KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK) 26-07-2020

Warga melintasi bekas tiang gerbang pabrik teh di kaki Gunung Raung, Kebun Jatirono, Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (26/7/2019).

Jawa Timur

Sang Pionir

·sekitar 4 menit baca

SEJARAH

Bagi yang ingin menelusuri sejarah perjalanan perkebunan teh di Indonesia, lereng selatan Gunung Raung di Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, adalah ”tanah suci”. Sebab, dari sinilah semuanya berawal.

Sebelum 1800-an, Pemerintah Kerajaan Belanda hanya berperan sebagai makelar antara China sebagai produsen dan Benua Eropa dan Amerika sebagai konsumen. Pemerintah Kerajaan Belanda lalu mengembangkan perkebunan teh sendiri berikut pabrik pengolahannya. Indonesia dinilai memiliki sejumlah lokasi dengan karakteristik alam yang cocok untuk perkebunan teh.

Satu dari dua proyek uji coba skala besar perdana dilakukan di lereng selatan Gunung Raung di Jawa Timur dengan luas areal diperkirakan 448 hektar (ha) pada 1827. Satu proyek lainnya ditempatkan di lereng Gunung Burangrang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK) 26-07-2020

Warga melintasi bekas tiang gerbang pabrik teh di kaki Gunung Raung, Kebun Jatirono, Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (26/7/2019).

Salah satu dokumentasi yang menunjukkan keberadaan perkebunan teh Gunung Raung adalah sebuah foto digital hitam-putih yang beredar di internet. Foto tersebut diduga dijepret pada 1930. Di situ tampak bangunan dengan tulisan besar Thee Fabriek Goenoeng Raoen atau Pabrik Teh Gunung Raung.

Jika itu benar, Pabrik Gunung Raung masih beroperasi 103 tahun sejak 1827. Napas perkebunan itu terus berlanjut dengan pergantian kepemilikan pasca-nasionalisasi 1950-an akhir.

Oleh Pemerintah Indonesia, hak pengelolaan Afdeling Gunung Raung diserahkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) perkebunan. Selama tiga dekade sejak dipegang BUMN, Afdeling Gunung Raung menjadi bagian dari Kebun Jatirono yang kini dikelola PTPN XII.

Memasuki 1980-an, situasi perkebunan di Afdeling Gunung Raung mulai sulit. Manajemen lalu mengganti tanaman teh dengan kakao.

Proses pergantian tersebut ditandai dengan kebakaran hebat yang membumihanguskan Pabrik Teh Gunung Raung pada 1985. ”Saya lupa bulan apa kebakaran terjadi. Yang jelas tanggal 18. Saya ingat tanggalnya karena siangnya pegawai menerima pembayaran upah. Kejadiannya sekitar pukul sembilan malam,” kata Monasip (79), mantan mandor bagian pengolahan pabrik yang ditemui Juli tahun lalu di lokasi bekas pabrik.

Saat itu, Monasip dan sejumlah pegawai pabrik lainnya sedang berkumpul menghabiskan malam di depan kantor sekuriti. ”Tiba-tiba api sudah besar di pabrik. Kami berusaha memadamkan, tetapi api sudah telanjur besar,” kata Monasip.

Pasca-kejadian, polisi memeriksa sejumlah pegawai, termasuk Monasip. Toh penyebabnya tetap misterius.

Hari ini, jejak perkebunan teh nyaris hilang di Afdeling Gunung Raung. Tanpa bekal pengetahuan sejarah, orang tidak akan mengenali bahwa areal itu dulu pernah menjadi perkebunan
teh.

Afdeling Gunung Raung saat ini memiliki areal seluas 338,73 ha. Kebun kakao mendominasi, yakni 130 ha untuk kakao edel dan 24 ha untuk kakao bulk. Kebun tebu seluas 42,86 ha dan kayu seluas 68,63 ha. Areal yang dimanfaatkan untuk kerja sama kemitraan adalah 52,68 ha. Sisanya, 20,56 ha, untuk fasilitas umum, seperti jalan, sungai, perumahan, dan kuburan.

Kompas dalam ekspedisi pada akhir Juli 2019 hanya menemukan tiga tanaman teh tersisa. Satu tanaman tumbuh tak terawat di sela-sela batu besar di tengah-tengah kawasan perkebunan. Sementara dua tanaman lagi berada di pekarangan perumahan pegawai perkebunan.

Pabrik Teh Gunung Raung berlantai dua yang dulu berdiri di atas lahan seluas dua hektar kini hanya menyisakan dua pilar gerbangnya yang lapuk. Di salah satu bagian, tangga beton masih tersisa dan berlumut. Beberapa puing bagian bangunan pabrik terkubur belantara belukar dan alang-alang.

Terpisah di belakangnya, berdiri bangunan bekas gudang pupuk yang tidak ikut terbakar. Temboknya lembab, berlumut, dan dalam cengkeraman akar pohon beringin.

Tak jauh dari lokasi pabrik, terdapat bekas rumah dinas asisten tanaman Kebun Jatirono. Rumah kayu itu terakhir kali ditempati pada 2013. Penghuninya adalah Tri Wahyudi, asisten tanaman saat itu.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja mengepak teh di Pabrik Teh Wonosari, Malang, Jawa Timur, Minggu (28/7/2019). Pabrik Teh Wonosari yang berada di bawah pengelolaan PTPN XII itu menghasilkan jenis teh hitam terbaik yang 90 persennya diekspor.

Sutiman, asisten tanaman penggantinya, enggan tinggal di rumah itu lagi. Rumah kayu itu kini difungsikan sebagai taman kanak-kanak. Salah satu bagian rumah dibiarkan kosong. Paviliun di samping rumah rusak berat. Kondisinya lembab, berjamur, dan suram. Manajer Kebun Jatirono Dwi Hariyono menyatakan, pasca-kebakaraan, mesin-mesin pabrik teh dibawa ke Jawa Barat.

Suatu siang, sebuah truk melintas di jalan tanah perkebunan di lereng selatan Gunung Raung. Tumpukan panenan tebu memenuhi bak terbukanya. Empat dasawarsa lalu barangkali yang melintas bukanlah truk berisi tebu, melainkan pucuk teh.

Lereng selatan Gunung Raung itu tetaplah tanah suci bagi sejarah perjalanan perkebunan teh di Indonesia. Di sanalah
”Sang Pionir” lahir, membuka pintu ekstensifikasi, dan akhirnya mati.

(FX LAKSANA AS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO)

Artikel Lainnya