Jawa Barat 2

Ferri Kurnia Pendekar Teh Pasir Canar

·sekitar 6 menit baca

Sikap peduli kadang lahir dari kenangan. Itu setidaknya yang dialami Ferri Kurnia (40) yang kemudian berhenti keliling dunia dan pulang untuk mengajak warga mengharumkan daun teh di kampungnya. Kini warga makin tahu cara memuliakan teh sebagai jalan memuliakan hidup.

Mohammad Hilmi Faiq

Sepeda motor tril menyalak saat Ferri memutar gasnya dan melintasi jalan menanjak menuju kebun teh milik Nanang Suharman di Pasir Canar, Kabupaten Cianjur, akhir Juni 2019. Di kebun itu, Yan Yan (46) dan seorang rekannya tengah asyik memetik pucuk daun segar yang akan digunakan sebagai bahan teh specialty, yakni pucuk teh plus tiga daun di bawahnya.

Ferry menghampiri Yan Yan dan menjelaskan cara memetik daun yang benar. Harus menggunakan tangan kosong, tidak boleh memakai pisau atau gunting seperti jamaknya pemetik teh di kebun lain. Sentuhan logam akan mempengaruhi rasa teh. Selain itu, jumlah daun hanya pucuk (pekoe) plus tiga.

Ferri Kurnia

“Pada bagian ini akan tumbuh pucuk baru, makanya harus hati-hati metiknya,” kata Ferri dalam bahasa sunda.

Pemilik Pabrik Pasir Canar ini selama lima tahun terakhir getol berbagi pengetahuan tentang teh kepada petani sekitar pabriknya. Dia ingin petani dan pemetik teh sejahtera. Dia bersedia membeli teh pucuk segar hasil panen petani dengan harga Rp 6.000 per kilogram asal hanya terdiri dari pucuk plus tiga (premium). Harga tersebut menarik petani karena selama ini mereka menjual ke pengepul hanya Rp 2.500 per kilogram.

Kepada petani, ayah tujuh anak ini berulang kali menegaskan hanya membeli pucuk premium. Daun tadi tidak boleh dipetik menggunakan pisau atau gunting. Namun, tidak mudah mengubah kebiasaan petani yang memetik pekoe hingga daun tua atau pekoe plus tujuh bahkan plus sembilan. Semula, Ferri menolak membelinya. Tapi petani tidak kunjung jera, mereka masih mengulang kesalahan yang sama.

Ferri memutar akal dan memutuskan membeli teh petani meskipun tidak sesuai kriteria yang dia inginkan. Setelah dia beli, teh itu dia biarkan mengering di halaman pabrik. Keesokan harinya, petani malu karena hasil petikannya ditelantarkan. Rupanya cara ini efektif menyentuh ego petani dan akhirnya mereka nurut, hanya memetik pucuk premium.

Daun teh inilah yang dia kelolah Ferri menjadi teh khas (specialty tea) dengan harga sampai Rp 350.000 per kilogram. Seorang tengkulak berdarah Rusia selalu membeli sampai 1,7 ton per bulan karena kualitas teh kering dari pabrik Ferri berkualitas bagus.

 

Mensejahterahkan petani

Ferri lahir dan besar di lingkungan teh. Kakeknya adalah seorang pengusaha teh yang mendapat perkebunan teh setelah membelinya dari Jepang ketika Belanda hendak memasuki Cianjur. Usaha itu lalu diwariskan kepada ayahnya.

Dalam sehri-hari, Ferri minum teh. Begitu juga ketika main ke rumah tetangga atau teman di kampung, selalu tersedia teh.

Ferri Kurnia menuangkan daun teh ke mesin pencacah di pabriknya di Pasir Canar, Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Beranjak dewasa, ia lalu sekolah di Bandung, kemudian kuliah di Jakarta. Setelah itu bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah hotel di Jakarta sebelaum akhirnya keliling dunia bersama kapal pesiar tempat dia bekerja. Ketika berada di Alaska, dia mendapat kabarnya ibunya sakit keras. Dia terbang lewat Washington DC lalu transit di Hongkog. Ketika baru sampai Hongkong inilah, keluarga Ferri memberi kabar bahwa ibunya berpulang.

Jiwanya terpukul. Ada kehampaan yang luar biasa di dalam dadanya. Sebuah kehilangan. Setelah itu, dia bertekad tidak akan kembali berlayar dan akan menemani ayahnya, Muhammad Oero. Dia tak tak ingin kehilangan ayahnya. Jika kelak ayahnya meninggal, Ferri harus hadir di sampingya.

Di rumah, Ferri bingung karena sudah terlampau lama meninggalkan kebun. Pelan-pelan dia mengorek semangat pemberontakan dan perjuangan sebagai anak punk sekaligus pecinta alam ketika sekolah di Bandung dan mahasiswa di Jakarta.

Untuk mempercepat proses itu, Ferri keliling kampung dan kaget mendapati banyak warga tak lagi minum teh. Mereka mengonsumsi air mineral kemasan sebab sudah jarang daun teh yang bisa dipetik. Ia seolah kehilangan sebagian dirinya yang biasa mengonsumsi teh sejak kecil.

Kata petani, mereka kesulitan mengonsumsi teh karena banyak tanaman teh rusak. Ia bertekad membantu ayahnya mengembangkan teh. Tahun 2014, ayahnya mendirikan pabrik teh rakyat berkapasitas sekitar 200 kilogram per hari. Pabrik ini menampung teh hasil panen rakyat sekitar.

Tahun 2016 sampai 2017, pabrik sempat berhenti beroperasi setelah ayah Ferri meninggal. Setelah proses pembagian waris selesai, Ferri mendapat tugas mengelola pabrik teh. Sembari terus menambah pengetahuan tentang teh, dia rajin mendidik petani tentang cara tanam dan petik yang benar.

Sekarang ada 50 petani yang mampu mengelola kebunnya dengan baik dan penghasilannya meningkat hinga tiga kali lipat dari sebelumnya setelah belajar tanam dan petik dari Ferri.

 

Hampir bangkrut

 

Pada suatu hari di Bulan November 2017, Ferri memacu sepeda motornya menuju Cianjur dari kampungnya di Pasir Canar, Kecamatan Takokan, Kabupaten Cianjur (Selatan). Dengan mengandalkan jas hujan, dia menembus hujan lebat. Jalanan kelabu sekelabu suasana hatinya.

Sepanjang jalan, Ferri sibuk menata kalimat yang hendak ia sampaikan kepada para petani bahwa pabriknya tidak lagi dapat beroperasi lantaran belum menemukan rekanan yang bersedia membeli teh. Padahal, hampir dua ton teh siap konsumsi menggunung di pabriknya. Semua uangnya tersedot ke dalam teh-teh tersebut sehingga dia tak mampu lagi membayar teh para petani.

Ia berfikir itu adalah jalan terakhir sekaligus ujung dari perjuangannya selama ini dalam meneruskan usaha teh milik mendiang ayahnya, Muhammad Oero.

Ferri Kurnia menyeruput secangkir teh di tempat tinggalnya di Pasir Canar, Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019)

Tapi pada saat yang sama, pikirannya melayang ke masa ketika masih bocah. Kala itu, Ferri diajari ayahnya cara mengolah teh secara tradisional, yakni dengan menumbuknya. Ferri yang baru berusia sekitar tujuh tahun, berulang kali mengangkat alu, alat penumbuk. Berulang kali juga dia hampir menyerah karena tangan-tangan mungilnya tak tahan terlalu lama mengangkat dan menghujamkan penumbuk itu.

“Jangan berhenti, teruskan. Jangan ditumbuk terlalu keras. Pelan-pelan saja,” begitu kata-kata yang diingat Ferri ketika dia hampir berhenti karena menyerah kecapaian.

Ini adalah cara tradisional untuk melukai daun teh agar terjadi oksidasi, sebuah proses untuk menghasilkan cita rasa teh. Setelah daun teh ditumbuk, disangrai, lalu diseduh, Ferri menyeruputnya. Dia tersenyum. “Ternyata teh yang saya buat itu rasanya enak,” katanya dengan mata berbinar.

Adegan tadi mengajarkan kepada Ferri bahwa cobaan hidup bisa saja datang berulang, beruntun, menggerus semangat, melemahkan daya juang, dan menjerumuskan seseorang dalam kejatuhan. Tetapi sepanjang masih bisa berdiri, harus berusaha untuk berdiri. Boleh saja berhenti sejenak menghimpun tenaga, tetapi perjuangan harus tuntas. Ibarat menumbuk teh, harus sampai bisa merasakan seduhannya.

Sepanjang jalan itu, batin Ferri bertarung: antara ingin mempertahankan nasehat ayahnya atau menyerah pada kenyataan bahwa dia sudah tidak memiliki modal lagi. Tampaknya Ferri memilih yang kedua. Tekadnya membulat seiring jarak yang makin dekat dengan Cianjur.

Dia berniat menuju rumah seorang petani yang katanya hendak memetik teh. Sebelumnya petani ini menelepon Ferri agar mampir ke kebunnya melihat tanaman tehnya dan mengajarinya cara memetik teh yang benar agar pucuk segarnya nanti dapat menghasilkan teh kering berkualitas. Maklum, Ferri merupakan pengusaha teh yang rajin mendidik petani memelihara tanaman teh dan memetiknya dengan cara yang benar.

Kesempatan itu juga akan dia gunakan untuk menyampaikan maksud hatinya menutup pabrik teh. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi. Dia berhenti, membuka jas hujan, dan memicingkan mata pada layar ponsel. Di sana terpapar nama Vladimir Mosyagin, seorang eksportir teh yang dia kenal dalam sebuah pameran teh. Ferri pernah menawarkan tehnya ke Mosyagin, tetapi ditolak karena jumlahnya yang terlalu sedikit. Kali ini Ferri menebak-nebak maksud Mosyagin meneleponnya.

“Katanya dia mau menerima teh saya dan hendak melihat pabrik teh saya di Pasir Canar. Wah, saya senang sekali. Sepanjang perjalanan menuju rumah petani tadi saya senyum-senyum sendiri. Semangat menyala lagi,” cerita Ferri.

Peristiwa tadi membuktikan bahwa nasehat ayahnya manjur dalam menjalani usaha teh. Selama masih ada sisa-sisa semangat, selam itu juga masih ada jalan. Begitu juga yang dia nasihatkan ke para petani binaannya.

Sejak telepon Mosyagin itu hingga sekarang, setidaknya Ferri sudah enam kali mengirim teh premiumnya. Sekali kirim antara tujuh kuintal hingga 1,8 ton. Pembayaran selalu lancar sehingga Ferri pun mampu membeli teh dari petani dengan lancar pula.

 

Artikel Lainnya