Sejak era Hindia Belanda, perempuan kerap menjadi pilihan untuk dipekerjakan di perkebunan teh.Kebiasaan tersebut berlanjut hingga kini, baik di perkebunan negara maupun perkebunan teh milik rakyat. Ketelitian hingga peran ganda yang dapat dilakukan menjadi sebab utama bertahannya eksistensi perempuan sebagai pemetik teh.
Dedy Afrianto dan Rangga Eka Sakti
Teh mulai ditanam di Indonesia pada tahun 1827. Upaya percobaan budidaya teh di perkebunan dilakukan di daerah Cisurupan, Kabupaten Garut, dan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Upaya budidaya teh terus berkembang hingga awal abad ke-20. Secara rata-rata, produksi teh meningkat pesat sejak tahun 1900 hingga tahun 1914. Pada tahun 1900 hingga 1904, rata-rata produksi teh per tahun mencapai 8.493 ton, dan meningkat pesat pada tahun 1910-1914 menjadi 24.772 ton per tahun. Artinya, terjadi kenaikan rata-rata produksi hingga mencapai tiga kali lipat hanya dalam kurun waktu kurang dari dua dekade. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010)
Kenaikan produksi ini tak terlepas dari pengenalan jenis tanaman teh baru beberapa dekade sebelumnya. Tahun 1877, bibit teh jenis Assam didatangkan dari Ceylon (Sri Lanka). Sejak saat itu, budidaya teh mulai menggeliat.
Perkembangan pesat perkebunan teh juga tak terlepas dari peran perempuan yang bekerja sebagai tenaga pemetik. Tak hanya laki-laki, pemerintah kolonial kala itu mulai memberdayakan perempuan untuk mencukupi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan.
Hingga kini, perempuan masih memegang peranan penting dalam hierarki pekerja di perkebunan teh. Peran utama sebagai pemetik teh masih diberikan kepada perempuan, baik di perkebunan teh milik negara maupun perkebunan teh milik rakyat.
Eksistensi perempuan sebagai tenaga pemetik salah satunya terlihat pada perkebunan teh milik negara di Afdeling Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dari 238 karyawan panen, 52 persen di antaranya adalah perempuan.
Kondisi serupa juga dapat dilihat di perkebunan teh Bantaran, Afdeling Sirah Kencong, Blitar, Jawa Timur. Dari 100 orang karyawan panen, 65 orang di antaranya merupakan perempuan. Sebagian besar (97 persen) pemetik teh di perkebunan ini adalah tenaga panen dengan status karyawan harian lepas.
Ketelitian
Menurut Asisten Kepala Perkebunan Bantaran, Bramantya Admaja, perempuan dipilih sebagai tenaga pemetik karena dianggap lebih telaten dalam proses pemetikan daun teh. Sementara laki-laki dibutuhkan untuk pekerjaan teknis, seperti pada proses pengolahan di dalam pabrik.
Ketelitian memang sangat dibutuhkan dalam proses pemetikan teh secara manual. Pada pemetikan P+2 misalnya, pemetikan harus dilakukan dengan menggunakan tangan pada pucuk daun teh beserta dua daun di bawahnya. Pemetikan dengan menggunakan tangan ini juga menentukan kualitas hasil olahan daun teh.
Selain perkebunan teh milik negara, eksistensi perempuan juga dapat dilihat di perkebunan teh milik rakyat. Salah satunya adalah perkebunan teh milik Ferri Kurnia di Cianjur, Jawa Barat. Dari lahan perkebunan teh seluas enam hektar, terdapat lima orang pemetik teh perempuan dan empat orang pemetik teh laki-laki.
“Perempuan lebih terampil dalam memetik teh. Jadi perempuan bekerja untuk pemetikan serta penyiangan,” kata Ferri.
Peran Ganda
Perempuan pemetik teh umumnya bekerja di perkebunan sejak pagi hingga siang hari. Sementara sejak siang hingga malam hari, para pemetik teh dapat menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga.
Peran ganda sebagai pemetik teh dan ibu rumah tangga salah satunya dilakukan oleh Teolina, pemetik daun teh di Perkebunan Teh Bah Butong, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dalam satu dekade terakhir, Teolina bekerja seorang diri untuk menghidupi keluarganya setelah suaminya wafat.
Ibu dengan lima orang anak ini bekerja sejak pukul 07.30 hingga pukul 15.00. Usai daun teh dipetik, Teolina kembali berperan sebagai ibu rumah tangga dan mengurusi pekerjaan lainnya yang masih tersisa di rumah. Teolina juga menyisihkan waktu di sore hari untuk menemani anak-anaknya bermain dan belajar.
Luangnya waktu yang dimiliki untuk keluarga juga menjadi salah satu pertimbangan bagi Marsiti (42), perempuan pemetik teh di perkebunan teh rakyat Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, untuk bekerja sebagai pemetik teh. Sebelumnya, Ibu dengan empat orang anak ini bekerja di perkebunan sayur. Sejak tiga tahun terakhir, ia memilih untuk bekerja sebagai pemetik teh dengan upah sebesar Rp 1.500 per kilogram daun teh yang dipetik.
Pekerjaan memetik dilakukan oleh Marsiti sejak pukul enam pagi hingga 12 siang. Usai memetik teh, Marsiti melanjutkan pekerjaan rumah yang masih tersisa. “Biasanya bekerja di kebun (sayur), tapi saat ini selingan,” kata Marsiti.
Lain halnya oleh Nina (50), petani pemetik teh di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Nina telah bekerja sebagai pemetik teh sejak lulus dari jenjang pendidikan sekolah dasar atau lebih dari 30 tahun.
Bagi Nina, memetik teh dilakukan sebagai pekerjaan utama. Nina berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Setiap harinya, ia bekerja sebagai tenaga pemetik teh sejak pukul enam hingga 11 siang dengan penghasilan sebesar Rp 20.000 per hari.
Penghasilan ini termasuk upah untuk membersihkan bagian perkebunan. Sementara suami Nina juga bekerja di perkebunan teh untuk membersihkan area kebun dengan upah sekitar Rp 30.000 per hari.
Nina tak bekerja sendiri. Dalam memetik teh, ia dibantu oleh beberapa rekannya. Salah satunya adalah Nani, dengan usia yang sudah lebih dari 60 tahun, Nani masih bekerja sebagai pemetik teh sejak pagi hingga menjelang siang. Setiap harinya, Nani harus berjalan kaki sekitar 500 meter menuju area kebun demi memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Pengujung Usia
Pemetik teh tak hanya bekerja sebagai tulang punggung keluarga, melainkan juga sebagai tulang punggung pada bagian hulu industri teh tanah air. Dari tangan-tangan merekalah daun teh dipetik sebelum diolah menjadi beragam jenis teh.
Meski menjadi tulang punggung di perkebunan, pemetik teh perempuan mulai memasuki pengujung usia produktif. Kondisi ini terjadi secara merata, baik di perkebunan teh milik negara maupun perkebunan teh milik rakyat.
Pada perkebunan teh milik negara di Bantaran, Afdeling Sirah Kencong, Blitar, Jawa Timur, misalnya, rata-rata usia pemetik teh perempuan mencapai 48,8 tahun. Dari 65 tenaga pemetik teh, 44,6 persen di antaranya telah memasuki usia di atas 55 tahun.
Perempuan pemetik teh termuda di perkebunan ini berusia 29 tahun. Sementara perempuan tertua berusia 63 tahun. Selain itu, masih terdapat 11 orang tenaga pemetik teh perempuan di daerah ini yang berusia di atas 60 tahun.
Kondisi serupa juga dialami oleh perkebunan teh milik negara di Afdeling Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dari 128 karyawan yang berada di bawah pimpinan masing-mandor, 39 persen di antaranya adalah perempuan yang berusia di atas 55 tahun. Sementara 61 persen karyawan lainnya berusia di bawah 55 tahun.
Menurut Heri Juhaeri, salah satu petani pemilik dan pengepul teh perkebunan rakyat di Sukabumi, Jawa Barat, kini sulit untuk mencari pemetik teh perempuan berusia muda. Anak dari tenaga pemetik teh pun juga enggan untuk bekerja di perkebunan teh karena upah yang rendah. Pada perkebunan teh rakyat di sekitar daerah Sukabumi, tenaga pemetik teh hanya memperoleh upah sekitar Rp 400 per kilogram daun teh basah.
Kondisi ini menjadi lampu kuning bagi perkebunan teh di Indonesia. Sebab, pemetik teh perempuan merupakan bagian penting dalam rantai produksi teh di bagian hulu. Tentu, upaya regenerasi yang dibarengi dengan jaminan kesejahteraan perlu dilakukan untuk memikat anak muda agar ingin bekerja sebagai pemetik teh. (Litbang Kompas)