harus mengarusutamakan kesetaraan dan keadilan jender dalam setiap kebijakan, program, dan proyek pemerintah. Untuk itu, harus ada kebijakan afirmatif kepada para perempuan,” kata Palupi.

Sementara itu, di sejumlah kedai teh di Karanganyar, Jawa Tengah, para tamu duduk menikmati senja nan indah. Sambil menyeruput teh yang harganya berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per teko, mereka bercerita tentang liburan indah dan rencana-rencana gemilang mendatang.

Adapun bagi Bella, Siti, Esti, dan puluhan ribu perempuan buruh dalam industri teh nasional, senja itu adalah juga seperti senja yang kemarin dan kemarinnya lagi. Tak ada yang baru. Semuanya masih tentang kisah lama; tentang kenyataan, air mata, dan pengorbanan.

(LAS/XTI/REK/DKA)

Artikel Lainnya