KOMPAS/RIZA FATHONI

Jawa Barat 2

Pasang Surut Teh Priangan

·sekitar 6 menit baca

Sejak masuknya tanaman teh ke Indonesia, Jawa Barat menjadi sentra perkebunan teh hingga saat ini. Meskipun terjadi penyusutan lahan dan penurunan produktivitas, sekitar 77 persen luas perkebunan teh di Indonesia berada di provinsi ini.

 

Provinsi Jawa Barat, khususnya wilayah tengah, dipilih pemerintah Kolonial Belanda sebagai lokasi pengembangan perkebunan teh karena daerahnya yang subur, udaranya sejuk, dan topografinya yang bergunung-gunung di ketinggian 500 meter sampai 1.000 meter lebih di atas permukaan laut (mdpl). Kondisi seperti itu sangat cocok untuk tanaman teh.

Merunut sejarahnya, pada tahun 1827, teh (Camellia Sinensis) pertama kali ditanam di Kebun Percobaan Cisurupan (Garut) dan Wanayasa (Purwakarta), Jawa Barat. Selang delapan tahun kemudian (1835), hasil teh dari Nusantara diangkut ke negeri Belanda sebanyak 200 peti dan untuk pertama kalinya diikutkan pelelangan teh Amsterdam. Teh dari Jawa ini merupakan teh pertama di luar China yang masuk pasar Eropa dan diakui memiliki nilai jual tinggi di pasar internasional. Semenjak itulah, teh Indonesia mulai dikenal bangsa-bangsa di dunia dan mengharumkan nama Nusantara.

KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF) 21-06-2019

Proses pelayuan di pabrik teh di PPTK, Gambung, Jumat (21/6/2019).

Pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memberikan hakErfpacht (Hak Guna Usaha) kepada pengusaha di bidang perkebunan selama 75 tahun membuka kesempatan seluas luasnya bagi para investor untuk mengembangkan perkebunan. Hingga lahirlah para pengusaha atau juragan perkebunan di Priangan yang dikenal dengan Preanger Planters. Di antaranya adalah rumpun keluarga Holle yang mengembangkan perkebunan Parakan Salak dan Sinagar di Sukabumi serta perkebunan Waspada di Garut; rumpun Kerkhoven yang mengembangkan perkebunan Gambung, dan Bosscha di perkebunan Malabar, Bandung Selatan.

Setelah penjajahan Belanda berakhir, Pemerintah Indonesia mewarisi 324 perusahaan perkebunan teh, dan lebih dari 200 perusahaan ada di Jawa Barat. Memasuki awal abad ke-20, industri teh di Jawa Barat berkembang pesat seiring dengan permintaan pasar internasional. Pada tahun 1940, tercatat ekspor teh mencapai 72.500 ton sehingga komoditas ini menduduki peringkat ke-2 dari komoditas ekspor perkebunan setelah karet.

Komoditas Andalan

Sektor pertanian di Jawa Barat, khususnya subsektor perkebunan, memiliki potensi yang besar dan variatif. Komoditas teh sebagai salah satu komoditas andalan memberikan kontribusi yang besar pada produksi perkebunan nasional.

Wajah perkebunan teh nusantara terwakili oleh perkebunan yang ada di Jawa Barat karena luasannya mendominasi dari seluruh perkebunan teh di nusantara. Tahun 2017, sebesar 77 persen luas perkebunan teh di nusantara ada di provinsi seluas 35.377,76 kilometer persegi ini. Teh juga menjadi komoditas andalan Jawa Barat. Luasnya 84.630 hektar menempati urutan kedua dari 10 besar tanaman perkebunan di Jawa Barat. Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan teh dibagi atas Perkebunan Rakyat seluas 45.203 Ha (53,41 persen), Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 20.085 Ha (23,73 persen), dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 19.342 Ha (22,86 persen).

 

Produk andalan agribisnis Jawa Barat ini arealnya tersebar di 12 wilayah. Lima wilayah dengan luasan terbesar adalah Kabupaten Cianjur yang memiliki perkebunan teh seluas 22.994 Ha. Diikuti Kabupaten Bandung (19.024 Ha), Sukabumi (12.571 Ha), Tasikmalaya (10.102 Ha), dan Garut (6.591 Ha).

Sebagai daerah utama produksi teh, hingga 2016, di Jawa Barat terdapat 93 perkebunan teh dari 121 perkebunan teh yang ada di seluruh Indonesia. Perkebunan-perkebunan di ketinggian 800 – 1500 mdpl seperti Rancabolang, Sinumbra, Santosa, dan Sedep tergolong perkebunan teh yang menghasilkan teh ”High Grown”. Sementara perkebunan di ketinggian 1.200 – 1.500 mdpl seperti Cibiru, Gunung Mas, Goalpara, Gedeh, Kertamanah, dan Purbasari tergolong perkebunan yang menghasilkan teh dengan kualitas “good medium” (Khazanah Arsip Perkebunan Teh Priangan).

Produksi teh di tahun 2017 sebesar 100.997 ton menjadi komoditas unggulan nomor tiga setelah kelapa sawit dan kelapa deres. Sedangkan wilayah dengan produksi terbanyak berturut-turut adalah Kabupaten Bandung (32.901 ton), Cianjur (21.502 ton), Tasikmalaya (14.245 ton), Sukabumi (9.296 ton), dan diikuti Garut (7.886 Ton). Luas areal dan tingginya produksi teh di Tanah Priangan ini memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan provinsi berpenduduk 48,04 juta jiwa ini, serta berpengaruh dalam meningkatkan perekonomian rakyat. Apalagi perkebunan teh masih didominasi oleh perkebunan rakyat yang melibatkan 79.560 kepala keluarga (Lucyana Trimo, 2017).

Pekerja melayukan daun teh di pabrik teh milik perorangan Pasir Canar, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Namun demikian, areal perkebunan “emas hijau” di Jawa Barat ini setiap tahunnya mengalami penurunan karena banyaknya tanaman teh yang sudah tua dan tidak produktif. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir terjadi penyusutan luas lahan sebesar 2 persen per tahun. Sementara produksinya berfluktuasi dengan rata-rata produksi 107.146 Ton per tahun.

Secara umum, baik perkebunan rakyat, perkebunan swasta, maupun perkebunan negara mengalami penurunan luas lahan. Selain dikarenakan usia tanaman yang sudah tua karena sebagian besar tanaman teh yang ada merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda, penyusutan juga disebabkan adanya alih fungsi lahan untuk komoditas lainnya.

Permasalahan Perkebunan Rakyat

Masalah penyusutan lahan perkebunan ini sangat dirasakan sekali dampaknya terutama oleh perkebunan rakyat yang luasnya lebih dari separuh total luas perkebunan di Jawa Barat. Keberadaan perkebunan rakyat masih menjadi penopang hidup petani teh. Di mana lebih dari satu juta jiwa masyarakat Jawa Barat perekonomiannya tergantung pada pucuk-pucuk daun teh (Dinas Perkebunan Jawa Barat, 2011).

Alih fungsi lahan dilakukan petani imbas dari tingginya biaya produksi yang menyebabkan rendahnya pendapatan petani, sehingga usaha perkebunan teh mulai dianggap kurang menarik. Meskipun demikian, petani teh tetap mempertahankan budidaya teh ini karena memberikan pendapatan yang tetap meskipun kecil. Rendahnya pendapatan petani juga disebabkan keterbatasan kemampuan petani memberikan nilai tambah pada produk teh.

Alih fungsi lahan dan tidak produktifnya tanaman teh ini berimbas pada permasalahan produktivitas teh rakyat yang masih sangat rendah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, produktivitas teh rakyat belum menyentuh angka 1 ton per hektar, baru berkisar di angka 500 kg/ha sampai 900 kg/ha. Sangat jauh dibandingkan produktivitas teh perkebunan negara dan swasta.

 

Rendahnya produktivitas teh rakyat sangat terkait dengan teknik budidaya yang dilakukan serta penerapan teknologi pada penanganan dan pengolahan hasil panen. Upaya budidaya perkebunan rakyat masih menghadapi kendala dalam hal sumberdaya manusia, penerapan teknologi, dan modal usaha yang terbatas.

Selain produktivitas, teknik budidaya juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil yang diperoleh. Rendahnya kualitas menyebabkan harga yang diterima petani sangat rendah dibandingkan harga yang diterima perkebunan swasta maupun perkebunan negara yang lebih maju dalam teknik budidaya.

Masalah lain yang dihadapi petani teh adalah rendahnya harga. Sulitnya memilih saluran pemasaran membuat petani teh tidak mempunyai posisi tawar dalam penentuan harga. Petani teh rakyat sulit mendapat akses terhadap lembaga-lembaga pemasaran teh rakyat. Hal ini terkait dengan belum kuatnya kelembagaan petani teh rakyat.

Tantangan lain bagi petani teh rakyat adalah tuntutan konsumen baik terhadap kualitas, keamanan produk, kemasan, perkembangan varian, dan lain-lain yang membutuhkan teknologi sebagai penunjang.

Strategi Pengembangan

Mengingat potensi perkebunan di Jawa Barat yang sangat menjanjikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan strategi untuk mengembangkan potensi komoditas perkebunan tersebut. Salah satunya adalah komoditas teh sebagai komoditas unggulan dan penghasil devisa. Peremajaan tanaman teh merupakan upaya yang harus terus dilakukan.

Dukungan dari pemerintah mencakup upaya perbaikan dari hulu (budidaya) sampai ke hiilir (agroindustri). Mulai dari pembenihan sampai panen, harus dikelola dengan mekanisme yang baik. Upaya meningkatkan manajemen kelembagaan, sarana prasarana, dan infrastruktur perkebunan harus terus dilakukan. Paradigma petani atau kelompok tani juga perlu diubah ke arah agroindustri, karena pasar nasional dan internasional terbuka untuk teh olahan. Dengan pendekatan ini bisa makin optimal mulai dari hulu sampai hilir. Peluang perubahan paradigma juga didukung dengan kebijakan Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN) yang dimulai sejak tahun 2014.

Kompas/Riza Fathoni

pucuk-pucuk teh bahan dasar teh putih

Beberapa kebijakan telah dilakukan Dinas Perkebunan Jawa Barat antara lain dengan terus meningkatkan edukasi dalam hal budidaya kepada petani untuk meningkatkan kualitas. Juga memfasilitasi petani teh rakyat dengan mengadakan pembinaan dan pelatihan agar petani lebih melek teknologi. Membuka wawasan petani dan mengubah pola pikir agar tidak hanya menghasilkan petikan daun teh saja tetapi bisa dihasilkan olahan selanjutnya. Petani dibina untuk membuat usaha baru dari produk teh. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Unit Pengolahan Hasil (UPH).

Tidak hanya di hulu, hilirisasi industri teh Jawa Barat juga harus terus dikembangkan. Salah satunya melalui ajang Tea Festival yang diadakan setahun sekali dengan mengajak kabupaten-kabupaten untuk memperkenalkan produk tehnya. Melalui Tea Festival ini diharapkan petani atau kelompok tani tidak hanya menjual produk hulu (pucuk teh) tetapi juga produk hilir (produk turunan) yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.

Di tengah tantangan yang menghadang, besarnya potensi teh Jawa Barat menjadikan Jawa Barat produsen teh yang terus diburu baik oleh pasar domestik maupun internasional. Sebuah peluang besar untuk meranumkan kembali “emas hijau” sebagai sumber kehidupan.(MB. DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)

Artikel Lainnya