Gamelan Sari Oneng Parakan Salak pernah menemani penjualan teh ke Eropa pada akhir abad ke-19. Belanda membawa serta gamelan sebagai alat untuk membangun narasi atau dongeng tentang keluhuran teh.
Kita perlu belajar cara ini, menjual teh yang dibungkus narasi.
Sebelas pria berbaju hitam dan berikat kepala dengan warna serupa duduk di belakang alat musik gamelan Sari Oneng Parakan Salak. Gambang, bonang, slenthem, saron, kendang, dan gong berbunyi menghasilkan harmoni di salah satu ruang di Museum Geusan Ulun pada akhir Juni 2019. Empat sinden menyanyi mengikuti alunan gamelan. Mereka menyanyikan seropongan.
Suara gamelan yang mengalun lembut memberikan efek tenang bagi pemain sekaligus pendengarnya. ”Kalau lama tidak mendengar gamelan, hati sering enggak tenang,” kata Sain (80), pemukul slenthem.
Sain dan teman-temannya rutin berlatih gamelan di Museum Geusan Ulun setiap hari Minggu. Sesekali mereka diajak tampil dalam beberapa acara yang digelar museum ataupun Pemerintah Kabupaten Sumedang. Mereka tidak begitu memedulikan bayaran karena yang utama adalah kesempatan untuk memainkan dan menikmati bebunyian harmonis dari gamelan Sari Oneng.
Ketenangan dan efek relaksasi serupa itulah yang barang kali dirasakan administratur perkebunan Teh Parakan Salak, Adriaan Walfaare Holle dan penggantinya, Gustaf Mundt. Gamelan ini dibuat di Sumedang pada 1825 dan 31 tahun kemudian dipindahkan ke Parakan Salak atas pesanan Holle. Sari Oneng kerap dimainkan untuk menghibur pekerja. Kadang kala, Holle ikut nimbrung dengan memainkan rebab.
Ketika Mundt menggantikan Holle, dia juga penikmat bebunyian gamelan. Lalu terpikir olehnya untuk membawa gamelan berikut pemain dan beberapa penarinya ke Eropa berbarengan dengan promosi teh.
Tahun 1883, Sari Oneng dimainkan di Amsterdam, Belanda. Lalu enam tahun kemudian mengalun di Paris, Perancis. Konon, pada 1893, Sari Oneng juga dimainkan di World Columbia Exposition di Chicago. Penampilan Sari Oneng di beberapa ajang internasional itu, antara lain, dalam rangka mempromosikan teh.
Henry Spilller, dalam bukunya, Gamelan Music of Indonesia (2008), menyebutkan, permainan gamelan tersebut efektif mengundang perhatian orang-orang yang datang. Ajang pameran tersebut amat penting karena melibatkan orang-orang Afrika, Asia, dan koloni-koloni Amerika. Para pemilik perkebunan milik Belanda melihat ajang itu amat penting untuk mempromosikan beragam hasil tanaman dari perkebunan Hindia Timur (East Indies). Promosi teh bersama gamelan turut mengerek nama komoditas ini di mata dunia.
Belajar dari sejarah
Cuplikan sejarah tersebut memberikan pesan kepada kita betapa Belanda waktu itu sudah menyadari bahwa teh tak cukup dijual apa adanya. Perlu narasi atau cerita untuk disampaikan kepada publik Eropa dan Amerika tentang orang, budaya, bahasa, dan musik yang hidup di sekitar kebun teh.
Sudah lama teh Nusantara dijual ke luar negeri secara miskin narasi atau bahkan tanpa narasi. Teh-teh itu dijual kiloan ke luar negeri tanpa merek apalagi cerita. Dengan begitu, mudah dilupakan orang karena tak pernah dikenal. Tidak ada yang tersisa di dalam benak penyeruput teh selain ampasnya.
Merek-merek besar, seperti TWG, menggunakan narasi untuk memberikan sugesti konsumen. Mereka berani menulis slogan The Finest Teas of The World sebagai bentuk narasi besarnya. Begitu juga dengan beberapa merek lain. Padahal, kalau diselidiki, banyak juga yang menggunakan teh Indonesia sebagai bahan baku. Namun, teh Indonesia tidak dikenal. Sebab, itu tadi, tidak ada narasi.
Dalam hal pengangkatan nilai teh, kita bisa bercerita tentang ketulusan para pemetik teh atau nilai-nilai persaudaraan dan toleransi yang tumbuh dari kebun teh. Tentang Gamelan Sari Oneng atau bedak dan gincu pemetik teh.
Ironisnya, kita ini sudah tidak pandai membuat narasi, malah menghancurkan sumber-sumbernya. Simaklah cerita berikut.
Kamis (27/6/2019) petang, Dadang (42) melambatkan laju pikapnya ketika tiba di sebuah lapangan di kompleks Perkebunan Teh Parakan Salak milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, Desa Parakan Salak, Kecamatan Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi. Mereka menurunkan dua gerobak dorong di lapangan yang sebelumnya adalah sebuah gedung yang sudah dirobohkan. ”Lapangan ini sebelumnya adalah Ruang Patemon,” ujar Kepala Bagian Umum Perkebunan Teh Parakan Salak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Heri Suherman.
Ruang Patemon adalah tempat Gamelan Sari Oneng pada era Holle dan Mundt. Pada 2005, Gedung itu dirobohkan dan Sari Oneng dipindahkan ke museum Geusan Ulun. PTPN VIII berencana merenovasinya, sampai kini masih berupa rencana.
Teh kita yang hampir mati tentu berpeluang jaya kembali jika pegiatnya berhasil membangun narasi. Sebab, narasi adalah kunci asah-jenama (branding).
(Mohammad Hilmi Faiq/Benediktus Krisna Yogatama)