KOMPAS/RIZA FATHONI

Jawa Barat 1

Eureka Teh Nusantara!

·sekitar 6 menit baca

 

Kondisi teh Nusantara berada di dasar jurang kemerosotan. Para pegiat teh, terutama teh rakyat, mencoba bangkit. Mereka yakin teh Nusantara menyimpan kekuatan besar untuk mengulang kejayaannya.

Mohammad Hilmi Faiq

Itulah beberapa temuan Kompas selama Ekspedisi Teh Nusantara menyusuri Jawa dan Sumatera selama pertengahan Juni sampai awal Agustus 2019. Ekspedisi ini melibatkan sedikitnya 26 orang yang terdiri dari reporter, fotografer, videographer, tenaga grafis, serta penelitian dan pengembangan (litbang).

Di Jawa kami menyusuri Bandung, Garut, Cianjur, Sukabumi, Brebes, Tegal, Batang, Pekalongan, Jogjakarta, Karanganyar, Semarang, Surabaya, Malang, Blitar, Lumajang, dan Banyuwangi. Adapun saat di Sumatera kami ke Medan, Simalungun, Pematang Siantar, Solok, Solok Selatan, Pagar Alam, Kabawetan (Kapahiang), dan Bengkulu. Total jarak darat yang kami tempuh dengan mobil tak kurang dari 6.384,6 kilometer.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Permukiman pemetik teh di Empalasmen V Cipuspa, Desa Sukaresmi, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019).

Jawa Barat menjadi titik berangkat karena memiliki nilai kuat dari sisi luasan maupun sejarah. Di sini terdapat PT Perkebunan Nusantara VIII yang mewarisi sebagian besar kebun teh belanda. Mereka mengelola kebun seluas 19.342 hektar lahan produktif yang terbagi dalam 23 perkebunan.

PTPN VIII mempunyai 26 pabrik untuk mengolah teh hasil kebun tadi. Produk yang dihasilkan antara lain teh hitam ortodox dan CTC, teh hijau, dan teh putih. Teh-teh tersebut sudah diekspor ke seluruh dunia terutama ke eh ke seluruh Malaysia, Belanda, Jepang, Amerika, Inggris, Polandia, Uni Emirat Arab, Rusia, Jerman, dan Pakistan. Sayangnya masih dalam bentuk curah. Biasanya teh Indonesia dikonsumsi setelah dicampur dengan teh dari negara lain, sehingga tak dikenal.

Banyak pabrik teh milik PTPN VIII kondisinya kusam dan mesinya terlalu tua. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan pabrik milik swasta. Hanya beberapa mesin yang baru seperti di Rancabali, Kabupaten Bandung.

 

Kompas/Rian Septiandi

Pucuk teh siap panen, pemberi harapan baru bagi kejayaan teh Nusantara.

Problem serupa dialami pabrik-pabrik milik PTPN lain seperti PTPN IV, PTPN VI, dan PTPN VII di Sumatera. Masing-masing memiliki strategi sendiri dalam menjaga operasionalisasi. Ada yang menghentikan operasionalisasi pabrik seperti di kebun teh Parakan Salak (Sukabumi) dan Sidamanik (Simalungun, Sumut). Selain karena sudah tua juga lantaran pasokan daun pucuk segar teh dari kebun tak mencukupi lagi.

Kondisi perkebunannya pun tak jauh beda. Banyak kebun yang tidak dirawat dengan baik sehingga hasilnya tidak maksimal, hanya sekitar 2,5 ton per hektar sekali panen. Standard Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, idealnya satu hektar teh bisa menghasilkan daun segar 4-5 ton per hektar sekali panen. PTPN-PTPN ini tengah melakukan perbaikan kebun.

Tek rakyat

Para petani teh yang memilik lahan kurang dari setengah hektar, terbelit masalah lebih kompleks. Mulai soal pupuk, jalur distribusi teh, sampai harga yang tak kunjung membaik. Harga pucuk segar, sebutan untuk daun teh yang baru dipetik, hanya antara Rp 2.300 sampai Rp 2.500 per kilogram. Itu tidak sebanding dengan biaya bibit, perawatan, dan petik. “Kalau dihitung-hitung biaya operasional per kilogram bisa sampai 2.700 per kilogram, kata Heri Juhari (47), petani teh rakyat di Kampung Cijeruk, Sukamekar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Petani sulit menentukan harga karena harus menjual ke pengepul lalu disetor ke pabrik rakyat. Ketika teh sudah diolah menjadi daun siap seduh dalam bentuk curah, pemilik pabrik menjualnya ke perantara (broker), sebelum dijual lagi ke pabrik besar swasta. Jika pemilik pabrik rakyat ini menjual langsung ke pabrik besar, para broker mengancam menghentikan pasokan ke pabrik besar.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Gambaran kebun teh rakyat di Kampung Cijeruk, Sukamekar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Pabrik besar lantas menghentikan pasokan dari pabrik rakyat daripada kekurangan teh curah dari para broker. Sebab, pasokan dari pabrik rakyat tak stabil. Dengan kata lain, para broker lebih bisa menjamin pasokan ke pabrik besar. “Akhirnya teh kami dibeli broker dengan harga murah,” keluh Sobar (43) pemilik pabrik di Kabupaten Sukabumi.

Masalah lainnya, teh Nusantara harus bersaing dengan teh impor. Dalam lima tahun terakhir impor teh Indonesia naik 32,6 persen. Impor itu antara lain dari Vietnam, Sri Lan Langka, Dan kenya. Berdasarkan data Dewan Teh Indonesia (DTI), impor teh Indonesia menembus 40.000 ton pada tahun lalu, yang 90 persen di antaranya adalah teh berkualitas rendah.

“Itu teh dari Vietnam, dari Thailand, dan dari berbagai tempat, masuk kemari ya karena memang tidak laku dijual ke Amerika dan Eropa. Kalau ke Amerika karena mereka tidak bersih dari pestisida,” kata Ketua International Tea Smallholders (Federasi Petani Teh Internasional/CITS) Rachman Badruddin

Itu diperparah oleh Pajak impor teh Indonesia yang sangat rendah, hanya 20 persen. Padahal, Turki menerapkan tarif bea masuk teh 145 persen, Vietnam hingga 50 persen, India 114 persen, dan China 100 persen. Jika bea masuk dinaikkan, dapat membentengi harga teh lokal sekaligus menekan impor.

 

Geliat

Di tengah beragam permasalahan teh di tingkat hulu sampai hilir tersebut, tidak lantas membuat petani dan pegiat teh tunduk. Mereka secara sporadis bergerak lewat beragam lini untuk membangkitkan kembali kejayaan teh.

Seperti ditulis di banyak literatur, misalnya pada buku A History of Tea karya Laura C Martin, teh Nusantara sudah tenar sejak lama. Paling tidak pada 1935, orang Eropa sudah mengenal java tea (teh dari tanah Jawa). Sejarah ketenaran teh Nusantara di dunia menjadi salah satu pelecut petani dan pegiat teh Indonesia untuk bangkit. Pada tingkat petani, mereka mulai berkonsolidasi dan membangun jaringan secara mandiri untuk mengurangi tekanan tengkulak atau broker.

Ini misalnya dilakukan para petani di Pasir Canar, Kabupaten Cianjur. Mereka mulai belajar cara petik yang benar, yakni menggunakan tangan, bukan mesin, untuk mendapatkan pucuk segar berkualitas. Ferri Kurnia (41) melatih mereka merawat tanaman teh dan bersedia membeli pucuk segar dengan harga hampir tiga kali lipat dari harga para tengkulak. Teh ini lalu diolah dengan standar khusus yang menghasilkan teh premium dengan harga sampai 350.000 per kilogram untuk diekspor melalui jejaring yang dia bina.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Geliat teh tergambar dalam kelas-kelas penyeduhan teh seperti saat acara Foundation of Tea From Leaf to Cup di ABCD School of Coffee, Jakarta, Kamis (1/8/2019).

Di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, beberapa pemuda menginisiasi penanaman teh organik. Mereka juga menerapkan cara petik pucuk segar dengan tangan mirip dengan yang dilakukan komunitas Ferri. Para petani berhimpun dalam sebuah koperasi untuk mempermudah permodalan dan saluran bantuan dari pemerintah.

Begitu juga di Kecamatan Reban, Batang, Jawa Tengah. Pemuda di sana berhimpun untuk bangkit lewat teh kampung.

Sementara itu, PTPN VII melakukan KSO dengan dengan PT KBP Chakra untuk menghasilkan teh premium kualitas ekspor. Adapun PTPN VIII berinovasi pada level lebih hilir lewat teh Warga Bandung (TWB), teh premium artisan yang dijual di kafe-kafe dengan konsep mixology dan tea blend. “Ini untuk mengkampanyekan budaya minum teh di Indonesia,” kata Laeli Fadli Arif, Ketua Tim Proyek TWB.

Kompas/Rian Septiandi

Perkebunan teh milik Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Bandung, Jawa Barat.

Mixology dan tea blend ini tengah digandrungi orang kota. Setidaknya mulai bermaunculan kafe-kafe dengan konsep itu di Jakarta, Bandung, bahkan sampai Pekalongan. Pegiat teh Iriana Ekasari, misalnya, mendirikan Sila Tea House di Bogor dan Bandung untuk mempromosikan teh Nusantara.

Kelas-kelas menyeduh teh pun ramai diburu orang seperti yang digelar pejuang teh Ratna Somantri. Selain gencar mengkampanyekan teh Nusantara di berbagai forum, ratna membuka kelas yang lulusannya kelak mendapat sertifikat sehingga mempunyai legitimasi untuk membuka kafe. Di kelas ini, peserta yang semula membuka kafe kopi. Mereka melihat kopi mulai mengalami titik jenuh dan teh dianggap mempunyai peluang besar secara ekonomi.

Geliat ini perlu terus ditabuh agar muncul gerakan memuliakan teh. Ketika teh bergairah dan menjadi gaya hidup, yang sejahtera bukan saja orang kota tetapi juga para petani teh di desa.

(LAS/PUR/Litbang Kompas)

Artikel Lainnya