KOMPAS/RIZA FATHONI

Jawa Barat 1

Pantas Saja Bosscha Betah!

·sekitar 5 menit baca

 

 

 

Alarm dari ponsel kami bergantian menyalak. Pagi masih buta ketika kami bergegas bangun melawan kantuk setelah perjalanan menyusuri perkebunan teh. Tak perlu mandi. Di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, yang bersuhu 11 derajat celsius dini hari itu, mandi bisa jadi bunuh diri.

Mohammad Hilmi Faiq

Kami lalu menuju Bukit Nini ditemani seorang petugas keamanan, Ade Hermawan. Bukit ini hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari penginapan yang berdekatan dengan rumah Karel Albert Rudolf Bosscha di tengah kebun teh. Kompleks ini dikelola PTPN VIII sebagai agrowisata.

Namun, karena jalan melewati perkebunan itu gelap, perlu pemandu khusus. Jalanan itu kerap berliku dan menanjak. Saat itu, berkat pemandu, hanya sekitar 30 menit kami sudah sampai di puncak Bukit Nini.
Bentangan terang jingga mulai terlihat di sisi timur. Kami menyiapkan kamera untuk mengabadikan matahari terbit. Namun itu bukan perkara mudah lantaran udara di sini ternyata lebih dingin dibandingkan di penginapan tadi. Memakai jaket, syal, penutup kepala, dan sarung tangan, malah menyulitkan gerak, terutama saat mengoperasikan kamera.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Bungalow tempat pengamatan kawasan perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang juga dikunjungi warga sebagai tempat wisata untuk mengamati panorama matahari terbit, Sabtu

Setelah kamera tertata sesuai keinginan, kami lekat memandang cakrawala jingga. Udara terasa lebih dingin ketika kami diam. Saya lalu mengeluarkan termos berisi teh panas dan beberapa gelas kertas. Teh putih yang hanya setengah liter itu ludes dalam hitungan menit.

Hari makin terang. Perlahan-lahan, sinar matahari menembus kabut yang mengambang di atas perkebunan teh, lalu memunculkan pesona perbukitan Nini. Di atas bukit, terdapat saung yang juga berfungsi sebagai gardu pandang. Kami bergeser ke saung. Dari titik ini setiap pengunjung dapat leluasa menikmati pemandangan perkebunan teh Malabar. Sejauh mata memandang, hamparan hijau seolah tiada bertepi. Lalu di tepi cakrawala sebelah timur, membayang Gunung Guntur membentuk siluet dilatarbelakangi cahaya matahari.

Gerakan kabut-kabut yang menyingkir diusir sinar matahari, mengesankan sebuah tarian. Sementara kabut yang belum pergi meninggalkan jejak tirai-tirai cahaya. Tirai-tirai ini memberi kesan mistis sekaligus ajaib secara visual: seperti jutaan anak panah yang melesat dari ufuk timur ke permukaan bumi.

Di sebelah selatan, Situ Cileunca mulai berkilauan terpapar sinar matahari. Terlihat beberapa sepeda motor melintas di jalan kampung di dekat situ. Situ ini dibangun oleh orang Belanda dengan membendung aliran Sungai Cileunca yang kemudian dijadikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Sementara itu di sebelah tenggara menjulang Gunung Wayang, hulu dari Sungai Citarum. Siluetnya beririsan dengan Gunung Papandayan, Garut, yang mengepulkan asap vulkanik. Kilau kawahnya sesekali terlihat kala awan menyingkir. Pagi itu sisi barat cerah, namun sisi timur agak berawan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Hamparan bentang alam bak karpet hijau beralur di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang juga dikunjungi warga sebagai tempat wisata untuk mengamati panorama matahari terbit, Sabtu (22/6/2019).

Masih di saung Bukit Nini, mata siapa saja dapat dengan mudah menjelajah hamparan perkebunan teh Malabar yang dikelola PTPN VIII ini. Ketika senja pun pemandangan tidak kalah menarik. Ini rupanya yang membuat Karel Albert Rudolf Bosscha rajin berdiam diri di Bukit Nini.

Tempat berdiam
Bosscha yang lebih dikenal sebagai nama Observatorium di Lembang itu adalah administratur perkebunan teh Malabar yang banyak membuat kemajuan. Termasuk berbagai fasilitas yang menunjang kesejahteraan pegawai perkebunan.

Salah satu kegemarannya adalah berdiam diri di Bukit Nini. “Dari sini, dia membawa teropong dan mengamati pemetik teh. Jadi semua ada dalam pengawasan dia,” kata Ade yang mendapat cerita itu dari ayahnya. Ayahnya dulu juga petugas keamanan perkebunan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Hamparan bentang alam bak karpet hijau beralur di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang juga dikunjungi warga sebagai tempat wisata untuk mengamati panorama matahari terbit, Sabtu (22/6/2019).

Daya tarik itulah yang menjadi modal utama PTPN VIII mengembangkan agrowisata yang memakai jenama (brand) Agrowisata N8. Terdapat enam titik agrowisata yang semuanya berada di kawasan perkebunan teh. Keenam titik tersebut yakni Gunung Mas (Puncak, Jawa Barat), Rancabali (Ciwidey, Kabupaten Bandung), Malabar (Pangalengan, Kabupaten Bandung), Ciater (Subang), Sukawana (Lembang, Bandung Barat), dan Tenjo Resmi (Sukabumi).

Untuk Malabar, selain menonjolkan keindahan alam, juga menjual nilai sejarah. Sebab di lokasi ini masih berdiri kokoh rumah tinggal Bosscha dan makamnya. Pelancong biasanya menziarahi sekaligus merasakan sensasi berada di rumah Bosscha. Meskipun rumah ini tidak disewakan untuk penginapan, pelancong dapat mengunjunginya, bahkan menilik kamar Bosscha.

Di dekat rumah Bosscha berdiri tujuh unit rumah kayu. Salah satunya menjadi tempat kami menginap. Juga 11 kamar standar. Penginapan di sini dapat menampung hingga 200 orang. Lokasinya yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung ini paling nyaman dijangkau dengan mobil pribadi karena belum ada fasilitas kendaraan umum.

Meskipun memiliki daya tarik ganda, namun Agrowisata Malabar belum bisa seramai Agrowisata Gunung Mas Puncak. Gunung Mas yang hanya sepelemparan batu dari jalur utama Bogor-Puncak sangat diminati pelancong. Di sini terdapat tujuh jenis penginapan mulai dari rumah bambu, rumah kayu, sampai bungalow. Jika dijumlah, penginapan tersebut dapat menampung hingga 328 orang.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Matahari terbit di kawasan perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang juga dikunjungi warga sebagai tempat wisata untuk mengamati panorama matahari terbit, Sabtu (22/6/2019).

Fasilitas bermain pun lebih beragam. Mulai rumah kelinci, galeri batik, sampai penyewaan ATV untuk keliling kebun teh. Lokasinya yang hanya sekitar 4 km dari taman Safari Indonesia, membuat pengunjungnya nyaman untuk memperlama tinggal di sini, karena bisa mendapatkan hiburan lain.

Agrowisata menjadi cara lain PTPN VIII dalam mencari pemasukan ketika harga teh semakin melemah. Meski demikian, penghasilannya dari agrowisata belum signifikan.

Manajer Unit Usaha Agrowisata PTPN VIII Hikmat Eka Karyadi menjelaskan, dalam sebulan agrowisata setidaknya memperoleh pemasukan Rp 2,5 miliar dari sekitar 50.000 pengunjung. Pemasukan dari agrowisata itu setara dengan 3 persen dari total penghasilan PTPN VIII.

Sayangnya, lokasi-lokasi wisata ini tidak disertai dengan narasi tentang teh sebagai salah satu daya tarik. Taruhlah, selain dapat menikmati pemandangan, pengunjung juga diberi akses ke pabrik untuk melihat proses pengolahan daun segar manjadi bubuk atau daun kering teh.

“Pengurusan perizinan kunjungan ke pabrik-pabrik agar dapat melihat proses pengolahan teh tidaklah mudah. Orang juga malas untuk mengurus perizinan yang tidak mudah itu. Efeknya adalah pengetahuan tentang teh menjadi semakin jauh dari masyarakat,” kata Ridwan Hutagalung, pendiri Komunitas Aleut, kelompok yang peduli wisata sejarah.

Ridwan berharap PTPN VIII memberikan terobosan dengan melibatkan pihak-pihak yang paham sejarah dan pengemasan narasi wisata sejarah.

Memang mengasyikkan sih jika sehabis menikmati udara pagi di Bukit Nini dilanjutkan dengan menemani pemetik teh di tengah kebun, lalu berkunjung ke pabriknya. Apalagi jika didampingi pemandu yang kompeten menjelaskan setiap detil teh. Ini akan menjadi daya tarik luar biasa.
Seluruh daya tarik kebun teh itu menginsyafi saya, pantesan Bosscha betah.

Artikel Lainnya