HENDRO HERYANTO

Flores

Rupa-rupa Warna Danau Kelimutu

·sekitar 4 menit baca

Danau Tiga Warna Kelimutu yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Kelimutu, Flores, yang warnanya terus berubah merupakan salah satu daya tarik pariwisata Pulau Flores. Di dalam kawasan Taman Nasional Kelimutu seluas 5.3356,50 hektar, terdapat tiga kawah danau yang berbeda warna dan berada di ketinggian 1.500-1731 meter di atas permukaan laut. Mendaki ke puncak untuk bisa melihat ketiga danau kawah itu kini relatif mudah karena sudah disediakan tangga beton. Pagi sebelum fajar menyingsing adalah waktu terbaik untuk mendaki ke puncak Kelimutu meski dingin terasa menggigit hingga ke tulang.

Buku Menjelajah Keindahan dan Keajaiban Kelimutu terbitan Balai Taman Nasional Kelimutu pada Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, Taman Nasional (TN) Kelimutu meliputi tiga gunung, yakni Gunung Kelimutu (1.640 mdpl), Gunung Kelido (1.641 mdpl), dan Gunung Kelibara (1.630 mdpl), yang muncul dan bertumbuh karena aktivitas vulkanik.

Pada puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga sisa kawah yang mencerminkan perpindahan puncak erupsi. Ketiga sisa kawah itu yang kini berupa danau kawah dengan warna air yang berlainan dikenal dengan nama Tiwu Ata Polo, Tiwu Nuwa Muri Koó Fai, dan Tiwu Ata Bupu. Warna air dalam kawah berubah-ubah akibat pengaruh aktivitas vulkanik di dalamnya.

Kompas/Luki Aulia

Banyak tanda peringatan larangan untuk mendekati bibir danau kawah yang dipasang di sekitar Danau Kelimutu. Namun, banyak wisatawan yang tidak mengindahkan tanda larangan itu.

Nama Kelimutu memiliki arti ”gunung” dan ”mendidih” yang kemungkinan merujuk pada saat terakhir kali gunung berapi itu meletus. Letusan besar pernah terjadi pada 1830. Pada tahun 1869-1870, letusan gunung berapi ini mengeluarkan aliran lava hitam. Setelah letusan terakhir pada 1886, tiga danau kawah meninggalkan air danau kawah yang semula berwarna merah, biru, dan putih. Sejak saat itu pula, warna air pada ketiga danau itu terus-menerus berubah.

Bagi masyarakat etnis Lio yang tinggal di sekitar kawasan TN Kelimutu, ketiga danau kawah itu memiliki dasar mitologi yang memengaruhi pandangan masyarakat dan pemberian nama ketiga danau kawah itu. Ketiga danau kawah tersebut dihubungkan dengan kehidupan roh setelah kematian. Perubahan warna air di dalam kawah itu mulai terpantau dan tercatat ketika Van Such Telen (warga Belanda) pertama kali tiba di puncak Kelimutu pada 1915.

Tiwu Ata Polo

Danau ini merupakan danau yang terbesar dibandingkan dua danau lainnya. Tiwu Ata Polo memiliki luas 4 hektar dan kedalaman 64 meter. Masyarakat etnis Lio menamai danau itu dengan nama Tiwu Ata Polo. Danau ini sejak 1915 hingga 1951 tercatat cukup stabil berwarna merah cerah. Warna danau ini meningkat menjadi merah marun pada 1958 hingga 1960. Pada tahun 1968 hingga 1980 danau ini berubah menjadi merah kecoklatan.

Selanjutnya, pada tahun 1984, danau ini berubah warna lagi menjadi hijau tua, hingga 1987. Kemudian, warnanya memudar menjadi hijau muda pada 1990. Pada 1992, kembali merah cerah. Pada 1995, menjadi lebih gelap. Pada 2002 hingga 2008, warnanya cukup stabil pada warna coklat dan berubah warna menjadi hijau tahun 2011. Pada 2015, berubah lagi menjadi hijau lumut. Danau ini dipercayai oleh masyarakat etnis Lio sebagai tempat arwah orang jahat bersemayam.

Kompas/Luki Aulia

Danau Kawah Arwah Orang Jahat

Tiwu Nuwu Muri Koó Fai

Danau ini terletak di antara Tiwu Ata Polo dan Tiwu Ata Bupu dan memiliki pembatas tipis dengan Tiwu Ata Polo. Danau yang memiliki arti danau remaja putra dan putri ini luasnya mencapai 5,5 hektar dan kedalaman 127 meter. Danau ini paling jarang berubah warna. Pada 1915, danau ini tercatat berwarna biru toska, lalu berubah menjadi hijau tua pada 1929. Tahun 1940, danau ini berubah warna menjadi putih abu-abu.

Kemudian, pada 1951, warnanya berubah menjadi hijau tua dan pada 1958 memudar menjadi hijau muda. Pada 1960, berubah menjadi biru langit dan 1968 menjadi putih susu, tetapi pada 1980 kembali menjadi biru muda. Pada 1992, warnanya berubah lagi menjadi biru toska, tetapi pada 2002 menguat menjadi hijau tua. Pada 2008, berubah lagi menjadi hijau pucat kebiruan. Pada 2011, menjadi abu-abu dan 2015 menjadi putih kebiru-biruan dan kini menjadi hijau kebiruan. Danau ini dipercayai sebagai tempat arwah muda-mudi bersemayam.

Kompas/Luki Aulia

Danau Kawah Arwah Muda Mudi

Tiwu Ata Bupu

Danau ini terpisah sekitar 500 meter dari dua danau lainnya. Danau seluas 4,5 hektar dan kedalaman 67 meter ini tercatat sering berubah warna dari putih, hijau, biru, abu-abu, hijau lumut, coklat, hingga hitam. Saat ini, Tiwu Ata Bupu yang berwarna hijau lumut dipercayai sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua dan orang bijak.

Buku Manusia dan Budaya di Sekeliling Taman Nasional Kelimutu terbitan Balai TN Kelimutu menyebutkan, kawasan TN Kelimutu dikelilingi 21 desa adat masyarakat etnis Lio yang masih kuat berpegang pada adat dan tradisi budaya yang mengekspresikan hubungan kehidupan manusia dengan sesama, alam semesta, dan Sang Pencipta.

Masyarakat Lio di sekitar TN Kelimutu memiliki ikatan spiritual dan magis yang kuat dengan ketiga danau kawah Gunung Kelimutu ini karena dipercaya berhubungan langsung dengan salah satu tahapan dari siklus eksistensial manusia (kematian dan kehidupan roh). Ketiga danau itu dipercayai sebagai tempat bersemayam arwah leluhur dan akan menjadi tempat tinggal semua arwah kelak.

Kompas/Luki Aulia

Danau Kawah Arwah Orang Tua dan Orang Bijak

Oleh karena itu, masyarakat sangat menjaga hubungan yang harmonis dengan kawasan TN Kelimutu. Bagi masyarakat etnis Lio, Kelimutu merupakan destinasi jiwa. Kehidupan dan amal bakti manusia saat ini akan menentukan di mana roh manusia ditempatkan setelah kematiannya.

Ketika semasa hidup hingga kematiannya manusia berlaku jahat, mempraktikkan sihir dan tenung, kelak setelah kematian arwahnya akan mendiami Tiwu Ata Polo. Sebaliknya, jika semasa hidup menjalani kehidupan dengan mengamalkan kebaikan hingga mencapai umur panjang, setelah kematian arwahnya akan mendiami Tiwu Ata Bupu.

Bagi para ahli geologi, perubahan warna air ini dianggap sebagai aktivitas vulkanis yang belum tuntas. Namun, bagi masyarakat Lio, fenomena perubahan warna itu diyakini sebagai sebuah isyarat alam dan pesan leluhur yang perlu diinterpretasikan hati-hati berkaitan dengan kehidupan manusia di masa mendatang. (LUK/APO/FRN)

Artikel Lainnya