KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana di Kampung Adat Wologai di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (8/8/2019). Sebanyak 20 rumah di kampung adat yang telah berusia 800 tahun ini pernah terbakar pada 9 Oktober 2012. Sebanyak 16 rumah adat telah dikonservasi hingga saat ini. Rumah adat bagi etnis Lio digunakan untuk upacara adat yang dilakukan dua kali dalam satu tahun.

Flores

Harga Diri Mama di Kampung Adat Wologai

·sekitar 3 menit baca

Di kawasan sekitar Taman Nasional Kelimutu, terdapat 21 kampung adat dan salah satu yang dikunjungi Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, awal Agustus lalu, adalah Kampung Adat Wologai yang berusia sekitar 800 tahun. Untuk menjangkau kampung adat ini, hanya dibutuhkan sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua atau roda empat dari puncak Gunung Kelimutu.

Kampung adat yang terdiri atas 18 rumah adat itu pernah terbakar pada tahun 2012 dan seluruh rumah adatnya habis terbakar. Namun, masyarakat kemudian membangun kembali rumah-rumah adat sesuai dengan bentuk aslinya. Saat ini terdapat 14 rumah adat yang sudah dibangun kembali. Namun, tak semua rumah ditinggali oleh penghuninya.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana di Kampung Adat Wologai, Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT, Kamis (8/8/2019). Sebanyak 20 rumah di kampung adat yang telah berusia 800 tahun ini pernah terbakar pada 9 Oktober 2012. Sebanyak 16 rumah adat telah dikonservasi hingga saat ini. Rumah adat bagi etnis Lio digunakan untuk upacara adat yang dilakukan dua kali dalam satu tahun.

Buku Manusia dan Budaya di Sekeliling Taman Nasional Kelimutu yang diterbitkan Balai Taman Nasional Kelimutu menyebutkan, seperti halnya struktur kampung etnis Lio pada umumnya, Kampung Wologai memiliki beberapa elemen, antara lain sao ria (rumah adat), saga (tiang yang terbuat dari kayu nangka dan terletak di bagian depan sebelah kanan rumah adat), kanga, tubu musu, dan musu mase yang mengekspresikan hubungan mereka dengan sesama yang hidup di dunia, leluhur di alam arwah, dan dengan Sang Pencipta.

Saga merupakan tempat untuk meletakkan sesajian pada upacara adat dalam rangka memohon restu para leluhur. Adapun kanga adalah pelataran yang berbentuk lingkaran dan berpagar batu di depan sao ria. Kanga merupakan tempat untuk pementasan tarian tandak, tarian keakraban dan kesatuan di antara para anggota suku dalam upacara adat. Di tengah kanga terdapat batu yang berdiri tegak yang dinamakan tubu musu, melambangkan unsur jantan penghubung langit dan bumi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ukiran berwujud hewan dan tanaman yang menghiasi rumah adat di Kampung Adat Wologai, Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT, Kamis (8/8/2019).

Ketika berkeliling kampung, kami agak kaget dengan ukiran yang berbentuk payudara di dua tiang di depan pintu rumah. Rupanya, rumah-rumah adat yang berada di kampung adat di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores, ini menjadi simbol representasi dari seorang mama. Sederhananya, rumah adalah mama.

Menurut salah satu sesepuh Kampung Adat Wologai, Aloysius Leta (65), yang ditemui sedang memahat kayu menjadi patung berukuran kecil, masyarakat etnis Lio masih mempertahankan adat dan keaslian kampung adat. Kampung adat ini, kata Leta, tertua di Ende.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Ornamen payudara di rumah adat yang terdapat di Kampung Adat Wologai di Desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT, Kamis (8/8/2019). Perempuan memiliki kedudukan paling tinggi dalam masyarakat adat setempat.

”Rumah itu mama. Setiap kiri dan kanan pintu di rumah adat selalu terpajang patung kayu ataupun ukiran yang berwujud (maaf) buah dada mama. Banyak ukiran kayu di sisi luar teras rumah yang mengandung arti nilai harga diri seorang mama,” kata Leta. (LUK/APO/FRN)

Artikel Lainnya