KOMPAS/RIZA FATHONI

Jawa Barat 1

Lorong Gelap Industri Teh

·sekitar 7 menit baca

 

Industri teh nusantara berada di dalam lorong kegelapan. Diperlukan sinergi dan kebijakan yang strategis sebagai upaya perbaikan dari hulu hingga hilir untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Jika tidak ada usaha serius, bukan tidak mungkin industri teh Indonesia hanya tinggal sejarah.

Hal demikian pernah dikemukakan oleh Rohayanti, pakar teh dari PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), awal tahun ini. Tren meredupnya industri teh Indonesia tidak dapat dilepaskan dari produksi teh nasional yang kian lesu. Setelah pernah mencapai puncaknya pada 2003, dengan angka produksi mencapai 169.821 ton, produksi teh nasional turun dan mandek di kisaran 150.000 ton sejak tahun 2007.

Bahkan pada 2012, produksi teh nasional hanya mencapai sekitar 143.000 ton. Tahun 2015, produksi teh turun di bawah 140.000, yakni hanya sebesar 132.616 ton saja. Namun, Kementerian Pertanian optimistis bahwa produksi teh Indonesia bisa mencapai di atas 140.000 ton di masa mendatang. Optimisme ini sempat terwujud pada 2017 di mana produksi teh nasional mencapai lebih dari 140.000. Namun, angka ini kembali turun pada 2018 di mana produksi teh Indonesia hanya mencapai 138.285 ton saja.

Hambatan

Melemahnya industri teh nasional disebabkan oleh beberapa permasalahan, mulai dari hulu sampai hilir. Masalah di hulu yang sangat signifikan adalah besarnya konversi lahan perkebunan teh untuk kepentingan lain. Salah satu contoh dari alih fungsi ini adalah proyek kereta cepat Jakarta – Bandung. Proyek infrastruktur yang digarap pada era Pemerintahan Joko Widodo ini mencaplok areal perkebunan teh seluas 1.270 hektar di areal kebun teh Mandalawangi Maswati, Kabupaten Bandung Barat.

Selain itu, konversi lahan perkebunan teh juga terjadi akibat godaan dari komoditas perkebunan lain yang lebih menggiurkan secara ekonomi. Contohnya terjadi pada kebun teh PTPN IV di Bah Birung Ulu, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pada 2004, 1.335 Ha dari sekitar 1.500 Ha kebun teh di Bah Birung Ulu dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Hanya 13 persen sisanya, atau kisaran 187 Ha, yang hingga kini masih dipertahankan sebagai kebun teh. Akibat tren konversi lahan ini, jumlah areal perkebunan teh terus menurun selama kurun waktu 2001-2018, yakni turun 2,30 persen per tahun.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Rumah tinggal warga di perkampungan di tengah perkebunan teh Empalasmen V Cipuspa, Desa Sukaresmi, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019).

Tidak hanya soal lahan perkebunan teh yang semakin tergerus akibat konversi lahan, produktivitas perkebunan teh di Indonesia juga tidak maksimal akibat minimnya peremajaan tanaman. Pada 2013, misalnya, 60 persen areal perkebunan teh merupakan tanaman yang sudah tua bahkan rusak.

Kondisi ini diperparah dengan keadaan di mana sebagian besar perkebunan teh rakyat memiliki populasi tanaman teh yang tidak sesuai dengan standar teknis, yaitu minimum 10.000 pohon teh per hektar. Pada 2013, mayoritas perkebunan rakyat hanya memiliki kepadatan di kisaran angka 6.500 pohon teh per hektar.

Permasalahan di industri teh berikutnya adalah menyangkut pajak. Pada 2014, pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) perkebunan sebesar 10 persen. Kebijakan yang keluar bersama dengan Putusan MA Nomor 70P Tahun 2013, yang membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2007 yang semula membebaskan PPN bagi barang yang bersifat strategis, ini mengenakan pajak terhadap 4 komoditas perkebunan, yaitu kopi, teh, karet, dan kakao.

Dengan adanya pajak pertambahan nilai maka harga penawaran akan naik. Jika harga komoditas negara lain tetap, maka harga komoditas di Indonesia akan cenderung lebih mahal dengan adanya PPN. Dengan harga yang lebih mahal, ekspor komoditas akan menurun. Kondisi serupa terjadi pada komoditas kopi. Akibatnya, harga teh Indonesia semakin tidak kompetitif. Hal ini menunjukkan skema perpajakan tidak mendukung upaya pembangunan industri teh Indonesia.

Selanjutnya, salah satu permasalahan yang masih mengganjal tumbuh kembang industri teh Indonesia justru datang dari masyarakat. Dengan populasi Indonesia yang menyentuh angka ratusan juta, sesungguhnya potensi pasar teh di Indonesia besar.

Akan tetapi, besarnya potensi pasar ini tidak berbanding lurus dengan konsumsi teh masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi teh di Indonesia pada 2010 adalah sebesar 0,69 kilogram per kapita per tahun. Angka ini kemudian turun menjadi 0,18 kg/kap/tahun pada 2015. Untungnya, angka ini membaik di tahun 2018, di mana konsumsi teh di Indonesia bisa menyentuh 0,35 kg/kap/tahun.

Rendahnya minat masyarakat terhadap produk teh ini pun diperparah dengan potensi gerusan dari varian produk minuman siap saji yang lain. Menurut pantauan dari Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) pada 2013, pasar minuman siap saji di Indonesia masih dikuasai oleh kategori produk air mineral dalam bentuk Bulk Water dan Packaged Water, yang menguasai 50 persen dan 30,9 persen pasar.

Ready-to-Drink (RTD) Tea, atau produk teh kemasan siap minum, berada di posisi ke-dua dengan persentase sebesar 6,8 persen. Posisi RTD Tea dibuntuti oleh RTD Juice atau minuman jus kemasan dan RTD Carbonated atau minuman karbonasi kemasan, dengan persentase sebesar 3,7 dan 3 persen.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga berjalan diantara hamparan bentang alam nan hijau di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/6/2019).

Sebuah studi dari Hong (2017), yang meneliti tentang perilaku konsumsi produk minuman siap saji di China, menunjukkan bahwa walaupun secara umum seluruh produk minuman siap saji mengalami kenaikan, gempuran minuman siap saji bukan teh diprediksi menggerus pertumbuhan konsumsi teh. Maka, jika tidak diwaspadai oleh para produsen minuman teh, bukan tidak mungkin pola serupa terjadi pada konsumen Indonesia.

Kendala terkait industri teh juga datang dari pasar internasional, terutama Uni Eropa. Tahun 2014, melalui European Commission (EC) Regulation Nomor 1146/2014 Uni Eropa mengatur bahwa teh yang diimpor ke wilayahnya harus memiliki kandungan antrakuinon (AQ) di bawah angka 0,02 persen.

Syarat kandungan Maximum Residue Level (MRL) ini memberatkan para pelaku industri teh Indonesia karena hampir semua produk teh Indonesia memiliki kadar AQ di atas 0,02 persen. Hanya produk teh dari perkebunan PTPN VIII saja yang dapat memenuhi prasyarat yang diajukan oleh EC tersebut. Dengan diberlakukannya regulasi tersebut, tentu teh Indonesia semakin sulit masuk ke pasar Eropa.

Upaya Pemerintah

Upaya pemerintah dalam menyelamatkan industri teh nasional dikristalkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Walau tidak membahas industri teh secara khusus, namun UU ini mengatur tentang jalannya industri teh mulai dari tahap perencanaan perkebunan hingga industri pengolahan teh yang menghasilkan produk dengan nilai tambah.

Secara khusus, UU ini diturunkan ke dalam pedoman teknis pengembangan tanaman teh yang dibuat akhir tahun 2013. Sadar akan industri teh nasional yang semakin melemah tiap tahunnya, Pemerintah Indonesia melihat bahwa proses yang dilakukan oleh para pekebun, terutama perkebunan rakyat, masih memiliki banyak masalah. Maka, melalui panduan tersebut, Kementerian Pertanian berusaha untuk memberikan pedoman standar teknis yang bisa diikuti oleh para pekebun teh di Indonesia.

Salah satu standar teknis yang dicanangkan oleh pemerintah adalah menetapkan jumlah 10.000 pohon teh di setiap 1 hektar tanah. Untuk dapat memenuhi standar tersebut, Kementerian Pertanian pun membuat program rehabilitasi teh rakyat, di mana para pemilik kebun rakyat diberikan bibit pohon teh, pupuk, obat-obatan, dan agens pengendali hayati. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan upah kerja bagi petani kebun yang mengikuti program ini sebesar Rp 754.000 per hektar (ha).

Terakhir, petani yang menjadi peserta program ini diikutsertakan dalam pelatihan yang diadakan oleh dinas di tingkat provinsi/kabupaten. Pelatihan ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap I selama 3 hari untuk Dinamika Kelompok dan tahap II selama 4 hari untuk penguatan kelembangaan petani, termasuk teknis budidaya, pasca panen, dan pemasaran.

Tidak hanya dari segi produksi, Pemerintah Indonesia juga melakukan upaya untuk menembus pasar ekspor. Melalui Kementerian Perdagangan, pemerintah melakukan negosiasi dengan Uni Eropa perihal kebijakan tentang batas MRL. Sayangnya, misi advokasi dengan tajuk “Indonesia Tea Trade Mission” ini masih dimentahkan oleh keputusan Directorate General for Health and Food Safety (DG SANTE) Uni Eropa.

Alasannya, kebijakan ambang batas antraquinon ini berlaku untuk semua negara, atau bersifat non-discriminatory, dan ditetapkan berdasarkan riset ilmiah oleh European Food Safety Authority. Menurut lembaga ini, AQ merupakan sisa pestisida yang berpotensi untuk membahayakan kesehatan karena bersifat karsinogenik.

Namun demikian, masih perlu usaha keras dan kebijakan strategis dari pemerintah untuk menyelamatkan industri teh nasional ini. Keseriusan pemerintah juga harus ditunjukkan dalam memandang teh sebagai komoditas. Setidaknya, teh harus dapat dilihat sebagai komoditas perkebunan unggulan yang dilengkapi dengan peta jalan dan kerangka kerja pengembangan yang jelas.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pemetik teh memulai aktivitas pemetikan di perkebunan teh Malabar, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/6/2019).

Menurut studi Liming dan Wenling (2015) yang mempelajari daya saing industri teh di Provinsi Fujian, China, untuk mengembangkan industri teh, pemerintah harus memberikan kontribusi langsung pada industri, yakni dengan mengeluarkan kebijakan perpajakan yang tidak memberatkan pengusaha.

Selain itu, menurut Shah (2016), pemerintah juga harus bisa memberikan intervensi lain yang dapat menekan biaya produksi perusahaan, salah satunya dengan insentif untuk pembiayaan kebutuhan energi. Selebihnya, Pemerintah juga harus bisa membuat mekanisme pengawasan kualitas teh agar dapat memenuhi kebutuhan dan kualifikasi pasar dunia.

Berpedoman pada studi-studi di atas ditambah keadaan di mana industri teh Indonesia masih stagnan, tampak bahwa upaya pemerintah masih belum maksimal untuk membangkitkan industri teh tanah air. Adanya pajak dinilai masih memberatkan pelaku dalam mengembangkan industri teh.

Tidak hanya itu, upaya ekstensifikasi dan intensifikasi lahan juga masih belum dapat membendung gerusan konversi lahan. Bahkan, PTPN sebagai BUMN dalam bidang perkebunan teh masih tergiur melakukan alih fungsi lahan untuk komoditas yang dinilai lebih menguntungkan. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)

 

 

Artikel Lainnya