Kompas/Riza Fathoni

Jawa Barat 1

Pasang Surut Teh Indonesia di Kancah Dunia

·sekitar 7 menit baca

Teh Indonesia dikenal luas di mancanegara sejak zaman kolonial Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu, daya saingnya menurun. Hal itu tercermin dari kinerja ekspor teh yang terus menyusut. Padahal, konsumsi teh global terus meningkat. Para pelaku pertehan Indonesia perlu menyelesaikan setumpuk persoalan agar mampu merebut peluang dan teh Indonesia kembali bangkit di pasar internasional.

Komoditas teh di Tanah Air telah dikembangkan sejak 1824 saat pencanangan pertama budidaya teh untuk perkebunan dilaksanakan. Pada awalnya, tanaman teh belum memberikan devisa bagi pemerintah Hindia Belanda. Kendati merugi, pemerintah Hindia Belanda tetap mengusahakan tanaman teh hingga mencapai produksi yang memuaskan. Bahkan, pada 1835 teh dari Jawa ini merupakan teh pertama di luar China yang masuk pasar Eropa. Hingga tahun 1940, ekspor teh mencapai 72.500 ton sehingga komoditas teh menduduki peringkat ke-2 dari komoditas ekspor perkebunan setelah karet.

 

Ekspor Turun

Kini, kinerja ekspor teh Indonesia terus menurun. Dalam kurun 18 tahun terakhir, jumlah ekspor berkurang lebih dari separuh. Dari 105.581 ton pada 2000 menjadi 49.038 ton pada 2018. Rata-rata penurunannya sebesar 3,1 persen per tahun. Keadaan tersebut menyebabkan pangsa volume ekspor teh curah Indonesia di pasar dunia ikut menurun dari 8 persen pada tahun 2000 menjadi tinggal 1,6 persen pada tahun 2018. Adapun pasar ekspor utamanya adalah Malaysia, Rusia, dan Pakistan dengan kontribusi mencapai 41 persen.

Aktivitas pelayuan di pabrik teh milik PTPN VIII di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Desa Mekar Sari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/6/2019).

Meski nilai ekspor teh Indonesia sempat mencapai puncaknya pada tahun 2010 sebesar 178,5 juta dollar Amerika Serikat (AS), kondisi selanjutnya mulai berbalik. Penurunan terjadi mulai 2011 menjadi sebesar 166,7 juta dollar AS. Tahun 2018 jumlahnya hanya 108,45 juta dollar AS. Pangsa ekspor teh hitam Indonesia tahun 2018 sekitar 80 persen sedangkan teh hijau 20 persen.

Beberapa pasar utama teh yang dikuasai Indonesia kemudian diambil alih oleh negara produsen teh lainnya. Pasar-pasar yang telah diambil alih oleh negara produsen teh lainnya adalah Pakistan, Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Suriah, Taiwan, Mesir, Moroko, dan Australia (Suprihatini, 2000).

Di lain pihak, pangsa ekspor negara produsen lain, yaitu Kenya dan Sri Lanka, terus meningkat. Pada periode yang sama pangsa ekspor Kenya meningkat dari 16,4 persen menjadi 21 persen, sementara pangsa ekspor Sri Lanka meningkat dari 18,2 persen menjadi 21 persen. Keadaan ini mencerminkan daya saing teh Indonesia di pasar dunia melemah.

Akibatnya, peringkat Indonesia sebagai negara pengekspor teh turun cukup banyak dari urutan ke-5 di dunia pada 2004 menjadi peringkat ke-12 pada 2018. Adapun lima negara pengekspor terbesar teh adalah China, Kenya, India, Sri Lanka, dan Jerman.

Turunnya ekspor teh Indonesia itu berbanding terbalik dengan permintaan dan produksi teh di pasar global yang terus tumbuh dari tahun ke tahun. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan konsumsi teh dunia selama satu dekade terakhir tumbuh rata-rata 4,5 persen per tahun. Pada 2016, konsumsinya mencapai 5,5 juta ton. Adapun ekspor selama satu dekade terakhir tumbuh rata-rata 1,4 persen per tahun dengan volume 1,75 juta ton di 2016.

 

Impor Naik

Kendati Indonesia kaya akan komoditas teh, namun Indonesia tak lepas dari impor teh. Volume impor teh terhitung fluktuatif dalam lima tahun terakhir. Impor teh biasanya didatangkan dari Vietnam, Kenya, dan India yang kualitas produknya bisa dianggap cukup rendah.

Berdasarkan data BPS, impor teh Indonesia pada 2014 mencapai 14.660 ton. Volume tersebut melonjak menjadi 22.090 ton pada 2016 sebelum turun di kisaran 14.600 hingga 14.900 ton. Sementara itu, berdasarkan data Dewan Teh Indonesia (DTI), sekitar 90 persen dari impor teh tersebut adalah teh berkualitas rendah.

Pabrik teh milik PTPN VIII di Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambung, Desa Mekar Sari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/6/2019).

Importasi teh ke Indonesia itu tidak terlepas dari rendahnya tarif bea masuk untuk impor teh. Saat ini bea masuk teh ke Indonesia hanya 20 persen, jauh lebih rendah dari standar 40 persen yang ditetapkan World Trade Organization (WTO).

Pajak impor teh Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain di tingkat regional. Bandingkan dengan Turki yang menerapkan tarif bea masuk impor terhadap teh yang sangat tinggi, yakni 145 persen sehingga produk teh dari negara lain tidak ada yang sanggup menembus pasar Turki. Dengan demikian, produk teh lokal Turki tetap berjaya sebab tidak punya saingan.

Sementara di negara lain di Asia seperti Vietnam juga menerapkan tarif bea masuk tinggi hingga 50 persen. Vietnam juga menggratiskan bea keluar produk teh mereka sehingga pasar dalam negeri terlindungi dan ekspor mencatat hasil. Adapun India dan China menerapkan tarif bea masuk terhadap teh masing-masing sebesar 114 persen dan 100 persen.

Kendati produk teh Indonesia sejatinya menjadi salah satu yang memiliki kualitas terbaik di dunia, membanjirnya impor teh di pasaran Indonesia juga disebabkan konsumen di Indonesia yang lebih menghendaki produk teh dengan harga yang murah. Hal itu membuat para pengusaha minuman olahan memilih mengimpor teh berkualitas rendah dengan harga yang miring.

Aktivitas produksi di pabrik teh milik PTPN VIII di Cisaruni, Desa Giriawas, Cikajang, Kabupaen Garut, Jawa Barat, Senin (24/6/2019).

Meningkatnya impor teh dipandang oleh sebagian pelaku pertehan Indonesia sebagai ancaman untuk penjualan dan margin keuntungan para produsen lokal. Oleh karena itu, penting untuk mendongkrak produksi teh di Indonesia. Meningkatkan arus importasi teh ketimbang ekspornya menyebabkan kerugian di pihak petani teh.

 

Hambatan

Menurunnya ekspor teh tidak lepas dari setumpuk persoalan yang masih membelit industri teh tanah air hingga kini. Di sisi produksi, penurunan ekspor teh tersebut terjadi karena turunnya kapasitas produksi akibat berkurangnya pasokan. Berkurangnya pasokan terkait dengan penurunan luas lahan perkebunan teh Indonesia.

Laporan tahunan Statistik Teh Indonesia (2018), menunjukkan selama periode 2010-2018, jumlah luas areal perkebunan teh di Indonesia terus menurun karena alih fungsi lahan untuk tanaman lain yang lebih menguntungkan. PTPN IV Perkebunan Marjandi Sumatera Utara, misalnya, telah mengonversi lahan perkebunan teh menjadi perkebunan sawit.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivitas pengepakan teh curah yang yang siap didistribusikan di pabrik teh Malabar milik PTPN VIII di Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/6/2019).

Alih fungsi lahan perkebunan teh telah memicu penurunan di skala Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta dengan rata-rata 1.113 hektar per tahun. Petani Indonesia lebih suka menanam tanaman yang cepat menghasilkan sehingga tanaman teh mulai ditinggalkan. Akibatnya, lahan perkebunan teh di Indonesia menurun signifikan selama 5 tahun terakhir. Sebagian petani lebih memilih menanam produk hortikultura yang lebih menguntungkan ketimbang menanam teh. Di pihak lain, biaya produksi teh dalam negeri juga cukup tinggi.

Minimnya upaya peremajaan tanaman teh yang umumnya sudah tua menjadi hambatan lain meningkatkan produksi teh nasional. Sebagian besar areal kebun teh adalah perkebunan rakyat. Pengelolaannya belum memenuhi standar teknis dan tanaman teh tua serta populasinya yang masih di bawah standar. Kondisi ini kemudian berdampak signifikan pada kualitas teh Indonesia.

Di sisi pasar global, penurunan kinerja ekspor teh Indonesia dipicu oleh berlebihnya pasokan teh dunia sehingga harga anjlok. Stok yang berlebihan itu terutama disumbang oleh adanya peningkatan produksi di China dan Sri Lanka. Tingginya surplus teh dunia membuat persaingan antarnegara produsen semakin ketat dan menekan harga teh hampir di berbagai tempat lelang. Hal itu menjadi pukulan tersendiri bagi industri teh Indonesia.

Dampaknya, harga teh asal Indonesia melemah. Murahnya harga teh di Indonesia dikarenakan banyak teh hitam di Indonesia yang dipasarkan atau diekspor dalam keadaan kemasan tanpa merek. Ekspor teh Indonesia tanpa merek ini kemudian dimanfaatkan oleh negara lain yang mencampurnya dengan teh dari negara tersebut.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivitas produksi di pabrik teh Malabar milik PTPN VIII di Desa Banjarsari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (22/6/2019).

Setelah proses pencampuran teh tersebut selesai kemudian diklaim sebagai teh asli yang berasal dari negara tersebut. Padahal teh Indonesia memiliki cita rasa yang khas dan terbaik dibanding teh dari negara lain. Hal ini tentu menimbulkan kerugian secara tidak langsung terhadap upaya peningkatan kinerja ekspor teh asal Indonesia.

Teh asal Indonesia sulit menembus pasar global karena sejumlah negara tujuan menerapkan bea masuk impor yang cukup tinggi. China sebagai negara penghasil teh terbesar di dunia tarifnya 100 persen, India memproteksi petaninya dengan tarif 114 persen. Selain itu, Turki juga menerapkan tarif bea masuk impor yang sangat tinggi, 145 persen.

Persoalan lain, ekspor teh Indonesia ke Eropa masih terkendala dengan ketatnya persyaratan. Misalnya, dengan pengenaan MRL (batas maksimum residu) tertentu mengenai kandungan anthraquinon yang harus 0,02 persen.

 

Peluang

Menghadapi beragam persoalan itu, lantas bagaimana membangkitkan kembali industri teh Indonesia agar mampu bersaing di pasar global? Indonesia sebenarnya memiliki teh berkualitas baik dan aroma khas yang disukai oleh masyarakat global. Hal tersebut membuat ekspor teh Indonesia masih dapat terus dikembangkan.

Kelompok Kerja tentang Teh FAO dari perwakilan berbagai negara di Hangzhou, China, 17-20 Mei 2018 lalu memproyeksikan, industri teh akan terus tumbuh. Permintaan pasar global akan terus meningkat, seiring dengan naiknya pendapatan masyarakat, tumbuhnya gaya hidup sehat, dan diversifikasi produksi teh yang kian beragam dan menarik.

Sampai dengan tahun 2027, produksi teh hitam diproyeksikan tumbuh rata-rata 2,2 persen per tahun hingga mencapai 4,42 juta ton di tahun 2027. Teh hijau tumbuh rata-rata 7,5 persen per tahun dan akan mencapai 3,65 juta ton pada 2027.

Kenaikan produksi ini, seiring dengan pertumbuhan konsumsi yang untuk teh hitam diproyeksikan tumbuh rata-rata 2,5 persen per tahun hingga mencapai 4,17 juta ton di 2027. Adapun untuk teh hijau, FAO belum membuat proyeksi kuantitatif, meski trennya diperkirakan juga terus tumbuh.

Ekspor teh juga diproyeksikan meningkat. Ekspor teh hijau diperkirakan tumbuh rata-rata 5 persen per tahun hingga mencapai 605.455 ton di 2027. Ekspor teh hitam diproyeksikan juga tumbuh hingga mencapai 1,66 juta ton di 2027.

Data-data di atas menunjukkan bahwa peluang industri teh Indonesia untuk bangkit kembali masih terbuka lebar. Jika ada pembenahan yang serius dari semua pelaku pertehan Indonesia, teh Indonesia berpotensi bergabung dalam keluarga besar komunitas unggulan nasional, bersama dengan sawit, karet, dan kakao.

Dewan Teh Indonesia (DTI) mengusulkan, sejumlah kebijakan pembangunan pertehan Indonesia yang antara lain pemerintah perlu membuat regulasi untuk melindungi produksi dalam negeri dan mengamankan pasar domestik, membuat regulasi mengenai syarat kualitas pucuk teh dan produk teh, membuat regulasi mengenai formula harga pucuk, dan memfasiitasi penguatan kelembagaan petani. (ANTONIUS PURWANTO/LITBANG KOMPAS)

 

Artikel Lainnya