Banyak orang terjebak pada keinginan yang melangit dan mencakrawala lalu tersiksa untuk mencapainya. Di tengah perkebunan, para pemetik teh menemukan konsep “cukup” dan karenanya mereka dapat menikmati hidup. Dekat dengan mereka seperti menimba kebajikan dari para guru kehidupan.
Mohammad Hilmi Faiq dan Benediktus Krisna Yogatama
Noni (60-an) menatap tajam angka pada timbangan yang dipanggul Neneng (57) dan Atik (55). Jarum pada timbangan itu pelan merangkak dan berhenti pada angka 12. Itulah hasil Noni memetik daun teh dari pukul 06.00 hingga pukul 09.30 hari ini, Kamis (17/6/2919) di Kampung Cijeruk, Sukamekar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Mereka juga ditemani Nina (50) yang turut menjadi buruh pemetik teh.
Dengan hasil 12 kilogram teh, berarti Noni hanya mendapat uang Rp 4.800 karena pemilik kebun hanya membayar Rp 400 untuk setiap kilogramnya. Noni nyaris tak bereaksi melihat hasil panennya itu. Dia hanya menyeka sisa peluh di wajah lalu memberesi karung goni berikut arit yang dia pakai memanen teh.
Neneng pagi itu juga hanya mendapat 17 kilogram, sementara Atik mendapat 30 kilogram. Lumayan banyak. Adapun Nina mendapat upah sekitar Rp 4.000.
Meskipun demikian, upahnya jauh dari memadai jika diukur dari tenaga dan waktu yang mereka korbankan. Tetapi pemilik kebun tidak mungkin membayar lebih besar karena harga teh memang sedang tidak bagus, hanya sekitar Rp 2.000 per kilogram untuk setiap pucuk teh.
Dikurangi biaya angkut dan biaya perawatan kebun, pemilik kebun teh hanya mendapat kelebihan sekitar Rp 400 sampai Rp 800 per kilogram. “Secara hitungan bisnis ini sangat kecil. Tipis sekali,” kata Heri Juhaeri (47) pemilik kebun.
Heri mengatakan, dirinya juga sebenarnya tidak tega memberi pekerjaan kepada buruh tani yang sudah tua. Namun, kenyataannya tidak ada lagi anak muda yang mau menjadi pemetik teh. “Upahnya terlalu kecil. Anak muda lebih memilih menjadi sopir ataupun buruh bangunan yang upahnya masih lebih baik daripada pemetik teh,” ujar Heri.
Kadang Heri tidak tega hanya membayar berdasarkan hitung-hitungan matematis tadi. Kerap kali dia menggenapkan upah para buruh menjadi Rp 10.000 atau lebih. Dia sendiri menghitung bahwa uang Rp 4.800 seperti yang diperoleh Noni pagi itu tentu saja jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Noni sebatang kara. Suami dan anak semata wayangnya sudah berpulang. Dia tinggal di sebuah rumah berdinding anyaman bambu sekitar sekilometer dari kebun teh, tempat dia bekerja. Sehari-hari dia berjalan kaki. Di rumah itu, ada seorang perempuan yang kebetulan membuka warung makan. Dialah yang menjadi teman Noni sehari-hari.
Cukup
Dalam kacamata banyak orang, barang kali penghasilan yang diperoleh Noni, Neneng, dan Atik sangat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin tinggi. Akan tetapi mereka membuktikan bahwa kunci hidup bahagia bukan pada saat harta melimpah. Mereka tidak mengejar harta.
Uang upah yang sangat terbatas itu, para buruh petik teh ini bersiasat mengatasi kebutuhan hidup. Mereka kerap hanya makan nasi putih dicampur garam. “Dahar nasi jeung uyah (makan nasi dengan garam) ya enak juga,” ujar Acip (57), suami Nina (50), sembari tertawa getir. Acip bekerja sebagai buruh potong rumput kebun teh.
Para buruh petik teh ini dipaksa belajar dari kenyataan bahwa mimpi tinggi hanyalah siksa. Maka mimpi-mimpi mereka cukup sederhana. Nina misalnya, hanya ingin punya televisi. “Pengin nonton sinetron. Pengin lihat berita dan lihat Jakarta,” ujar Nina sambil terbahak. Dia sedang menabung dan tak lama lagi bisa beli televisi.
Nina tak pernah iri dengan tetangga yang gonta-ganti sepeda motor atau mempunyai rumah berlantai licin. Dia senang melihat tetangga senang. Sebab, itu berarti ada kemajuan di kampungnya.
Sementara bagi Noni, bisa rutin beribadah dan menyantap nasi, itu kenikmatan luar biasa. Hal yang paling membahagiakan bagi dia adalah saat menerima bayaran lalu bisa masak untuk kemudian mengaji di rumah. Dia menghitung bahwa yang dia dapat dari kebun itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Sesekali jika ada kelebihan, dia tabung.
Konsep “cukup” menjadi kunci para pemetik teh untuk menikmati hidup. Mereka membangun mimpi sederhana sesuai dengan kemampuan. Realistis.
Mungkin karena mereka pandai menerapkan konsep “cukup” itu tadi, kadang penghasilan yang dianggap banyak orang masih jauh dari cukup itu, ternyata berlebih. Salah buktinya, ketika pemilik kebun, Heri, kekurangan uang untuk beli pupuk atau pestisida, para buruh pemetik teh di kebunnya ternyata mampu meminjami sebagian uangnya. “Saya heran. Bagaimana mereka mengatur keuangannya. Inilah barang kali yang disebut berkah,” kata Heri.