PEMETIK TEH
Pada akhirnya, mereka semua akan menua. Satu per satu akan sampai pada kematian, garis finis yang sesungguhnya. Pun tak ada generasi baru yang datang menggantikan. Inilah senja kala bentara buruh petik teh di Nusantara.
Kabut pagi belum sepenuhnya beranjak dari lereng barat daya Gunung Kawi, Jawa Timur, ketika Kantun Rahayu (38) dan beberapa buruh petik borongan tiba di Afdeling Sirah Kencong, Desa Ngadirenggo, Kecamatan Weling, Kabupaten Blitar.
Kluster kebun peninggalan zaman kolonial Belanda itu termasuk dalam Kebun Bantaran yang kini dikelola PTPN XII. Total luas Kebun Bantaran mencapai 325,14 hektar pada ketinggian 600-1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Pada salah satu punggungan di tengah-tengah hamparan berdiri Candi Sirah Kencong dari zaman Kerajaan Majapahit. Candi itu terdiri atas tiga altar yang tak lagi utuh.
Kantun dan kawanan buruh petik biasa mengawali kerja pada pagi hari maupun rehat pada siang hari di candi itu. Beberapa pohon pinus di sekitar candi menjadi kanopi dari sinar matahari.
Hari itu, genap 1.000 hari sejak suami Kantun meninggal dunia. Tak ada upacara peringatan khusus di rumah. Cukup doa yang hanya Kantun bagikan kepada sepi.
Janda tiga anak itu bekerja seperti biasanya. Dalam hamparan teh, tubuh kecilnya tenggelam. Namun, jari-jari tangannya cekatan memilih dan memetik pucuk-pucuk teh terbaik. Satu demi satu hingga bakul bambunya penuh.
Mendiang suami Kantun dulu juga bekerja sebagai buruh borongan di Afdeling Sirah Kencong. Demikian pula orangtua Kantun yang sudah lama pensiun. Ayahnya mandor petik, ibunya buruh petik. Memang, kerja turun-temurun di kebun teh adalah hal yang jamak.
Sepeninggal suami, Kantun ingin bekerja sekeras-kerasnya untuk menghidupi anak-anaknya. Kalau ada lembur, ia pasti akan ambil. Namun, situasi perkebunan yang tengah mengalami kesulitan tak banyak memberikan kesempatan itu.
Justru yang terjadi adalah efisiensi. Upah buruh ditekan. Biaya perawatan kebun juga dipotong sehingga menyebabkan volume pucuk teh yang dipetik kian terbatas. Akumulasinya, upah buruh petik semakin tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup harian, apalagi biaya sekolah anak-anak.
Untuk menyekolahkan anak hingga SMA sekalipun, Kantun tak mampu. Alhasil, anak pertama Kantun putus sekolah saat SMP. Anak keduanya lulus SMP dan tak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sementara anak bungsunya masih kelas VI SD.
Semakin berkurang
Menurut Tri Utami (51), buruh petik lainnya, volume pucuk teh semakin berkurang dari hari ke hari. Hal ini terjadi seiring dengan intensitas perawatan kebun yang berkurang.
Dulu saat musim basah, setiap buruh petik bisa memanen rata-rata 1 kuintal pucuk teh basah per hari. Sekarang, rata-rata 30-40 kg per hari. Pola sama juga terjadi saat musim kemarau. Dulu, setiap buruh petik menghasilkan 50 kg. Sekarang, tinggal 10 kg per hari.
Volume panen pucuk teh adalah basis perhitungan upah buruh petik. Dengan demikian, berkurangnya jumlah pucuk di kebun secara langsung mengurangi upah buruh petik. Saat ini, di Sirah Kencong upah buruh petik di musim hujan berkisar Rp 800.000-Rp 1 juta per bulan. Upah di musim kemarau berkisar Rp 600.000-Rp 700.000 per bulan.
Painem (42), buruh petik lain di Sirah Kencong, mengatakan, jumlah buruh petik mencapai puncak pada periode 1990-an. Saat itu, enam truk mengangkut buruh petik dari desa setiap hari. Sekarang, hanya dua truk setiap hari. ”Lama-lama habis. Kalau upah dinaikkan, mungkin orang-orang akan mau kembali kerja di kebun,” kata Painem, yang bekerja di Sirah Kencong sejak 1994.
Persoalan buruh petik di Sirah Kencong juga terjadi di seluruh perkebunan teh lain di Nusantara. Di Kebun Wonosari, Malang, misalnya, jumlah buruh petik terus menyusut tanpa ada generasi baru yang datang.
Wariyasih (49), buruh petik di Kebun Wonosari, mengatakan, anak-anak muda sekarang lebih suka bekerja di toko, pabrik, atau mal. Sebab, upahnya mengikuti upah minimum kabupaten/kota.
Sementara itu, model kerja sebagai buruh petik di kebun borongan. Artinya, upah bergantung pada jumlah pucuk yang dipetik. Seiring berkurangnya pucuk yang dipanen, upah buruh petik juga makin terbatas.
Pekerjaan buruh petik juga dianggap tak menarik. Sekalipun tidak mensyaratkan keterampilan tinggi, misalnya, Wariyasih menjelaskan, kerja sebagai buruh petik memerlukan ketahanan fisik luar biasa. ”Kalau panas, kepanasan. Kalau hujan, kehujanan. Itulah kerja buruh petik teh,” kata Wariyasih.
Kegiatan memetik pucuk teh, Wariyasih melanjutkan, cepat atau lambat akan membuat nyeri pergelangan tangan. ”Sering saya harus pijat karena tangan sakit,” ujarnya.
Ragam pengalaman kurang mengenakkan lain juga jamak dialami buruh petik. Umisari (56), buruh petik di Wonosari, mengaku beberapa kali disengat lebah saat sedang memetik pucuk teh. Tak jarang memang lebah membangun sarang di dahan teh.
Bahkan, pernah satu kali, tangan Umisari sobek terkena ayunan arit sendiri saat membersihkan tanaman teh dari gulma. ”Darahnya keluar terus. Jadi langsung dibawa ke klinik perkebunan,” kata perempuan yang telah bekerja di Wonosari sejak 1982 itu.
Anak muda tak tertarik
Asisten Kepala Kebun Bantaran Bramantya Admaja menyatakan, anak-anak muda tidak tertarik menjadi buruh petik. Mereka lebih suka bekerja sebagai buruh pabrik atau pedagang di pasar.
Akibatnya, tidak ada buruh petik baru di Kebun Bantaran beberapa tahun terakhir. Hal ini juga terjadi di semua kebun teh di Indonesia. Buruh petik yang masih bertahan adalah buruh lama yang usianya 40-60 tahun.
Di Kebun Bantaran, jumlahnya tinggal sekitar 140 orang. Luas Kebun Bantaran 325,14 hektar. Dengan rasio ideal satu buruh petik memanen 1 hektar kebun teh, Kebun Bantaran butuh minimal 300 buruh petik.
Dengan defisit buruh petik, Kebun Bantaran dan kebun teh lain di Nusantara semakin intensif menggunakan mesin. Saat ini, 40 persen areal Kebun Bantaran menggunakan mesin. Ke depan, 60-70 persen akan menggunakan mesin. Selebihnya, karena berlokasi di tanah miring, tetap harus menggunakan buruh petik.
Manajer Kebun Bantaran Supriadi mengatakan, dulu kerja di perkebunan teh bersifat turun-temurun. Namun, belakangan, anak-anak buruh petik enggan meneruskan pekerjaan orangtua mereka.
Ketua Dewan Teh Indonesia Rachmad Gunadi menyatakan, penggunaan mesin di perkebunan teh menjadi keniscayaan di masa depan. Efisiensi adalah isu utama.
Sebagai gambaran, unit pelayuan dan pengeringan model lama dengan kapasitas produksi 50 ton per hari membutuhkan 160 buruh. Namun, dengan teknologi baru dan investasi senilai Rp 5 miliar, unit dengan kapasitas produksi yang sama hanya membutuhkan 10 buruh. Selain itu, tenaga listrik hemat 45 persen dari kebutuhan sebelumnya dan tenaga termal hemat 50 persen dari konsumsi sebelumnya.
”Namun, kalau sekarang melakukan perpindahan dari manusia ke mesin, karena alasan keniscayaan seperti itu tanpa didahului persiapan kebun secara keseluruhan, tidak bagus juga,” kata Gunadi.
Buruh petik, menurut Gunadi, memang bisa menjamin kualitas petik. Namun, penggunaan mesin tetap bisa menjaga kualitas petik. Hal ini, misalnya, dibuktikan di Jepang. Syaratnya, petik dengan mesin harus dibarengi dengan manajemen perkebunan yang tepat.
”Dalam masa transformasi ini, kalau ada kebun yang siap menggunakan mesin, sebaiknya pakai mesin. Yang manual, ya, manual. Buruh petik yang tersisa dikonsentrasikan di blok-blok tertentu sampai lama-lama habis dan kemudian digantikan 100 persen dengan mesin,” kata Gunadi.
Kantun dan kawan-kawan adalah generasi terakhir buruh petik teh. Tak lama lagi, mereka akan menua. Lalu tibalah kemudian fajar baru: mesin-mesin dari revolusi industri 4.0. Inilah tragedi bentara buruh petik di kebun-kebun teh Nusantara.
FX Laksana AS/Ambrosius Harto Manumoyoso