KOMPAS/RIZA FATHONI

Jalan perkampungan yang terletak di tengah perkebunan teh di Patenggang, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019).

Jawa Barat 1

Yang Layu di Tengah Hijau

·sekitar 3 menit baca

Komala (22) dan Resty (20) duduk lesehan di lantai kayu di ruang tamu menghadap televisi. Mereka menonton film Bangunnya Nyi Roro Kidul yang dibintangi Suzanna, Minggu (23/6/2019). Adegan-adegan seram di film sama sekali tidak membuat mereka ngeri. Sesekali kakak beradik itu malah ketawa cekikikan saat Dorman Borisman dan Bokir melucu di film itu.

Film sudah berputar sepertiganya ketika anak Komala, Karina (5), bergabung setelah bermain di halaman rumah mereka di Emplasemen V Cipuspa, Desa Sukaresmi, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Lalu disusul suami Resty, Dede (23), yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suasana semakin ramai dengan bergabungnya Kartini (39) yang baru saja pulang dari rumah tetangga. Kartini adalah ibu dari Komala dan Resty.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Jalan perkampungan yang terletak di tengah perkebunan teh di Patenggang, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019).

Resty sebenarnya sudah tidak tinggal di emplasemen lagi karena ikut suaminya yang bekerja sebagai pegawai pabrik di Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung. Namun, karena sedang libur, mereka berkunjung. Ini menjadi semacam kebiasaan di hari Minggu beberapa keluarga yang tinggal di luar emplasemen, berkunjung.

Emplasemen merupakan permukiman yang dibangun di tengah perkebunan teh untuk menampung para pemetik teh yang sebagian besar tidak mampu membeli rumah sendiri. Emplasemen ini sudah ada sejak zaman Belanda di setiap perkebunan. Biasanya, perkampungan ini sulit dijangkau seperti yang ada di Sukaresmi ini.

Untuk bisa sampai di sana, harus menggunakan mobil double gardan atau sepeda motor. Pengunjung harus membelah jalan perkebunan yang lebarnya hanya sekitar 1,5 meter dengan kontur naik turun. Saat kami ke sana, sebagian jalan dengan kemiringan 30 derajat sedang diperbaiki.

Untuk sekolah, anak-anak harus keluar desa atau bahkan ke sekolah di kota kecamatan yang waktu tempuhnya bisa sampai satu jam. Itu pun hanya sampai sekolah menengah pertama. Meskipun anak-anak perkebunan teh punya cita-cita setinggi langit, mereka tetap terjerat keterbatasan sehingga tidak bisa terbang menggapai mimpi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Rombongan mempelai pria membawa seserahan saat berlangsung pesta resepsi pernikahan tenaga pemetik teh perkebunan teh Patenggang, Empalasmen III Desa Patenggang, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (23/6/2019).

Mata Revi (13) berbinar saat dia menyatakan cita-citanya menjadi guru. Saat ditemui di salah satu emplasemen di Dusun Babakan, Desa Banjarsari, Sabtu (22/6/2019), Revi bercerita, guru itu keren, memiliki ilmu yang luas, dan berhati mulia karena mau berbagi ilmu dengan anak-anak. Namun, dia pesimistis dengan cita-citanya itu. ”Paling saya sampai SMA, sama seperti kakak-kakak saya. Saya tidak ingin memaksa ke orangtua, takut tidak ada uang,” ujarnya.

Tidak hanya Revi, sebagian besar anak di perkebunan teh khawatir tidak bisa melanjutkan sekolah tinggi karena terhambat biaya. Mereka lebih memilih mengikuti jejak orangtuanya bekerja di perkebunan teh.

Cecep Yanto (30), Kepala Dusun 2 Babakan, Desa Banjarsari, Pangalengan, Kabupaten Bandung, mengatakan, dari kurang lebih 1.200 jiwa di dusun tersebut, lebih dari 50 persen bekerja di perkebunan teh. Sisanya bertani dan beternak sapi perah. Pendidikan terakhir warga desa adalah SMA.

Upah sebagai pemetik yang relatif rendah, bahkan banyak yang hanya memperoleh upah Rp 400.000 sebulan, memang sulit untuk dijadikan batu loncatan demi pendidikan lebih tinggi. Apalagi sebagian pemetik teh ini tidak berani untuk keluar dari wilayah dia lahir dan besar.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Rumah tinggal pemetik teh di Emplasemen V Cipuspa, Desa Sukaresmi, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Keterbatasan akses dan biaya pendidikan menghadapkan mereka pada pilihan yang terbatas. Banyak dari mereka akhirnya memilih menikah di usia muda dengan angan-angan hidup lebih baik bersama suami. Kartini menikah saat belum genap 17 tahun. Anaknya tak jauh berbeda. Tetangga mereka, Kamila (24), hanya pernah mengenyam pendidikan kelas II SMP, lalu menikah dan sekarang mempunyai dua anak, Merry Merliana (7) dan Ari Mulyana (3).

Kartini masih menemani anak, menantu, dan cucunya menonton film horor Bangunnya Nyi Roro Kidul. Mereka lebih banyak terbahak daripada ketakutan menyaksikan akting Suzanna, George Rudy, Dorman Borisman, dan Bokir. Bagi mereka, kengerian yang ditawarkan film itu tidak ada apa-apanya dibandingkan menata neraca keuangan sebagai buruh petik teh. Mereka melayu di tengah kesegaran pucuk daun teh. (MHF/RTG)

Artikel Lainnya