Masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah, amat dekat dengan tradisi minum teh. Kebiasaan itu sudah berakar sejak masa kolonial Belanda. Keberadaan perkebunan teh dan berkembangnya industri teh turut menopang budaya minum teh.
Antonius Purwanto
Dibanding daerah lain di Nusantara, kebiasaan minum teh di Jawa Tengah (Jateng) memiliki kekhasan tersendiri. Salah satunya adalah kegemaran minum teh dengan tambahan gula atau biasa disebut teh manis. Kebiasaan itu berbeda dengan masyarakat Jawa Barat yang lebih menyukai minuman teh tanpa gula atau biasa disebut teh tawar.
Dalam keseharian, teh manis merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Jawa. Orang-orang tua zaman dulu suka menyeduh teh di pagi hari atau sore hari lengkap dengan gula batu. Teh diseduh dengan air yang mendidih, kemudian ditutup dan ditunggu hingga 3 menit untuk siap diseruput dengan lepek 4 cawan kecil yang biasa digunakan untuk alas gelas. Biasanya teh manis ditemani kue kering atau dengan pisang goreng yang masih hangat.
Kebiasaan menyajikan teh manis juga tampak saat mereka kedatangan tamu. Umumnya mereka akan menyuguhkan minuman manis kepada tamu yang datang berkunjung. Mereka memilih menyuguhkan minuman teh manis ketimbang sekadar minum air putih. Mereka beranggapan bahwa menyuguhi tamu dengan teh manis itu lebih sopan daripada sekedar air putih.
Tuan rumah yang hanya menyuguhkan teh tawar terkesan tidak sopan dan tidak menghargai tamu. Tamu yang menerima minuman teh tawar tersebut bisa berprasangka bahwa tuan rumah sebagai seorang yang “kikir” yang tidak mau memberi gula hanya untuk secangkir teh.
Tidak hanya saat menyambut tamu, minuman teh juga disajikan saat menjalani upacara adat. Salah satunya ritual menyuguhkan makanan saat menggelar pesta pernikahan secara tradisional. Pihak pengundang atau yang punya hajat umumnya menyuguhkan makanan dan minuman sebagai ungkapan terima kasih atas kehadiran dan doa restu yang diberikan pada kedua mempelai.
Urutan suguhan makanan dan minuman dalam tradisi Jawa disebut dengan model Usdek yang terdiri dari berbagai suguhan. Unjukan (minuman) merupakan hidangan pertama yang disajikan kepada tamu undangan. Biasanya unjukan berupa teh manis yang didampingi berbagai hidangan pelengkap seperti jenang, jadah dan pisang.
Kesukaan minum teh manis bagi orang Jawa Tengah tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh pabrik gula yang sebagian besar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada menjelaskan perbedaan kebiasaan dalam mengkonsumsi teh antardaerah di Jawa itu tidak terlepas dari sejarah masa lalu.
Semua perbedaan itu bermula pada tahun 1830 ketika Jawa memasuki era tanam paksa. Saat itu, Gubernur Jenderal Van der Bosch memberlakukan tanam paksa karena Belanda sedang menghadapi masalah keuangan akibat Perang Diponegoro. Berdasarkan kualitas tanah, tanah di Jawa Barat ditanami teh dan kopi sementara di Jawa Tengah hingga Jawa Timur digunakan sebagai lahan penghasil gula alias ditanami tebu.
Teh yang berkualitas baik kemudian diekspor ke luar negeri sementara gagangnya disisakan untuk warga pribumi. Gagang teh dan air panas sudah jadi minuman teh. Karenanya teh di Jawa Barat terasa tawar. Sementara di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pabrik gula banyak didirikan sehingga masyarakat di Jateng dan Jatim lebih mengenal gula daripada masyarakat Jabar.
Kondisi itu kemudian mempengaruhi kebiasaan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang lebih menggemari seduhan teh yang ditambah dengan gula. Sementara penduduk di Jawa Barat lebih menyukai minum teh tanpa gula atau teh tawar.
Tradisi minum teh
Di sejumlah daerah di Jawa Tengah, kebiasaan minum teh menjadi tradisi yang khas. Di Tegal dan sekitarnya, ada tradisi minum teh atau ngeteh yang dilakukan secara turun menurun yang bernama teh poci atau biasa disebut Moci. Teh unik yang disajikan dalam teko kecil dari tanah liat (poci) ini populer di Tegal, Slawi, Brebes, Pemalang, dan Cirebon.
Teh poci biasanya menggunakan teh hitam beraroma melati yang disajikan dalam sebuah poci. Teh poci memiliki aroma harum yang khas dan konsistensi pekat, disajikan bersama gula batu yang biasanya dibiarkan larut begitu saja tanpa diaduk.
Hampir di semua warung lesehan, warteg, cafe, warung makan sate kambing, hingga di hotel pun menyediakan teh poci gula batu. Teh Poci menjadi magnet tersendiri bagi para penghobi kuliner.
Beberapa label teh lokal berkembang di Jateng seiring dengan perkembangan tradisi Moci antara lain teh poci dengan label Teh Gopek, Teh Nyapu, Teh Ghardu dan Teh Sintren. Tiap label teh memiliki ciri khas dan citarasa dan karakter yang berbeda-beda, mulai dari rasa hingga warna teh itu sendiri.
Bagi masyarakat Tegal dan sekitarnya, tradisi Moci lebih dari sekadar tradisi minum-minum teh saja. Tradisi Moci bisa menjadi media silaturahmi, bertukar pikiran, dan berdiskusi. Tradisi Moci menembus sekat-sekat antar golongan dan mampu memutar perekonomian rakyat
Wilayah lain yang kental dengan tradisi minum teh adalah Solo, Surakarta yang terkenal dengan tradisi minum teh oplosan. Tradisi ini sudah lama ada di Solo. Bahkan sekarang nge-blend, istilah oplos teh di Solo ini seperti menjadi tantangan masyarakat Solo untuk mendapatkan aroma dan rasa khas teh.
Teh oplos umumnya menggunakan tiga macam teh berbeda, tapi tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan banyak jenis teh.Tujuan mencampur teh tiga jenis merek berbeda ini adalah untuk mendapatkan racikan teh yang pas dari segi aroma, warna seduhan, hingga kepekatan rasa.
Tradisi mencampur teh tersebut memiliki kesamaan dengan tradisi warga Eropa yang mencampurkan berbagai jenis teh dalam satu kali seduhan. Penduduk Solo dipengaruhi oleh pandangan hidup yang berakar pada dua budaya yaitu Eropa dan Jawa.
Kebun teh
Kentalnya kebiasaan minum teh tersebut tidak terlepas dari keberadaan perkebunan teh. Areal perkebunan teh di Jawa Tengah tersebar mulai dari Karanganyar, Tegal, Batang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang hingga Boyolali.
Luas perkebunan teh di Jateng tercatat terluas kedua secara nasional setelah Jawa Barat. Luas arealnya mencapai kurang lebih 8,37 ribu hektar pada 2018, atau sekitar 8,8 persen dari total luas perkebunan teh nasional yang mencapai 93,6 ribu hektar. Perkebunan teh rakyat masih yang terluas atau sekitar 55 persen dari luas areal perkebunan teh di Jateng. Disusul areal perkebunan swasta dan perkebunan negara.
Perkebunan teh negara di Jateng saat ini dikelola oleh PTPN IX yang mengelola tiga kebun teh dengan luas total 1.250 hektar, yaitu kebun teh Kaligua di Brebes, kebun teh Jolotigo di Pekalongan dan kebun teh Semugih di Pemalang. Masing-masing perkebunan itu didukung dengan pabrik pengolahan teh. Teh yang dihasilkan berupa teh hitam dengan berbagai jenis mutu yang dialokasikan untuk pasar global dan dalam negeri.
Kabupaten Batang terhitung sebagai sentra penghasil teh terbanyak dengan kontribusi produksi mencapai 34,02 persen (3.914 ton) dari total produksi teh di Jawa Tengah. Disusul kemudian Kabupaten Banjarnegara (28,84 persen), Kabupaten Pekalongan (10,46 persen), Kabupaten Wonosobo (10,37 persen) dan Kabupaten Pemalang dengan kontribusi 9,10 persen. Sisanya sebesar 7,21 persen merupakan kontribusi dari kabupaten lainnya.
Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sebagian produksi teh juga diekspor ke luar negeri. Negara tujuan ekspor teh terbesar adalah Mesir, yakni sebesar 805 ton dengan nilai 1,51 juta dollar AS. Disusul Korea Selatan (135,2 ton), Uni Emirat Arab (96 ton), dan Spanyol (76,8 ton).
Sejarah perkebunan
Seperti halnya perkebunan teh di Jawa Barat dan daerah lain, perkebunan teh di Jawa Tengah juga mempunyai sejarah panjang sejak masa kolonial Belanda. Jejak sejarah itu tampak dari perkebunan-perkebunan besar yang masih berdiri dan produksi hingga kini.
Salah satunya adalah perkebunan teh yang saat ini dikelola PTPN IX yaitu kebun teh Kaligua, kebun teh Jolotigo dan kebun teh Semugih. Ketiga perkebunan teh itu didirikan dan dirintis pada masa penjajahan Belanda.
Perkebunan teh Kaligua dirintis pada tahun 1889. Semula perkebunan dikelola oleh warga Belanda bernama Van De Jong dengan nama perusahaan Belanda John Fan & Pletnu yang mewakili NV Culture Onderneming. Sampai masa mendekati kemerdekaan Indonesia, kebun teh ini diambil alih oleh Jepang. Seiring berjalannya waktu, pengelola pun berganti-ganti sampai sekarang dipegang oleh PTPN IX, perusahaan bidang perkebunan di Indonesia.
Perkebunan Jolotigo didirikan pada tahun 1875 oleh Johannes Van Hall dengan tanaman awal berupa teh, kopi, karet, dan kina. Selanjutnya kebun teh ini dikelola oleh Pemerintah Belanda hingga tahun 1942. Pada rentang tahun 1942-1947 perkebunan teh Jolotigo diambil alih oleh Jepang. Tahun 1996 melalui rekontruksturisasi perkebunan negara pengelolaan kebun Blimbing/Jolotigo masuk kelompok PTPN IX.
Demikian juga dengan Kebun teh Semugih yang dibangun pada masa pemeritahan Belanda. Perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa Indonesia membuat kebun teh Semugih mengalami beberapa pergantian nama dan pengelolaan. Setelah Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaan, pihak pemerintah kemudian mengambil alih menjadi perusahaan nasional pada tahun 1960-an. Tahun 1999 Kebun Semugih/Kaligua dipisahkan lagi dari Kebun Kaligua menjadi Kebun Semugih.
Tidak hanya perkebunan teh yang dikelola Negara melalui PTPN IX, perkebunan teh yang dikelola swasta dulunya juga dirintis pada masa penjajahan Belanda. Salah satunya adalah perkebunan teh Kemuning di Karanganyar, Solo.
Pada tahun 1925 kebun teh Kemuning ini resmi didirikan oleh kakak-beradik van Mander Voort yang merupakan warga negara Belanda. Ketika Belanda hengkang dari Indonesia, Jepang sempat menguasai kebun teh ini selama tiga tahun sejak 1942 sampai 1945.
Setelah Indonesia menggapai kemerdekaan, Kadipaten Mangkunegaraan yang sekarang dikenal sebagai Keraton Surakarta mengambil alih kebun teh. Namun selanjutnya, Kebun Teh Kemuning beberapa kali mengalami pergantian pengelola. Sekarang perkebunan ini dikelola oleh PT Rumpun Sari Kemuning.
Adapun di lereng gunung Sindoro, perkebunan teh yang didirikan zaman penjajahan Belanda adalah perkebunan teh Tambi. Perkebunan teh Tambi mulai dirintis oleh pengusaha Belanda yang bernama D. Vander Ships untuk Unit Perkebunan Tanjungsari dan W.D. Jong untuk Unit Perkebunan Tambi dan Bedakah. Setelah mengalami pasang surut dan berpindah kepemilikan beberapa kali, perkebunan Tambi saat ini dikelola oleh Pemerintah Daerah Wonosobo dan PT NV Eks PPN Sindoro Sumbing.
Perkebunan sekaligus pabrik teh Pagilaran yang berlokasi di Kabupaten Batang juga didirikan oleh seorang berkebangsaan Belanda. Kepemilikannya sempat diambil alih Pemerintah Belanda, dan pabriknya juga pernah terbakar dan berganti kepemilikian di bawah bendera Inggris.
Pada tahun 1964, perkebunan ini diserahkan kepada Universitas Gajah Mada, dan diperuntukkan sebagai sarana penelitian. Sejak itu hingga kini, namanya berganti menjadi PT Pagilaran dan Universitas Gajah Mada menyulap perkebunan teh ini menjadi laboratorium, pabrik, sekaligus wahana agrowisata.
Industri teh
Kendati luas perkebunan teh di Jateng tidak seluas di Jabar, keberadaan industri teh baik skala besar maupun skala kecil cukup berkembang baik. Data Dinas Perindustrian Jawa Tengah tahun 2014 mencatat setidaknya terdapat 32 unit usaha yang bergerak di bidang komoditas teh, baik teh wangi, teh botol, teh rosela dan pabrik pengolahan teh.
Adapun industri teh besar terbanyak di Jateng berada di Kabupaten Tegal. Setidaknya ada enam perusahaan teh yaitu PT Gunung Slamat, PT Gopek Cipta Utama, Cv Duta Java Tea Industry, PT Tunggul Naga, PT Tong Tji Tea Indonesia dan PT Dua Burung. Merek yang dihasilkan pabrik-pabrik teh itu dan kini dikenal luas di masyarakat antara lain Teh 2 Tang, Teh Poci, Teh Tong Tji, dan Teh Gopek. Perusahaan-perusahaan tersebut juga menguasai pangsa pasar teh di dalam negeri.
Bukan hanya menguntungkan pemilik industri teh, industri teh juga membawa berkah dan menopang hidup warga setempat. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri teh di Jateng sebanyak 4.570 orang. (Litbang Kompas)