KOMPAS/RIZA FATHONI

Jawa Timur

Wajah Keriput Para Pemetik Teh

·sekitar 5 menit baca

 

 

Wajah-wajah yang keriput, kini semakin banyak ditemukan di perkebunan teh rakyat maupun perkebunan milik negara. Padahal, Indonesia masih memiliki lebih dari seratus ribu hektar perkebunan teh yang membutuhkan tangan cekatan para pemetik teh muda.

Oleh: Dedy Afrianto

Semakin menuanya usia para pemetik teh berbanding lurus dengan kesulitan petani pemilik perkebunan teh menemukan tenaga pemetik berusia muda. Kesulitan ini dirasakan oleh sejumlah pemilik perkebunan teh rakyat di Jawa Barat. Belum ada upaya regenerasi hingga minimnya minat anak muda untuk menjadi pemetik teh menjadi penyebab sulitnya mencari tenaga pemetik teh berusia muda.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Panen Teh dengan ani-ani di Kampung Cijeruk, Sukamekar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (27/6/2019).

Kendala mencari tenaga pemetik diungkapkan Heri Juhaeri, petani teh di Sukabumi, Jawa Barat. Heri yang juga menjadi pengepul teh ini, mengeluhkan semakin sulitnya mencari tenaga pemetik teh berusia muda. Akibatnya, para pemilik perkebunan teh rakyat masih memberdayakan tenaga pemetik yang telah berusia di atas 50 tahun.

Petani teh rakyat lain yang menghadapi kendala serupa adalah Supian Munawar, petani pemilik perkebunan teh di Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Menurut Supian, tak banyak anak muda di daerah sekitar perkebunan teh miliknya yang berminat bekerja sebagai pemetik teh.

 

Dedek (28), salah satu petani muda dan pemilik perkebunan teh di daerah Cisurupan, mengatakan, tidak banyak anak muda di sekitar daerah perkebunan teh yang bekerja memetik teh. “Tidak banyak anak muda yang berminat jadi petani atau pemetik teh. Mereka lebih memilih menjadi petani di sawah atau menanam tanaman sayur,” kata Dedek saat ditemui di area perkebunan teh rakyat Cisurupan, Garut.

Kondisi serupa juga dialami oleh perkebunan teh milik negara. Di Jawa Timur, terdapat beberapa perkebunan teh yang kekurangan tenaga pemetik. Penyebabnya sama, yakni menuanya usia tenaga pemetik dan sulitnya melakukan regenerasi pemetik teh.

Salah satu perkebunan teh milik negara yang mengalami kekurangan tenaga pemetik teh adalah di Afdeling (bagian perkebunan) Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Menurut Mandor Besar Perkebunan Teh Afdeling Wonosari, Rahmad Dwi Santoso, saat ini pemetik teh di kawasan tersebut rata-rata berusia 48 tahun.

Ada sebanyak 238 karyawan harian lepas yang bekerja di wilayah Perkebunan Teh Wonosari. Jumlah ini saja jauh dari kebutuhan ideal pemetik teh yakni sekitar 500 orang. Sementara dari sisi usia, 42 persen di antaranya telah berusia di atas 55 tahun. Artinya, hampir separuh tenaga pemetik teh telah mulai memasuki pengujung usia produktif.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja merawat bibit pohon teh di Perkebunan Teh Wonosari, Malang, Jawa Timur, Minggu (28/7/2019). PerkebunanTeh Wonosari yang berada dibawah pengelolaan PTPN XII itu menghasilkan jenis teh hitam terbaik yang 90% hasil produksinya ditujukan untuk ekspor.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
28-07-2019
Untuk Ekspedisi Teh

Keadaan serupa juga terjadi di Perkebunan Teh Bantaran, Afdeling Sirah Kencong, Blitar, Jawa Timur. Di perkebunan teh ini terdapat 100 orang karyawan panen, harian tetap dan karyawan harian lepas. Dari jumlah ini, 58 persen di antaranya adalah pemetik teh berusia di bawah 55 tahun. Sementara 42 persen lainnya merupakan pemetik teh berusia di atas 55 tahun.

Jika dirata-ratakan, usia pemetik teh di Perkebunan Sirah Kencong adalah 46,9 tahun atau nyaris sama dengan rata-rata usia pemetik teh di Perkebunan Wonosari. Di antara 100 orang karyawan panen, masih terdapat 15 orang pemetik di perkebunan ini yang berusia di atas 60 tahun.

Kendala dari sisi pemetik teh juga dialami oleh Perkebunan Teh Kertowono, Afdeling Kamar Tengah, Lumajang, Jawa Timur. Pada dekade 1980-an, masih terdapat sekitar 600 orang pemetik yang menggarap lahan seluas 517 hektar. Jika dirata-ratakan, setiap orang bertanggung jawab untuk memetik seluas 0,9 hektar teh.

Kini, hanya ada sekitar 120 orang tenaga pemetik di lahan perkebunan Kertowono seluas 218,5 hektar. Setiap pemetik harus memetik teh seluas 1,8 hektar. Sementara idealnya, setiap orang tenaga pemetik bertanggung jawab terhadap satu hektar area petik. Dibandingkan dengan empat dasawarsa sebelumnya, Tanggung jawab area para pemetik teh di Kertowono menjadi semakin luas seiring menyusutnya jumlah mereka.

 

Faktor Upah

Sulitnya menemukan anak muda untuk menjadi pemetik teh disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah rendahnya upah. Di Perkebunan Teh Wonosari, misalnya, para pemetik teh memperoleh hingga Rp 1,8 juta per bulan dengan waktu pemetikan teh antara pagi hingga siang hari. Upah yang diperoleh masih di bawah UMK di Kabupaten Malang pada tahun 2019 sebesar Rp 2,7 juta per bulan.

Menurut Supriadi, Asisten Kepala Perkebunan Wonosari, Jawa Timur, faktor lain yang membuat anak muda enggan menjadi pemetik teh adalah ketiadaan upah yang tetap. Akibatnya, anak muda lebih memilih bekerja di pabrik yang penghasilannya lebih pasti.

Perkebunan teh rakyat juga berhadapan dengan masalah serupa. Di Sukabumi, para pemetik teh hanya menerima upah sekitar Rp 400 per kilogram daun teh basah. Menurut Nina (50), petani pemetik teh di Sukabumi, dalam sehari ia memperoleh penghasilan sekitar Rp 20.000. Penghasilan ini termasuk tambahan upah dari membersihkan kebun setelah proses memetik teh dilakukan.

Jika dirata-rata, Nina memperoleh sekitar Rp 600.000 per bulan dari proses memetik daun teh basah dan membersihkan kebun. Upah yang diterima oleh Nina tidak sampai seperempat nilai UMK Kabupaten Sukabumi tahun 2019 yang mencapai Rp 2,7 juta per bulan.

 

Menjadi Kendala

Menuanya usia pemetik teh, sulitnya mencari anak muda sebagai tenaga pemetik, adalah kendala mengembangkan industri teh nasional. Pemetik teh adalah tulang punggung bagi proses produksi teh di bagian hulu. Tanpa pemetik teh, daun teh yang dipetik akan menurun secara kuantitas maupun kualitas.

Di Jawa Timur, sulitnya regenerasi pemetik teh menjadi hambatan bagi pengembangan industri teh milik negara. Di Perkebunan Teh Wonosari, misalnya, masih dibutuhkan lebih dari 200 tenaga pemetik teh akibat sulitnya melakukan regenerasi.

Untuk mengatasi kekurangan tenaga pemetik, salah satu upaya yang dilakukan adalah melakukan mekanisasi panen teh. Panen tak lagi bertumpu pada tenaga pemetik, namun menggunakan mesin khusus untuk memetik daun teh.

Namun, upaya mekanisasi bukannya tanpa catatan. Pucuk yang dipetik oleh tenaga manusia memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan pucuk yang dipetik dengan mesin. Misalnya, untuk memetik peko atau pucuk daun teh beserta dua daun di bawahnya (P+2), maka akan lebih mudah dengan menggunakan tenaga manusia karena dapat langsung dipetik pada tiga pucuk teratas. Sementara jika menggunakan mesin, maka daun teh di bawahnya juga akan terbawa.

Di Jawa Barat, menuanya usia pemetik teh akan sangat berdampak pada masa depan perkebunan teh rakyat. Pasalnya, Jawa Barat adalah daerah dengan area perkebunan teh rakyat terluas di Indonesia.

Tahun 2018, luas perkebunan teh rakyat di Jawa Barat mencapai 44.890 hektar, atau 43 persen dari total luas area perkebunan teh nasional dan 86 persen total luas perkebunan teh rakyat di Indonesia.

Jika rata-rata satu pemetik teh dapat memetik teh seluas satu hektar, maka dibutuhkan sekitar 45.000 pemetik teh pada perkebunan rakyat di Jawa Barat. Artinya, dibutuhkan sekitar 45.000 anak muda jika regenerasi dilakukan secara menyeluruh. Upaya regenerasi pemetik, pada akhirnya diperlukan agar perkebunan teh di Indonesia tak mengalami alih fungsi hanya karena kekurangan tenaga pemetik. (Litbang Kompas)

Artikel Lainnya